“Mon, kriteriamu gimana?” tanya seorang rekan kantor. Waktu itu saya masih single di usia 28 tahun. Teman-teman seumuran rata-rata sudah berkeluarga.
“Ya minimal sesama pegawai Kemenkeu lah,”
“Wah, matre juga kamu. Nggak mau hidup susah,”
Eh? Saya tak menyangka akan mendapatkan komentar
demikian. Apa salahnya? Toh pegawai di tempat bekerja ada 80 ribu orang, lebih
dari setengahnya lelaki. Saya tak mengkhayal terlalu tinggi.
Kalau saya bilang ingin menikah dengan pangeran tampan dari kerajaan, bolehlah saya disadarkan dari angan.
Setiap orang memiliki preferensi jodoh tersendiri. Ada yang ingin memiliki pasangan dengan tingkat pemahaman agama tinggi atau rupa yang menawan hati. Sementara saya menginginkan pasangan yang setara : pemahaman agama, latar belakang keluarga, pendidikan, dan pekerjaan.
Teman yang lain pernah berkata, “Udah Mon,
terima saja siapa saja yang datang. Usiamu sudah berapa, kamu mau punya anak
umur berapa,”
“Udah Mon, terima saja yang datang. Stok ikhwan
sholeh menipis, apalagi yang seusia kita,”
Namun namanya rasa, tak bisa dipaksa. Katanya,
jangan pilih-pilih, kamu semakin tua. Tapi masak iya? Menikah dengan siapa
saja?
**
Bagi perempuan di usia 20-an,
pertanyaan tentang kapan nikah merupakan pertanyaaan yang akan sering diterima.
Tekanan sosial terkait pernikahan, suka atau tidak suka, lebih tinggi bagi
perempuan. Perempuan diharapkan untuk menikah di usia yang muda karena perempuan
memiliki masa subur yang relatif terbatas dibanding laki-laki.
Setidaknya begitu yang saya dengar
dari lingkungan sosial.
Konon katanya…
Di usia remaja, kita (perempuan)
akan banyak bertanya, “Siapa saja?”
Di usia 20-an, perempuan akan
bertanya, “Siapa kamu?” untuk menilai orang yang mendekatinya
Di usia 30-an, perempuan akan
memilih siapa saja.
**
Beberapa waktu lalu, seorang
sahabat mengirimkan chat kepada saya. Tahun ini usianya akan beranjak tiga
puluh satu dan ia masih sendiri, belum ada laki-laki yang dekat dengannya. Ia bercerita
tentang orang-orang yang berkata kepadanya, “Pilih-pilih sih lw,”
Tapi masak, untuk urusan sepenting memilih pasangan tidak pilih-pilih?
Menikah dengan Siapa Saja?
Sahabat saya pun melanjutkan
percakapan. Ia sempat mengatakan, “Orang-orang yang dulu nyoba nyeriusin gw,
udah pada married dan keliatannya have a happy family,”
Lantas, menyesalkah?
Percayalah bahwa pikiran “Laki-laki
yang dulu mendekatiku kini sudah menikah dan bahagia” itu klasik. Karena
saya juga pernah memikirkannya dulu ketika belum nikah-nikah sementara bilangan
usia semakin bertambah.
Ngomong-ngomong, saya baru nikah di
usia 29 tahun bukan karena tak laku. Ada lah kalau beberapa orang yang mencoba
serius, tapi ya gimana.
Saya hanya akan menikah apabila
saya yakin untuk menikah dengan orang itu.
Nah, ada saat ketika saya merasa down
gara-gara belum menikah, saya juga sempat kepikiran. “Ah, coba dulu gue
terima aja si X atau si Y, mungkin sekarang gue udah nikah dan punya anak,”
Eits, istighfar dulu. Kita nggak
boleh berandai-andai.
Qadarullah wa ma sya'a fa'al. Setiap
apa yang Allah kehendaki pasti terjadi.
Kalau tidak menikah dengan si X
atau Y berarti Allah tidak mengkehendaki. Bukankah mudah bagi Allah untuk
membolak-balik hati?
Terlepas dari itu, kamu yakin mau
menikah dengan siapa saja yang datang?
Oke, mari kita bahas.
Ketika menikah, istri wajib taat
kepada suami selama suami tidak mengajak bermaksiat kepada Allah.
Artinya. Kamu harus menikah dengan
seseorang yang kamu bisa taat kepadanya.
Lantas, apa tujuan pernikahan?
Salah satunya adalah membentuk keluarga yang Sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Sakinah bisa diartikan sebagai tentram atau tenang. Mawaddah bisa diartikan
sebagai cinta atau harapan. Adapun rahmah memiliki arti kasih sayang.
Nah, kira-kira apakah pernikahan
dengan lelaki-siapa-saja-yang-mendekati bisa menciptakan pernikahan yang
samara? Jika kamu merasa “ya”, tentu kamu akan memilihnya bukan?
Dan tentu saja. Ketika menikah kamu
tidak hanya memilih suami tetapi juga memilih ayah untuk anak-anakmu.
Artinya, jangan menikah dengan
siapa saja. Agar cepat nikah. Agar tidak ditanya-tanya kapan nikah. Agar cepat
punya anak.
Menikah tidak sebercanda itu.
Sungguh,
Setiap Orang Bisa Berubah, Tapi
Semua orang memiliki potensi untuk
berubah. Saya percaya bahwa semua orang memiliki kesempatan kedua untuk memperbaiki
dirinya. Namun, ketika saya memutuskan menikah, saya harus menerima dia
dengan kondisi dia yang ada, karakter dan kondisinya. Saat itu.
Mengapa?
Karena mengubah karakter orang itu tidak
mudah. Watak dan kebiasaan itu sudah terbentuk puluhan tahun. Apakah bisa
dengan menikah serta merta akan berubah? Nope.
Perubahan (jika ia berubah)
membutuhkan waktu dan perubahan itu tidak bisa dipastikan apakah ia benar-benar
akan berubah.
Misal. Kamu tidak mau menikah
dengan lelaki perokok. Lalu, ternyata seseorang yang mendekatimu adalah seorang
perokok. Dia berjanji akan berubah setelah menikah.
Kemudian kamu menikah dengannya.
Apakah dia akan langsung berubah? Nah, apabila dia membutuhkan waktu untuk
berubah, apakah kamu sabar menunggunya berubah? Apakah kamu sabar menunggu
sesuatu yang belum pasti?
Ada sebuah cerita. Seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki yang penghasilannya hampir setengah penghasilan perempuan itu. Kemudian mereka menikah karena sang perempuan merasa bahwa laki-laki tersebut sabar dan setia, dua hal yang tidak didapat sang perempuan dari mantan-mantannya. Sang perempuan yakin dengan menikah, sang suami pasti akan lebih gigih mencari nafkah dengan mencari tambahan penghasilan. Nyatanya? Sang suami sudah merasa nyaman dan puas dengan apa yang ada, sang istri merasa kurang dinafkahi. Akhirnya, mereka pun bercerai.
Pelajaran apa yang kita ambil? Jangan menikah dengan berharap ia akan berubah!
Kamu Berhak Memiliki Standar
Jangan merasa ingin segera menikah
hanya agar status sosialmu berubah. Jangan menikah karena cepat-cepat ingin
membungkam perkataan orang. Jangan menikah karena ingin segera berketurunan.
Menikahlah ketika kamu memang ingin
menikah dengannya.
Menikahlah ketika kamu memiliki
keyakinan kepadanya.
Bahwa ia dapat menjadi suami yang
baik untukmu. Ayah yang baik untuk anak-anakmu.
Seperti saya, misalnya. Standar saya minimal pegawai Kemenkeu. Mengapa? pertama, saya lebih nyaman memiliki pasangan dengan dunia yang sama, obrolan nyambung. Kedua, realistis, saya sudah tahu kisaran penghasilan pegawai Kemenkeu. Meski, tentu saja rejeki tak hanya tentang gaji. Selain itu, saya mematok standar pasangan dengan pengetahuan agama yang cukup baik (saya tes melalui pertanyaan tentang agama pada saat ta'aruf dan saya tanyakan ke beberapa teman dekatnya) dan tingkat pendidikan setara alias minimal sarjana,
Alhamdulillah Allah Maha Kaya. Enam kriteria yang saya targetkan harus ada di pasangan, ada semua pada suami, banyak lebihnya malah. Jadi, jangan takut mematok standar.
Nah, bagaimana kamu mengetahui bahwa seorang laki-laki itu memenuhi standarmu? Ajukan pertanyaan yang relevan dengan pernikahan, pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar. Kamu bisa menanyakan hal-hal ini sebelum memutuskan menikah dengan seseorang. Saya menuliskannya secara lengkap di 7 Pertanyaan yang Perlu Diajukan Ketika Ta'aruf. Judulnya boleh tentang ta'aruf, tapi isi artikelnya sangat bisa ditanyakan untuk memvalidasi seseorang sebelum memutuskan menikah dengannya.
Buatlah Standar yang Realistis
Setiap orang berhak memiliki
standar. Namun, tentu saja ada baiknya standar itu kamu sesuaikan juga dengan
keadaan.
Semisal saya pegawai Kemenkeu,
standar pasangan minimal pegawai Kemenkeu masih realistis bagi saya. Kalau
standar saya menikah dengan crazy rich Indonesia itu tidak realistis
buat saya.
Mengapa? Karena saya tidak masuk ke
circle itu. Bagaimana mau menikah dengan seorang crazy rich kalau
punya kenalan yang seperti itu saja tidak ada?
Alternatifnya, saya harus
menurunkan standar sehingga menjadi realistis atau saya melakukan lompatan
sehingga bisa masuk ke circle yang menjadi standar yang saya incar.
Pada akhirnya, kamu yang akan
menghadapi sosok yang kamu nikahi. Setiap harinya. Seumur hidup. Bukan orang
yang mengatakan, “Udah pilih siapa saja yang datang,”
Kamu harus siap dengan segala risiko
dan konsekuensi memilih menikah dengan seseorang. Menikah dengan artis? Risiko
cemburu karena banyak penggemar. Risiko menikah dengan laki-laki dengan
penghasilan pas-pasan? Hidup sederhana. Risiko menikah dengan lelaki
temperamental? Menjadi sasaran kemarahannya. Risiko menikah dengan lelaki yang
kurang agamanya? Ia tidak bisa membimbingmu. Dan sebagainya.
Ingatlah.
Menikah artinya memilih risiko dan konsekuensi yang kamu hadapi.
Choose wisely.
So, sebagai single lady yang
cukup lama sebelum akhirnya menikah, I would strongly say : dear
perempuan lajang, jangan mau menurunkan standar!
MasyaAllah, baca tulisannya ampe tuntas, ngerasa dibawa untuk mikir dan terinspirasi dari kisah kakak��
ReplyDeleteMerasa sepemikiran sama mbak Monika, menikah bukan karena asal menikah tapi harus dipikirin siap nggak nerima resiko dan konsekuensinya. Yup, we have to choose wisely. Thanks mbak Monika tulisannya inspiratif sekali. Salam kenal yah 😁
ReplyDeletesetuju banget, mbak. kadang karena merasa dikejar umur para wanita akhirnya menurunkan standar untuk pria yang menjadi suaminya ujung-ujungnya jadi kecewa deh
ReplyDeleteAku dulu kepikiran ingin mengubah seseorang, tapi semakin belajar semakin paham nggak mudah melakukannya. Jadi kalau nggak masuk kriteria diawal aku nggak berani untuk memulai karena takut akhirnya patah hati (lagi) atau galau karena banyak hal yang harus dimaklumi.
ReplyDelete