Yang namanya manusia sebagai makhluk sosial pasti pernah merasakan yang namanya ‘tekanan sosial’. Entah dalam ‘dosis’ ringan, sedang atau berat, pasti ada saja bentuk komentar atau sikap orang ke kita yang membuat merasa ‘tertekan’. Contohnya, tekanan sosial yang saya hadapi sejauh ini berkisar dengan ‘kok-belum-nikah-sudah-umur-berapa’. Yes, i’m at my 25 and i’m not yet married. Mulai dari pertanyaan “kapan nikah?” yang sudah saya siapkan berbagai jawaban standar : a) doain aja yaa, b) tunggu aja ya, nanti kalau mau nikah insya Allah aku undang, c) ..
Pertanyaan kapan nikah pun berlanjut menjadi “kenapa belum nikah?” yang tentunya
udah saya siapkan jawaban standar pula : a) belum nemu yang cocok, b) nunggu
lulus kuliah (sekarang udah lulus jd nggak bisa pakai alasan ini lagi :p), c)
..... Nah, setelah kapan-nikah dan kenapa-belum-nikah akan ada lagi komentar
demi komentar seperti :
“Mau nunggu sampai kapan? Umurmu udah 25 lho,”
“Kamu sih terlalu pemilih. Udah, siapa aja yang datang
diterima aja,”
“Hari gini belum nikah juga. Kamu mau punya umur anak umur
berapa?”
“Itu lho teman seangkatanmu udah pada punya anak dua. Kamu
nikah aja belum,”
“Nyari yang kayak gimana sih? Mau nggak aku kenalin sama X?”
(kayak gini yang paling mendingan lah ya haha)
And so on.. and so
on...
Biasanya, saya senyum-senyum aja sambil bilang “Ya doain aja,
pengennya juga segera,”. Namun, tak disangkal jika berbagai komentar itu terkadang memberikan semacam perasaan
tertekan. Belum lagi jika ada yang memberi semacam tatapan ‘hari-gini-belum-laku-laku’
juga *sigh. Sometimes i feel how people judge others so easily..
Terus, kalau sudah nikah apakah tekanan sosial bakal
berkurang? Nope. Pasti akan ada
rentetan pertanyaan ‘kapan-hamil’ blablabla. Seorang teman yang sudah menikah
(dan kebetulan belum dikaruniai keturunan) pernah berkata bahwa tekanan sosial
yang dirasakan orang yang sudah menikah dan belum dikaruniai anak jauh lebih
berat dibandingkan dengan single yang
ditanya kapan nikah. “Rasanya pengen aku ‘pites’ orang yang nanya kapan hamil.
Itu kan urusan Allah kapan dikasihnya,”
Err. Jadi teringat pada suatu hari di grup, ada yang nanya
ke seorang teman yang baru nikah dua minggu. “Udah isi belum?”. Yes, baru nikah
dua minggu saja sudah ditanya. Social
pressure starts...
Another social
pressure that i feel is... about my weight
Ya, ‘stres skripsi’ kemarin memberikan dampak pada berat
badan. Bertambah beberapa kilogram. Lingkungan sekitar mulai berkomentar, “Gendut
amat sih sekarang,” “Tambah lebar aja” “Belum nikah udah gendut,”
Awalnya sih berusaha cuek saja dan tersenyum, “he-he-he”
lama-lama sambil ngeles, “Efek skripsi ini,”
Yang paling menyebalkan adalah tatapan atau 'senyuman' orang yang
seakan-akan ‘mengolok’.
Beberapa komentar memang diberikan karena orang ‘peduli’
sama kita. Namun, rasa-rasanya, ada saja yang berkomentar untuk sekadar ‘kasihan’.
Honestly, I don't need people to
feel pity on me
Paling baik sih kalau sesudah berkomentar kemudian membantu
atau setidaknya mendoakan. Atau beri komentar yang baik-baik :)
But, yes, of course
sometimes we need a slap on our faces :)
Mencoba berprasangka baik bahwa orang-orang yang berkomentar
menginginkan kebaikan untuk yang dikomentari. Agar orang yang dikomentari
tergerak. Agar orang yang dikomentari melakukan sesuatu.
Although, afterall,
anything we do will always be commented...Even, the silence of us
--
Jadi, tekanan sosial apa yang pernah kamu rasakan? And how do you handle the social pressure?
Please, don’t hesitate to share your
story :)