Petualangan di Pulau Flores berlanjut. Dari Kelimutu, kami
beranjak menuju Riung, sebuah kecamatan di kabupaten Ngada, sebuah kabupaten di
bagian utara pulau Flores. Tujuan kami berikutnya adalah Taman Laut 17 Pulau
Riung yang pernah masuk dalam daftar sementara
World Heritage oleh Unesco.
Perjalanan dari Moni ke Riung menempuh waktu sekitar lima-enam
jam. Kami singgah sejenak di Ende, sebuah kota kecil yang sempat menjadi tempat
pengasingan Bung Karno selama empat tahun. Sayang, saat kami tiba rumah yang
pernah didiami oleh sang Proklamator sedang tak bisa dikunjungi, pintu pagarnya
terkunci rapat. Kami terpaksa puas melongok dari atas pagar yang tak terlalu
tinggi.
 |
Rumah Peristirahatan Bung Karno di Ende. Sayang tak bisa masuk. |
Jika Nusa Tenggara Timur disebut-sebut sebagai salah satu
daerah paling gersang di Indonesia, kesan yang kami tangkap saat perjalanan
overland Flores
pada awal Februari ini adalah sebaliknya.
Hijau. Pepohonan nan meneduhkan mata dan sabana yang terhampar luas di kanan
kiri jalan. Bang Us, pengemudi mobil Avanza yang kami sewa menunjukkan
keahliannya mengemudi, ia melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Padahal kami
melewati jalur yang berkelok-kelok, tak jarang lebar jalan hanya satu meter dengan
semak lebat menghalangi pandangan, sehingga membuat pengemudi harus senantiasa
waspada karena kendaraan dari arah berlawanan tak nampak oleh pandangan mata.
 |
Seperti membentuk mata bukan? |
 |
Jalanan berkelok dengan pemandangan sabana |
Kami berhenti sejenak di tepi jalan pada sebuah kota bernama
Mbay, ibukota Kabupaten Nagakeo yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Ngada.
Hijau sabana dan dua buah bukit yang seperti membentuk mata memantik keinginan
kami mengambil foto dari dekat. Tak
cukup sampai di situ, sebuah bukit bernama Tanjung Lima Belas (lepas Nagakeo) merupakan
spot yang amat sayang untuk
dilewatkan. Dari atas bukit, kami memandang Riung dari kejauhan seraya membidik
lanskap sabana. Matahari bersinar amat cerah siang itu.
 |
Dari atas Tanjung Lima Belas |
Kami tiba di Riung saat hari menjelang sore. Selepas
meletakkan barang-barang di sebuah penginapan kami berjalan-jalan ke dermaga seraya
menikmati pemandangan senja. Pak Alex, seorang nelayan warga setempat, memandu
kami. Ia yang akan mengantarkan kami menjelajah Taman Wisata 17 Pulau keesokan
harinya. Saya sempat tertegun sejenak mendengarkan suara azan melengking dari
sebuah pengeras suara sebuah masjid kecil pada saat perjalanan pulang dari
dermaga menuju penginapan. Maklum, Flores merupakan daerah minoritas Muslim.
Rupanya, penduduk Nangamese (nama kelurahan dermaga berada) yang mayoritas
nelayan sebagian merupakan keturunan dari suku Bugis yang notabene merupakan
Muslim. Mereka meninggalkan tanah kelahiran di Sulawesi dan mengadu nasib di
pulau seberang. Yang perlu dicatat, kehidupan di Nangamese antara penduduk asli
Riung dengan pendatang dari Bugis berjalan rukun dan harmonis.
 |
Aktivitas para nelayan |
Pagi-pagi, lepas
Subuh kami bersiap ke dermaga. Pak Alex ditemani seorang keponakannya telah
menunggu kami. Kami menyewa kapal seharian dengan tarif sewa Rp500.000,00 (di
luar biaya sewa alat snorkeling dan
makan siang). Meski memiliki nama Taman Wisata 17 Pulau, bukan berarti
pulau-pulau yang ada berjumlah tujuh belas. Pak Alex menyebut angka dua puluh
empat. Katanya, angka 17 sendiri merujuk pada tanggal kemerdekaan bangsa
Indonesia. Tiga pulau menjadi tujuan
kami : Pulau Ontoloe (atau disebut juga Pulau Kelelawar), Pulau Tiga dan Pulau
Rutong.