“Masak sih nikah sama orang yang nggak dikenal. Nanti kalau orangnya nggak bener gimana?” “Nggak masuk akal ah,”
Begitu awalnya saya berpikir tentang ta’aruf. Saya dan suami sebelumnya sama-sama berpikir bahwa kami akan menikah dengan orang yang sudah kenal setidaknya minimal dalam waktu satu tahun. Namun, pada akhirnya, tepat satu tahun lalu kami duduk di sebuah kafe didampingi dengan tiga orang perantara. Berbincang sekitar empat jam lamanya setelah sebelumnya kami saling bertukar CV. Saya mencecar laki-laki yang seumur-umur baru sekali saya temui itu (boro-boro bertemu, mendengar namanya sebelumnya saja tak pernah) dengan tiga puluh pertanyaan yang saya persiapkan dalam satu lembar kertas.