Mata berkunang-kunang, keringat bercucuran, lutut gemetaran, telinga mendenging... Siksaan akibat rasa lapar ini memang tak asing, tetapi masih saja berhasil mengusikku... Sungguh, aku butuh tidur. Sejenak pun bolehlah. Supaya lapar ini terlupakan...
diambil dari goodreads |
Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya
Pesan di atas disampaikan berulang-ulang dalam buku yang dalam waktu
singkat menjadi best-seller di negeri ini. Dahlan cukup tahu diri dengan
kondisi keluarganya sehingga ia pun memupus keinginannya bersekolah di SMP
Magetan dan menuruti perintah ayahnya untuk menempuh pendidikan di Pondok
Pesantren Takeran yang dari sana lah ia banyak belajar tentang arti kehidupan.
Ia juga bersekolah sembari menggembalakan domba-domba kesayangannya. Tentu saja
ia tak lupa untuk terus mengupayakan keinginannya memiliki sepatu dan sepeda.
Saya seperti hanyut dalam sudut pandang orang pertama yang digunakan
oleh Khrisna Pabichara, sang penulis, dalam memvisualisasikan sosok Dahlan. Penokohan
Dahlan terasa begitu kuat dan hidup tetapi sayang, agaknya tokoh lain seperti
sekadar pelengkap cerita saja. Ketegasan tokoh Ayah dan kelembutan tokoh Ibu
misalnya tak diceritakan terlampau banyak. Yang amat saya nikmati dari novel
ini adalah banyaknya pesan moral yang disisipkan dan dikemas dalam cerita yang
apik serta kepandaian sang penulis merangkai kata demi kata menjadi bahasa
cerita yang amat nyaman untuk dibaca dengan kejelian pemilihan kata Bahasa
Indonesia baku yang tak membosankan, misalnya saat Dahlan melukiskan
perasaannya untuk seorang gadis bernama Aisha :
Di jantung rinduku kamu adalah keabadianYang mengenalkan dan mengekalkan kehilangan (hal. 358)
Namun, saya tak merasakan ‘emosi yang teraduk’ saat membaca buku ini.
Datar-datar saja dari awal hingga akhir tanpa gereget berarti. Entahlah, saya
seperti tak merasakan klimaks yang biasanya dinanti-nanti bahkan pada saat
akhirnya Dahlan berhasil mewujudkan kedua impiannya. Selain itu, pada beberapa
bagian saya merasakan ‘rasa Jawa’ yang 'aneh' (tentu wajar mengingat sang
penulis bukan orang Jawa).
Secara keseluruhan, tentu saja, buku ini merupakan buku yang layak
untuk dijadikan koleksi dalam memperkaya khazanah baca Anda.
Judul : Sepatu Dahlan
Penulis : Khrisna Pabichara
Penerbit : Noura Books
Cetakan I : Mei 2012
Jumlah halaman : 392 halaman
Mon’s rating : 3 out of 5 stars
Saya malah tersentuh baca buku ini. Terutama waktu dia nerima piala dan diminta sama Camat pakai sepatunya (yang sudah bolong) lagi. Yah, selera orang beda-beda, sih, ya...
ReplyDeleteKalo soal bahasa Jawa, bisa jadi karena Jawa-nya Jawa Timur jadi agak berbeda.
iya mba, selera beda2 hehe..
DeleteMungkin mba, btw salut dgn usaha Khrisna Pabichara yang melakukan riset enam bulan menyelami kehidupan Dahlan Iskan (baca d Twitter) ada bagian yang menceritakan tentang tradisi setelah lebaran di Jawa :)
hehhe belum baca jadi ga tw yg mana hehhee..
ReplyDeletetapi cukup berkesanlah utk memebaca karena pesan moralnya begtu banyak.
pa kabar Mon?
Iya pesan moralnya bagus2 Nur... Alhamdulillah sehat, cuma bulan kmrn ga produktif nulis huhu.. Nur pa kabar?
Deletealhamdulillah sehat mon, monika gmna? kangennya liht tulisanmu hehe
Delete