Pagi sayang,
mungkin saat kau membaca ini kita masih terpisah ribuan kilometer jauhnya, kau
mungkin masih bisa mencium bau embun yang jatuh di depan pohon mangga depan
rumah, merasakan kelezatan masakan mama setiap pagi, tidur di kamar yang
menyimpan setiap jengkal kenangan masa kecil. Hal-hal istimewa yang mungkin belum
kau sadari lantaran kau menemuinya setiap hari tapi percayalah dengan sepenuh
hati bahwa kau akan begitu mensyukuri keberadaannya saat kau hanya pulang ke
rumah sesekali dalam setahun. Mungkin benar kata orang jika setelah kehilangan
kita baru menyadari apa yang kita miliki. Mudah-mudahan kau tak seperti aku yang
terlambat menyadari bahwa hal-hal sederhana yang mungkin tampak biasa saja itu
adalah hal-hal yang membuat dirimu utuh.
Kau tahu saat
jauh dari rumah dan tak ada yang bisa kau andalkan selain dirimu sendiri, saat
kau tak bisa merengek-rengek bagai anak kecil lantas orangtuamu datang dan
membereskan semua masalahmu, kau sadar bahwa sudah waktunya kau menjadi gadis
dewasa, berdiri tegaklah dan hapus air matamu, hidup mungkin tak selalu
berjalan seperti yang kau inginkan dan kita tidak hidup di negeri dongeng bukan,
kau akan begitu bersyukur bahwa kau memiliki seorang ibu luar biasa yang
mengajarkan anak-anaknya untuk menjadi tangguh dalam menghadapi dunia. Kau tahu
apa yang dikatakannya saat aku ikut menangis lantaran melihatnya menangis pada
suatu sore? “Kamu nggak usah nangis, cukup mama saja yang sedih, Nak,” dan
bagaimana mungkin aku tak memeluknya erat-erat.
Mungkin kau
masih terlalu kecil untuk mengingatnya, biarkan aku yang menceritakan padamu
sayang. Ketika itu pukul satu malam dan saat itu aku terbangun dari tidurku di
rumah Nenek lantaran perutku melilit luar biasa, aku tak bisa berhenti menangis
karena sakitnya. Nenek dan Oom hendak membawaku ke UGD rumah sakit saat Mama
yang diberi kabar oleh Nenek via telpon datang, dini hari sendirian membelah
jalanan dengan perut yang sedang hamil besar, ya saat itu Mama sedang
mengandung Hilmy. Papa menjagamu di rumah dan tak kuasa mencegah Mama yang
bersikeras ingin segera menemui anak pertamanya.
Ingatkah kau
saat aku SMA dan keluarga kita sedang mengalami kondisi keuangan yang buruk
lantaran ada orang yang menjahati keluarga kita sementara aku membutuhkan biaya
yang cukup besar untuk masuk kuliah dan kau butuh biaya masuk SMA? Kedua orang
tua kita bekerja jauh lebih keras dan Mama menjual semua perhiasan yang ia
miliki. Mama tak pernah mengeluh sedikitpun, ia selalu berusaha tampak kuat di
depan anak-anaknya. Mama jugalah yang mengajariku arti kesabaran dan luasnya
sebuah pintu maaf. Ia sedikit
berkata-kata, ia menunjukkannya dengan apa-apa yang dilakukannya. Apakah kau
menyadarinya? Mama juga lah yang akan marah kalau aku meminta uang untuk
sekadar jalan ke mal walau mungkin jumlahya tak seberapa tapi Mama selalu
mendukung dan tak segan-segan bekerja lebih keras untuk membelikanku tiket
seminar yang terkadang harganya selangit dan semua buku di lemari biru itu.