Duhai anakku, sedang apa kau saat membaca tulisan ini? Saat kau membaca judul ini, ku harap engkau tak mengernyitkan alismu. Tentu ibumu ini bukanlah Siti Maryam, sang perempuan suci yang melahirkan seorang bayi dalam keadaan belum terjamah lelaki. Ibumu saat ini masih berstatus mahasiswi yang sedang berjuang menyelesaikan skripsi, ku harap engkau membaca surat ini ketika kau mulai beranjak remaja. Saat kau mungkin mulai bisa memaknai, kata demi kata yang coba ku untai....
Duhai anakku. Aku tak tahu apakah ketika kau membaca ini,
Doraemon si robot abad 22 masih setia menemani di hari Minggu pagi, aku tak
tahu apakah Bobo masih menjadi teman bermain dan belajar dari generasi ke
generasi, aku tak tahu zaman apa yang akan kau hadapi. Kita adalah manusia
akhir zaman, kita berada di detik terakhir dalam percaturan alam semesta, begitu
kata yang ku dengar dan ku takuti. Aku tak bisa membayangkan seberapa fantastisnya
kah kehidupanmu nanti, dengan segala modernitas, mungkin teknologi ‘augmented reality’ nanti sudah menjadi
hal yang sangat jamak kau hadapi.
Namun, apapun itu, ku harap kau selalu berpegang teguh pada
apa yang tak akan terlindas zaman : ayat-ayat suci dan sabda nabi. Ku harap di
usiamu ini, kau lebih dari ‘sekadar’ lancar mengeja abatasa atau hafal juz ‘amma,
lantunan merdumu menderas firman-Nya lebih sering terdengar di rumah daripada
suara televisi.
Duhai anakku. Jika kau seorang gadis kecil, saat membaca ini
barangkali kau telah melewati tanda kedewasaanmu untuk pertama kali, kau
mungkin sedikit bingung dengan perubahan demi perubahan yang kau hadapi. Tenang
nak, ceritakanlah pada Ibu, tak usah kau tutup-tutupi, ibumu akan dapat memahami. Jika kau mulai menyukai teman lelaki,
berbagilah cerita denganku, aku ingin menjadi temanmu, seseorang yang kau
percaya untuk berbagi rahasia dan resah hati. Semoga kau tak memilih
menghabiskan waktumu dengan
teman-temanmu sementara risauku menanti kehadiranmu, pun tatkala kau bersamaku
jari jemarimu lincah memencet tombol layar dan pandanganmu berpusat pada kotak
sekian inchi.
Duhai anakku. Jika kau seorang anak lelaki, di awal mula kedewasaanmu
saat kau disebut ‘baligh’, ku harap engkau tak penasaran mencoba ini itu, atas
nama pergaulan dan apa yang dianggap sebagai aksioma bahwa wajar-wajar saja
untuk menjadi nakal mumpung ‘masih remaja’. Ku harap engkau lebih memilih untuk
menyibukkan dirimu dengan organisasi, buku atau melakukan hal-hal baik yang kau
suka. Akrabilah ayahmu, ikutilah apa yang kau lihat baik darinya, turutilah
perkataannya meski gejolak mudamu meminta sebaliknya. Tentu, kadang-kadang
ajaklah ibumu ini turut serta.
Jika
kau membaca lagi tulisan ini ketika usiamu sudah layak dipinang, sibukkan
hari-harimu dengan memiliki banyak teman dan penuhi dengan rangkaian kegiatan,
tebalkanlah ilmumu agar kelak kau lebih baik dari ibu dalam menunggu. Jika kau
seorang laki-laki yang hendak menjadi seorang suami, janganlah sembarang
menebar janji hendak menikahi jika kau tak benar-benar memaksudkannya, datangi
orang tuanya begitu kau mampu.
Duhai anakku, saat menulis ini, aku belum tahu siapa namamu. Aku juga belum tahu siapa laki-laki yang akan menyematkan nama belakangnya di belakang namamu atau nama gabungan apa yang akan menjadi nama tengahmu. Aku belum tahu bagaimana nanti gayaku mengasuhmu, saat ini aku masih mengamati teman-temanku yang lebih dahulu menimang buah hati. Membayangkan kau lah yang terbaring hangat dalam dekap diri.
Duhai anakku, saat menulis ini, aku belum tahu siapa namamu. Aku juga belum tahu siapa laki-laki yang akan menyematkan nama belakangnya di belakang namamu atau nama gabungan apa yang akan menjadi nama tengahmu. Aku belum tahu bagaimana nanti gayaku mengasuhmu, saat ini aku masih mengamati teman-temanku yang lebih dahulu menimang buah hati. Membayangkan kau lah yang terbaring hangat dalam dekap diri.
Duhai anakku. Sungguh aku telah menyayangimu, jauh sebelum
aku mengenalmu, sebelum janji sehidup semati terikrar antara ayah dan ibumu.
Meski tertatih, sedikit dan perlahan, ku belajar untuk menjadi ibu terbaik
untukmu, seorang ibu yang kelak bisa kau banggakan, seorang ibu yang bisa
menghebatkan. Aku ingin menjadi yang pertama mengajarimu mengenal Tuhan, aku
ingin menjadi yang pertama mengajarimu Al Qur’an, aku ingin menjadi yang
pertama mengajarimu berjalan, aku ingin menjadi yang pertama mengajarimu kebaikan
demi kebaikan.
Kaulah semangatku
untuk berjuang. Kau adalah salah satu alasan.
Berjuang agar mampu menghebatkanmu artinya aku harus bisa
menghebatkan diriku. Mengajarimu ini itu artinya setidaknya aku tahu.
Menyuruhmu melakukan ini itu maka aku pun harus mencontohimu. Aku harus
memantaskan diriku, menjadi ibu terhebatmu.....
Sungguh nak, aku telah
menyayangimu......
---
terpanjat doa agar Allah ridhoi diri ini menjadi seorang ibu, kelak suatu hari nanti
---
terpanjat doa agar Allah ridhoi diri ini menjadi seorang ibu, kelak suatu hari nanti
SELAMAT HARI IBU
untuk para ibu
untuk calon-calon ibu
---