Sebagaimana lazimnya
penduduk Pulau Dewata, Dek Didi menggantungkan hidup pada pariwisata. Namun,
laiknya parasailing yang terbang tinggi lalu kembali ke bumi, pandemi Covid-19
memaksa Dek Didi memutar haluan demi mengisi periuk nasi. Ia kembali ke akarnya
sebagai seseorang yang lahir dan besar di daerah produsen sayur. Dengan jeli,
ia membuat sebuah aplikasi pertanian yang menghubungkan petani dengan calon
pembeli.
Dek Didi adalah contoh kaum
muda yang mengakrabi pertanian pasca pandemi. Meski tak lebih menguntungkan dibandingkan
pariwisata, jelas pertanian jauh lebih memiliki daya tahan. Manusia bisa
hidup tanpa jalan-jalan tapi tak ada yang bisa hidup tanpa makanan, bukan?
![]() |
Sumber gambar : Unsplash |
Tangguhnya sektor
pertanian dibuktikan dengan meningkatnya nilai ekspor pertanian pada April 2020
yang tumbuh sebesar 12,66 persen secara tahunan. Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat bahwa pertanian merupakan satu-satunya sektor yang mencatat
pertumbuhan nilai ekspor. Artinya, pertanian masih digdaya di tengah pandemi.
Peningkatan sektor
ekspor pertanian tak lepas dari peningkatan permintaan pangan global sebagai efek
penurunan produksi pangan di sejumlah negara lantaran kebijakan lockdown. Food and Agriculture
Organization (FAO) telah memperingatkan tentang ancaman kelangkaan pangan di masa
pandemi. Untuk itu, FAO mengimbau agar setiap negara menjaga kelancaran rantai
pasokan pangan.
Kita boleh sedikit
berbangga akan tinggi ekspor pertanian. Namun, mirisnya, Center for
Indonesian Policy Studies (CIPS) dan Insititut Pertanian Bogor memperingatkan
Indonesia tentang ancaman krisis pangan.
Bagaimana bisa terdapat
ancaman krisis pangan sementara terdapat peningkatan ekspor sektor pertanian?