“Nanti kalau pas umroh nggak usah ngoyo mencium Hajar Aswad ya. Orang Indonesia pendek-pendek, nanti kena sikut sama orang Arab yang tinggi-tinggi,”
Beberapa kali saya mendengar saran bernada sama
seperti di atas sebelum berangkat ke tanah suci. Awalnya, siapa yang tak ingin mengikuti
perbuatan Rasulullah SAW tersebut. Namun, melihat kondisi ketika thawaf yang
mana di depan saya banyak orang tinggi besar, nyali saya ciut seketika. Kalah
badan!
Ya, postur tubuh orang Indonesia memang tidak
terlalu tinggi. Namun, tahukah kamu, ternyata Indonesia termasuk negara dengan
rata-rata penduduk terpendek di dunia? Berdasarkan data World Atlas (2017),
Indonesia menduduki peringkat kedua negara dengan penduduk terpendek yakni
hanya sekitar 152 cm, satu tingkat lebih baik dari Bolivia yang menduduki
peringkat pertama.
Wow, mencengangkan ya?
Badan pendek identik dengan stunting. Apakah stunting itu?
Ngomong-ngomong tentang badan pendek, Indonesia
menduduki posisi kelima negara dengan jumlah anak terbanyak dalam kondisi
stunting. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar yang dilaksanakan oleh Kementerian
Kesehatan (2013), prevalensi (jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi
pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah) stunting di Indonesia mencapai
37,2%. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan batas maksimal stunting
yang ditetapkan World Health Organization sebesar 20%. Secara jumlah,
pertumbuhan yang tidak maksimal dialami oleh sekita 8,9 juta anak Indonesia
atau 1 dari 3 anak Indonesia mengalami stunting. Wow, banyak juga ya?
Berdasarkan data yang diolah oleh Katadata dari
Kementerian Kesehatan (2017), lima
provinsi dengan tingkat prevalensi balita stunting tertinggi di Indonesia
adalah Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi
Tengah, dan Sulawesi Selatan.
Stunting tidak hanya berdampak pada individu
yang mengalaminya, tetapi juga berdampak bagi keluarga serta negara. Kok bisa?
Dampak jangka pendek stunting pada anak bisa
bermacam-macam. Dalam WHO Conceptual
Framework (2013) disebutkan bahwa dampak jangka pendek stunting meliputi
tiga dampak : kesehatan, perkembangan diri, dan ekonomi. Dampak kesehatan
mencakup mortalitas (jumlah kematian) dan morbiditas (keadaan berpenyakit).
Adapun dampak perkembangan diri meliputi perkembangan motorik, kognitif, dan
bahasa yang terganggu. Lebih jauh lagi, dampak ekonomi akan menyebabkan
bertambahnya pengeluaran kesehatan bertambah sekaligus juga adanya biaya
kesempatan (opportunity cost) akibat
harus merawat anak yang sakit tersebut.
Pendek kata, stunting akan menghasilkan anak yang kurang berkualitas alias tidak tumbuh dan berkembang secara optimal.
Nah, jika banyak anak-anak sebagai generasi
muda penerus bangsa tidak tumbuh secara optimal, tentu negara tersebut akan
mengalami kerugian secara langsung maupun tidak langsung, bukan?
Sebagaimana dampak jangka pendek, WHO Conceptual Framework (2013) juga
menyebutkan bahwa dampak jangka panjang stunting meliputi dampak kesehatan,
perkembangan, dan juga ekonomi. Anak yang mengalami kondisi stunting akan lebih
rentan terhadap obesitas dan bahkan gangguan kesehatan reproduksi. Stunting
juga akan menyebabkan kemampuan belajar yang rendah sehingga potensi anak tidak
optimal. Berlanjut hingga rendahnya kemampuan kerja.
Bahkan, stunting menyebabkan dampak bagi negara
yang cukup masif. Dalam publikasi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan/TNP2K (2017) disebutkan bahwa terdapat hilangnya Produk Domestik
Bruto (PDB) dan pengurangan pendapatan pekerja dewasa hingga 20% akibat
stunting. Selain itu, stunting memiliki andil dalam semakin besarnya kesenjangan
ekonomi dan kemiskinan antar generasi.
Wah, stunting bisa berdampak sangat sistemik
ya?
Tentu, stunting pada anak menghasilkan dampak
negatif untuk negara. Sebagaimana dikutip oleh Kementerian Kesehatan (2018),
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebutkan bahwa generasi penerus bangsa yang
mengalami kondisi stunting akan berdampak pada rendahnya daya saing dan
produktivitas negara.
Kabar baiknya, kondisi stunting bisa dicegah
lho. Namun, sebelum mencegah agar kondisi stunting tidak terjadi, kita harus terlebih
dahulu penyebabnya, bukan?
Apa saja hal-hal yang
menyebabkan stunting dan bagaimana cara mencegahnya?
Pencegahan stunting tidak dimulai dari bayi
lahir, tetapi dimulai ketika anak masih dalam kandungan. Yes, terdapat
istilah seribu hari pertama kehidupan (1.000 HPK) yakni kehidupan dimulai
semenjak fase kehamilan (270 hari) hingga amal berusia (730 hari).
Mengapa pencegahan stunting dimulai dari 1.000
HPK? Karena 1.000 HPK adalah masa terpenting bagi anak untuk menentukan
kesehatan dan kecerdasannya.
Oleh karena itu, penyebab stunting erat
kaitannya dengan kondisi yang dialami anak pada 1.000 HPK. WHO dalam publikasi
terbaru berjudul “Reducing Stunting in
Children” (2018) menjabarkan bahwa anak yang lahir dari ibu yang
berpendidikan dan berpendapatan keluarga rendah cenderung memiliki anak dalam
kondisi stunting.
Kok bisa? Hal itu terkait erat dengan kemampuan
untuk menyediakan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil, makanan yang sehat dan
bergizi pada anak, penyediaan ASI eksklusif hingga 6 bulan dan Makanan
Pendamping ASI (MPASI) yang berkualitas. Yang tak kalah penting, sanitasi dan
air bersih juga berperan sebagai penyebab stunting. Misalnya, sanitasi meliputi
tidak buang air besar di ruang terbuka.
Bahkan, United Nations Children’s Fund (Unicef) India menyebutkan bahwa kondisi stunting pada
awalnya dimulai ketika seorang gadis dewasa kekurangan nutrisi dan mengalami
anemia.
Jadi, secara umum, penyebab utama stunting
adalah gizi dan tingkat kebersihan. Bagaimana
asupan gizi si anak dan bagaimana kondisi lingkungannya?
Nah, pencegahan stunting tentu terkait erat
dengan penyebabnya sebagaimana disebut di atas. Tentu saja, pencegahan
merupakan kewajiban bersama antara Pemerintah dan masyarakat.
Apa saja yang sudah dilakukan oleh Pemerintah?
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya aktif
dalam rangka pencegahan maupun penanganan stunting pada skala nasional dan
global. Pada skala internasional, Indonesia telah bergabung dalam Scaling Up Movement (SUN) pada Desember
2011. SUN merupakan sebuah gerakan internasional di bawah komando Sekretaris
Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diikuti oleh 28 negara dalam upaya mengatasi
permasalahan kurang gizi pada anak.
Sebagai tindak lanjut dari SUN, pada bulan
September 2012 Pemerintah meluncurkan “Gerakan 1.000 Hari Pertama Kehidupan”
atau gerakan 1.000 HPK. Gerakan tersebut bertujuan untuk perbaikan gizi anak
Indonesia yang mana berfokus pada pemberian gizi sejak anak berada dalam
kandungan si ibu, kelahiran anak, hingga ulang tahun kedua.
Gerakan tersebut terbagi menjadi dua konsep
besar yakni intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.
Apa itu intervensi gizi spesifik?
Intervensi gizi spesifik (intervensi
secara langsung) adalah intervensi
yang dilakukan pada anak pada 1.000 HPK yang meliputi intervensi di sektor
kesehatan. Intervensi gizi spesifik menyasar ibu hamil, ibu menyusui dan anak
usia 0-6 bulan, serta anak usia 7-23 bulan. Misalnya, memberikan makanan
tambahan untuk para ibu hamil, mendorong pemberian ASI eksklusif minimal hingga
usia 6 bulan, pendampingan pemberian MPASI, pemberian obat cacing pada anak,
dan sebagainya.
Intervensi ini disebut-sebut berkontribusi
dalam upaya penurunan stunting sebesar 30%. Sisanya apa ya?
Apa itu intervensi
gizi sensitif?
Sebanyak 70% dari penurunan stunting berasal
dari intervensi gizi sensitif (intervensi secara tidak langsung). Apakah itu? Intervensi gizi
sensitif merupakan upaya Pemerintah untuk menurunkan tingkat prevalensi
stunting nasional melalui kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan.
Misalnya, Pemerintah menyediakan akses masyarakat atas air bersih, sanitasi
yang layak, dan layanan kesehatan yang baik. Intinya adalah sarana dan
prasarana yang mendukung kesehatan.
Selain itu, dalam upaya
mempercepat penanganan stunting, Pemerintah mencanangkan prioritas penanganan
stunting pada tahun 2017 dan 2018 terhadap 100 kabupaten/kota dengan tingkat
stunting tertinggi di Indonesia.
Seberapa efektif upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah?
Upaya penurunan stunting yang
dilakukan dari tahun 2012 tersebut mulai menumbuhkan hasil. Berdasarkan hasil Pemantauan
Status Gizi (PSG) 2017 oleh Kementerian Kesehatan, tingkat prevalensi Indonesia
menurun dari 37,2% di tahun 2013 menjadi 29,6% di tahun 2016. Artinya, terdapat
indikator positif terhadap upaya penurunan stunting. Namun demikian, angka
29,6% tersebut masih di atas standar maksimal yang ditetapkan oleh WHO sebesar
20%.
Optimis ke depan akan semakin
baik, ya!
Jadi, apa kesimpulannya?
Upaya pencegahan stunting agar
tingkat prevalensi stunting di Indonesia lebih rendah dari standar maksimal
yang ditetapkan oleh WHO atau bahkan kelak hilang sama sekali merupakan tugas
bersama antara banyak pihak. Misalnya, Pemerintah yang terdiri dari berbagai
unsur kementerian menggandeng lembaga wali amanat seperti MCA, lembaga
internasional seperti Unicef, dan tentunya masyarakat.
Pemerintah menyediakan sarana
kesehatan dan memenuhi gizi rakyat, lembaga melakukan upaya-upaya guna membantu
Pemerintah, para perempuan menjaga asupan gizinya dengan baik selama mengandung
dan menyusui, suami bertanggung jawab memenuhi kebutuhan gizi keluarga, dan
sebagainya.
Jadi, sudah menjadi tugas kita
bersama untuk melakukan upaya pencegahan stunting demi Indonesia Sehat, bukan? Indonesia sehat, Indonesia yang bebas dari stunting.
Semoga? Segera
**
Referensi :
- https://www.worldatlas.com/articles/countries-with-the-shortest-average-heights.html
- http://www.mca-indonesia.go.id/assets/uploads/media/pdf/Backgrounder-Stunting-ID.pdf
- https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/04/08/di-mana-provinsi-dengan-stunting-tertinggi-2017
- http://www.who.int/nutrition/events/2013_ChildhoodStunting_colloquium_14Oct_ConceptualFramework_colour.pdf
- http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20180703/1426360/wapres-jusuf-kalla-bicara-pencegahan-stunting-bicarakan-masa-depan-bangsa/
- http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Binder_Volume2-1.pdf
- http://lagizi.com/1000-hari-pertama-kehidupan-untuk-generasi-yang-lebih-baik/
- http://unicef.in/Whatwedo/10/Stunting
- https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/berita-harian-bappenas/sun-movement-gerakan-nasional-1000-hari-pertama-kehidupan/
Wah, NTT memiliki tingkat prevalensi stunting di negara indonesia yang paling tinggi ya ternyata.
ReplyDeleteHuhu, selalu was-was dan kepikiran anak tiap baca artikel ttg stunting
ReplyDeletetulisannya keren
ReplyDeletepenuh dengan referensi
butuh berapa jam ya buat nulis kek gini
nah... good question..
Delete