“Jadi gimana Mita? Kamu mau
menerimanya? Ini sudah ikhwan kelima yang meminangmu”
Aku menggeleng. Kepalaku tertunduk
mendengar perkataan kak Sinta, seseorang yang sudah ku anggap sebagai kakak
sendiri di tanah rantau ini. Jemariku memilin-milin jilbab merah muda yang ku
kenakan.
“Kamu menunggu apa lagi? Usiamu sudah
mencukupi, pekerjaanmu sudah mapan, apa lagi Mita? Apa yang kamu tunggu?”
Kak Sinta menghela nafas panjang,
kekecewaan tersurat jelas dari nada bicaranya.
“Kakak tahu Andri ini bukanlah
tipemu, ia seorang pekerja lapangan, bukan orang yang suka membaca buku tetapi
tolong Mita pertimbangkan kembali Mita, istikharah lah dulu,”
“Aku sudah istikharah Kak,” tukasku
“Coba sekali lagi,” Suara Kak Sinta
melunak
Aku hanya mengangguk. Kepalaku masih
tertunduk. Sudah beberapa kali sholat istikharah ku dirikan tetapi tetap saja
hati belum menemukan kemantapan. Bagaimana mungkin kau merasa mantap Mita kalau
di hatimu hanya ada satu nama saja, sebuah suara berbisik… Cepat-cepat aku
menggeleng dan memohon pamit kepada kak Sinta, lupa tujuan kedatanganku ke
rumahnya menemui si kecil Zahwa yang masih belum pulang dari mengaji.
---
Aku menatap langit-langit kamar
berukuran 3x3 meter ini dengan tatapan kosong. Ini tahun ketigaku di kota yang
katanya lebih kejam dari ibu tiri dan aku masih sendiri. Perkataan kak Sinta
kemarin menohokku. Benar kata Kak Sinta, sudah empat kali aku menolak lamaran
laki-laki, menjadi lima jika nanti aku resmi menolak Andri. Sebut saja Dika,
teman kuliah kak Sinta yang ku tolak lantaran aku merasa masih belum mapan dan
harus membantu membiayai adik-adikku. Sekarang penghasilanku sebagai guru SMP
Islam ternama dan juga berbisnis produk herbal sudah lebih dari cukup untuk
biaya hidup dan membantu orang tua. Namun tetap saja tiga laki-laki berikutnya
tak mampu menggoyahkan hatiku untuk mengatakan ya.
“Apa yang kau cari Mita?”
Suara kak Sinta seperti bergema di
dinding kamar, lalu menghujamiku dengan pertanyaan yang sama berulang-ulang.
Aku bahkan bisa menirukan persis nada bicara perempuan yang usianya terpaut lima
tahun di atasku itu. Nada kekecewaan, nada kekhawatiran, ah aku tahu usiaku
sudah menginjak seperempat abad tahun ini. Kak Sinta tahu persis siapa-siapa
laki-laki yang melamarku, ia bahkan tak sungkan-sungkan mencari
kelebihan-kelebihan mereka agar hatiku semakin mantap. Nampaknya ia cemas
padaku yang tak kunjung menjatuhkan pilihan.
“Menyegerakan pernikahan itu salah
satu hal yang harus disegerakan dalam Islam Mit,”
“Mita, kamu tahu kan kalau ada
laki-laki baik-baik meminang dan tidak diterima pinangannya dikhawatirkan akan
menimbulkan fitnah?”
Atau yang akhir-akhir ini
dikatakannya berulang-ulang,
“Dulu Dika nggak mau alasannya kamu
belum mapan, Amir alasannya sholatnya jarang tepat waktu, Hasan alasannya
pernah berpacaran bertahun-tahun dan kamu nggak mau, Toni alasannya
pekerjaannya terlalu jauh dan sekarang Andri… Kakak nggak menemukan alasan kamu
menolaknya,”
Ah, apakah ketiadaan alasan untuk
menolak mengharuskan seorang perempuan untuk menerima pinangan seorang
laki-laki, aku bergumam. Aku memang tak punya alasan kuat untuk menolaknya
tetapi aku tak menemukan alasan untuk menerimanya. Kami terlalu berbeda, begitu
aku menyimpulkannya setelah mendengar penuturan orang-orang yang dekat
dengannya. Ia tak suka istrinya banyak di luar, aku punya banyak kegiatan, ia
amat pendiam dan aku banyak bicara, ia berasal dari keluarga amat kaya dan aku
berasal dari keluarga sederhana, dan sebagainya. Benakku sudah mencatat panjang
perbedaan di antara kami.
Apakah lantaran ketidaksamaan itu
kemudian aku harus menolaknya, apakah semua penolakanku kepada semua laki-laki
yang bermaksud serius denganku benar-benar berdasarkan alasan yang
sesungguhnya, pertanyaan demi pertanyaan menghujaniku.
Tidak Mita, sebenarnya kamu hanya
menunggu satu laki-laki... Suara itu
datang lagi. Aku tercekat, itukah jawabanku yang sebenarnya sehingga
berkali-kali melakukan sholat istikharah pun aku tak kunjung mendapatkan
kemantapan. Hatiku sudah terkunci pada satu nama, suka atau tak suka. Aku
menunggunya. Sebersit keyakinan tersimpan rapi di ujung hati.
---
Laki-laki itu bernama Fahmi. Usianya
sebaya denganku. Hampir semua orang di kampus mengenalnya. Ia aktif di berbagai
organisasi kemahasiswaan dan juga akfif di kegiatan sosial. Tulisan-tulisannya
kerap dimuat media massa. Beberapa kali aku terlibat satu kepanitiaan
dengannya. Bagiku itu sudah cukup untuk mengenal kepribadiannya dan melalui
tulisannya aku bisa membaca pandangannya. Sudah cukup untuk membuatku menyebut
namanya dalam setiap doa, sudah cukup untuk membuatku menahan perasaan sekian
lama…
“Mita…” Pintu diketuk, suara kak
Sinta membuyarkan anganku.
Astaghfirullah, cepat-cepat aku
beristighfar, tak baik memikirkan laki-laki bukan mahram. Untung suara ketukan
itu menyadarkanku.
“Kakak boleh masuk? Tadi kakak
dibukakan pintu oleh bu Imah”
Cepat-cepat aku beranjak dan
membukakan pintu. Senyum manis kak Sinta menyambutku, seperti biasa.
“Masuk Kak,”
Kak Sinta mengambil posisi duduk di
atas kursi belajar. Ia langsung menceritakan maksud kedatangannya. Tentang Andri
tentu saja. Aku hanya menggeleng.
“Kakak sudah menduga jawabanmu
demikian. Boleh kakak tahu alasannya?”
Aku menggeleng. Aku memang tak punya
alasan.
“Mita, maafkan kakak lancang
mengatakan ini tetapi melihat gelagatmu yang aneh kemarin saat bertemu dengan
Fahmi, kakak tiba-tiba ingat kalau kamu pernah bercerita ingin memiliki suami
yang punya banyak kesamaan, apakah kamu menyimpan perasaan khusus kepada
Fahmi?” Kak Sinta terdengar menyelidik.
Aku terdiam. Perasaan ini sudah
tersimpan rapi amat lama, hanya aku dan Allah yang tahu. Aku ingin seperti
Fatimah kepada Ali.
“Mita.. Jujurlah kepada kakakmu
ini,”
Tangan kak Sinta mengangkat daguku
lembut. Mata bulatnya beradu pandang denganku. Ia menatapku tajam.
“Ya kak,” hanya itu jawaban yang
mampu ku lontarkan.
“Aha,” Kak Sinta berseru girang,
“Wah kalau Fahmi sih mudah saja kakak menyampaikannya. Dia kan sahabatnya Mas
Wawan. Tinggal bilang Mas Wawan saja kalau kamu ingin berproses dengannya,
Bagaimana?” Mata kak Sinta berkedip-kedip menggodaku.
Aku menggeleng cepat.

“Mita, pandang mata kakak,” Nada
suara kak Sinta tegas.
“Lihat ke sini, dengarkan
kata-kataku baik-baik. Sampai kapan kamu mau begini Mita? Maafkan kakak yang
terlambat peka dengan perasaanmu terhadap Fahmi tapi kakak yakin kamu
sudah menyimpan perasaanmu sekian lama, sudah berapa tahun Mita?”
“Dua kak,”
“Nah sudah dua tahun dan selama itu
kamu menolak pinangan beberapa laki-laki baik-baik. Tak sadarkah kamu semakin
kamu menyimpan perasaan semakin besar kemungkinanmu berzina hati, kalau memang
kamu yakin Fahmi bisa menjadi imam yang baik untukmu, mengapa tidak kamu
mengutarakan padanya Mita melalui perantara tentu saja, toh agama kita tidak
melarangnya,”
Otakku sibuk mencerna kata-kata kak
Mita. Memikirkan kemungkinan melakukan hal yang tak pernah ku pikirkan selama
ini.
“Assalamu’alaykum,” Suara yang ku
kenal menyapa, suara mas Wawan, suami kak Sinta, pasti di belakangnya ada kak
Sinta dan Zahwa.
“Wa’alaykumussalam,” buru-buru aku
meletakkan sayuran yang ku hendak ku masak, membukakan pintu.
“Wah tumben kakak-kakakku berkunjung
ke mari bersamaan. Silahkan masuk. Silahkan duduk. Zahwa mana Kak?” Aku tak
menemukan Zahwa bersama mereka.
“Kebetulan tadi Zahwa diajak pergi
sama Budhenya, ohya Mita ngomong-ngomong lagi sibuk nggak?” Kak Sinta membuka
pembicaraan.
“Enggak Kak, cuma mau masak tadi.
Ada apa ya Kak?”
“Begini Mita…” kali ini mas Wawan mengambil
alih pembicaraan. Mengalirlah ceritanya, tentang kak Sinta yang telah
menceritakan kecenderunganku terhadap Fahmi, tentang keinginanku agar mas Wawan
menolongku agar dapat berproses dengan Fahmi. Hingga…
“Maaf Mita, mas nggak bisa
menolongmu… Fahmi saat ini sedang berproses dengan akhwat lain dan sepertinya
akan berlanjut,”
Suara mas Wawan seperti petir di
siang bolong. Sia-sia sudah doa panjangku kepadanya, sia-sia sudah penantianku
sekian lama, sia-sia sudah aku menolak lima laki-laki hanya untuk menunggunya.
Aku menjaga agar air mataku tak tumpah tapi sia-sia, ia bagai air bah yang tak
mau berhenti meluap.
Kak Sinta memelukku erat.
Membiarkanku menangis dalam pelukannya.
---
Tiga bulan sudah berlalu semenjak
kejadian itu. Aku sudah berusaha menghapus nama laki-laki itu dalam hati. Aku
menghindari pertemuan dengannya dan semakin menyibukkan hari-hariku. Memperluas
pergaulanku. Memperpanjang bacaan sholatku, memperlama tilawah setiap harinya.
Telepon genggamku membunyikan lagu
Maher Zain, segera ku angkat telepon masuk.
“Assalamu’alaykum,” suara laki-laki
yang amat ku kenal menyapa,
“Ayah!” Pekikku senang,
jarang-jarang Ayah meneleponku.
“Eh saking girangnya anak Ayah nggak
menjawab salam. Ayah ada di depan kosmu Nak,”
Seruanku semakin keras. Cepat-cepat
aku kenakan jilbab dan membukakan pintu pagar.
“Assalamu’alaykum putri Ayah,” Ayah
tersenyum lebar sambil memelukku, sudah tiga bulan aku tak pulang ke kampung
halaman.
“Ayah makin ganteng aja,” Aku
merajuk manja, menggandeng tangannya masuk.
“Eit eit, tunggu dulu. Lihat dulu
dong yang ada di belakang Ayah. Disuruh masuk sekalian tuh,”
Aku menoleh ke belakang. Perhatianku
hanya terfokus untuk Ayah.
“Fahmi,” seruku terpekik. Fahmi
tersenyum sekilas menatapku sebelum menundukkan pandangannya.
---
Bagitu cepat rasanya kisah ini. Tiga
bulan yang lalu aku mengaku kepada kak Sinta akan perasaanku, meminta mas Wawan
membantuku dan kemudian hatiku hancur berkeping-keping mendengar berita tentang
Fahmi. Kini laki-laki itu datang ke hadapanku, bersama laki-laki paling
istimewa dalam hidupku dengan begitu tiba-tiba.
“Jadi begini Nak, dua hari yang lalu
Fahmi datang ke rumah dan meminta izin untuk melamarmu. Ayah menyuruhnya untuk
menunggumu pulang tetapi ia tak mau, ia ingin segera katanya, maka ia membawa
Ayah ke tempat ini untuk meminta jawabanmu secara langsung,”
“Me-la-mar?” Aku menekankan kata itu
kalau-kalau aku salah dengar.
“Iya aku ingin melamarmu Mita. Aku
ingin menjadikanmu sebagai istriku. Bukan begitu pak Wahyudi?”
Ayah mengangguk.
“Jadi bagaimana jawabanmu Mita?”
“Bagaimana prosesmu dengan akhwat
itu, bukankah berlanjut?”
Fahmi tampak kaget dengan
pertanyaanku sebelum dengan cepat menguasai diri. “Aku tak menemukan kemantapan
dengannya lalu aku memutuskan untuk tak berlanjut, aku shalat istikharah
berkali-kali dan yang muncul hanya namamu, berkali-kali”
Aku terdiam, mencerna kata-katanya.
“Jadi bagaimana Mita?” kali ini
suara Ayah terdengar.
Aku menundukkan kepala.
Menyembunyikan semburat yang merona di kedua pipiku. Rasa hangat menjalari
sekujur tubuhku. Diamnya seorang wanita adalah tanda kesediaannya bukan?
---
Akad nikah dilangsungkan di masjid
dekat rumahku sebulan sesudah kedatangan Ayah dan Fahmi. Musik nasyid dan
alunan rebana mengiringi Walimatul ‘Ursy yang kami selenggarakan secara
sederhana di halaman rumahku yang luas.
“Aku tahu kamu yang jatuh cinta
duluan sama aku,” Fahmi berbisik di depan telingaku saat tamu sudah mulai sepi.
“Ah, bukankah kamu yang melamarku,”
tepisku, pura-pura tak ingat akan niatanku dulu
“Iya kamu bermaksud melamarku tapi
nggak jadi kan, ngaku aja, berarti kamu yang jatuh cinta duluan sama aku,”
Fahmi semakin menggodaku.
Aku memasang tampang cemberut.
“Aih gitu aja cemberut istriku,”
katanya sambil menjentikkan jarinya di hidungku. “Sayang, tahu nggak kenapa
lama banget aku baru punya istri padahal yang naksir aku banyak?” perkataannya
membuatku ingin mencubitnya.
“Aku tahu kamu pasti istimewa
sehingga aku harus menunggumu sekian lama,”
ia berbisik dan perlahan-lahan mengecup pipiku yang memerah.
---
"... dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yan baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).." (terjemahan Q.S. An-Nuur-26)
Subhanallah...cerita yang apik, Mon..t-t jadi tersentuh bacanyaa...hiks-hiks...Semoga kita mendapatkan pilihan yang terbaik, yaa..
ReplyDelete#dari tadi An juga menunggu postinganmu, Mon..hoho
ajeb..Neng.. btw, sebenernya muslimah boleh dan tidak hina jika menentukan pilihan dan melamar seorang lelaki untuk menjadi imamnya.
ReplyDeleteBisa kita ambil teladan dari ibunda akidah kita, Siti Khadijah r.a., berikut ini kira2 kalimat lamaran beliau pada Muhammad Saw ketika itu:
"Wahai anak pamanku, aku berhasrat menikah denganmu atas dasar kekerabatan, kedudukanmu yang mulia, akhlakmu yang baik, integritas moralmu, dan kejujuran perkataanmu."
Dahsyat ya.. The Most Real Fun Fearless Female! :D
nice mon ...
ReplyDeletehihi,
jadi teringat puisi ini,
Bila belum siap melangkah lebih lanjut dengan seseorang, cukup cintai dia dalam diam.
Karena diammu adalah bukti cintamu padanya
Kau ingin memuliakan dia dengan tidak mengajaknya menjalin hubungan yang terlarang,
kau tak mau merusak kesucian dan penjagaan hatinya.
karena diam mu memuliakan kesucian diri dan hatimu
menghindarkan dirimu hal-hal yang akan merusak izzah dan iffahmu
karena diam mu bukti kesetiaanmu padanya
karena mungkin saja orang yang kau cintai adalah orang yang telah Allah pilihkan untukmu
Ingatkah kalian tentang kisah Fatimah dan Ali?
Yang keduanya saling memendam apa yang mereka rasakan
tapi pada akhirnya mereka dipertemukan dalam ikatan yang suci dan indah
Jika dia memang bukan milikmu ,
toh Allah melalui waktu akan menghapus cinta dalam diam mu
dan memberi rasa yang lebih indah dan orang yang tepat
biarkan cinta dalam diam mu itu menjadi memori tersendiri
dan sudut hatimu menjadi rahasia antara kau dan pemilik hatimu.
tapi... netralkan hati mungkin akan baik juga...
smangat momon...
Subhanallah... terharu abis baca cerita ini hiks hiks :")
ReplyDeleteAku tahu kamu pasti istimewa sehingga aku harus menunggumu sekian lama <<< kalimatnya so sweet.. Wish somebody will say it to me :p
ReplyDeleteharapan/cita-cita bisa diwujudkan dengan berusaha
Deletetanpa usaha dia hanya menjadi khayalan
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletekejam nih TS-nya malah dihapus... (T_T)
Deletemon, itu mita apa monika? hihi
ReplyDelete^.^V
jodoh itu rizqy, rizqy itu harus dicari..
ReplyDelete