Beberapa waktu lalu, saya merasa sangat takut mati, mungkin ketakutan itu memiliki skala 9/10. Amal saya rasa-rasanya masih sedikit dan dosa masih banyak, bekal amal belum cukup. Raga adalah fana, sementara jiwa abadi.
Seberapa lama abadi itu? Selama-lamanya, selama-lamanya. Kalau tidak mencukupkan pikiran, rasa-rasanya saya bisa gila membayangkan kehidupan yang tiada berakhir. Ya, kalau berakhir enak, kalau tidak?
Terlalu mengerikan untuk dibayangkan. Bahkan pernah membayangkan kata “selamanya” membuat mual.
Saya juga takut membayangkan sakitnya sakaratul maut. Bahkan, Rasulullah SAW saja merasakan sakitnya, apalagi manusia seperti saya yang banyak dosa.
Lalu, saya membuat Instagram Story, menanyakan bagaimana agar tidak takut mati. Saya mendapatkan beberapa tanggapan: ada yang bilang perbanyak amal kebaikan hingga pasrah. Ada dua jawaban lain yang membuat saya tertarik.
Yang pertama, teman saya menjawab, “Kenapa harus takut? Kita kan menuju Tuhan yang sangat menyayangi kita,”
Yang kedua menjawab, “Ikhlas sama hidup yang dijalani, karena di akhirat bukan perkara hitung pahala, tapi rahmat Allah,”
Dua jawaban yang belum terpikirkan sebelumnya. Saya percaya bahwa Tuhan Maha Penyayang, hanya saja saya terkadang meragukan apakah saya yang banyak dosa ini pantas mendapatkan kasih sayang-Nya yang begitu besar?
Yang kedua, saya sudah lama tahu tentang dalil yang menyebutkan bahwa seseorang masuk surga bukan karena pahalanya melainkan karena rahmat Allah. Hanya saja saya sering lupa….
Terlalu fokus pada diri sendiri, sudut pandang keakuan lebih dominan…
Menjalani Hari Sebaik-baiknya Sambil Menunggu Mati
Beberapa waktu kemudian, saya mengikuti kegiatan “Integrated Health Camp” yang diadakan oleh dokter Puti Rita Liswari. Pelatihan selama dua hari yang tak hanya berbicara tentang menjaga kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental. Tubuh, pikiran, dan jiwa adalah satu kesatuan yang saling terhubung.
Pelajaran berharga yang saya dapatkan bukan tentang kesehatan, melainkan tentang akidah…
Menurut dokter Puti, 60% penyakit bersumber dari pikiran, 20% dari makanan, dan 20% dari gaya hidup.
Segala permasalahan yang mengganggu pikiran berujung pada kurangnya konektivitas dengan Sang Maha Pencipta. Manusia yang terlalu memaksakan kehendak, kaku dan tidak fleksibel, banyak menuntut membuat penyakit berdatangan.
Ketakutan saya akan kematian bersumber dari kurangnya konektivitas saya dengan Allah SWT. Saya yang sholat tetapi masih cepat-cepat, belum benar-benar “berbicara” kepada Allah SWT.
Seharusnya saya mengubah fokus. Bagaimana menjalani hari dengan berfokus pada mencari rida-Nya.
Apakah yang saya lakukan kira-kira diridai-Nya?
Susah, susah sekali untuk selalu ingat tetapi harus terus diperjuangkan….
Bersyukur, bersyukur untuk kesempatan hidup satu kali lagi, satu hari lagi. Hingga nanti tiba waktu bertemu dengan-Nya…
Entah kapan (kalau bisa meminta sih pengen sampai umur 75 tahun), tetapi semoga dalam keadaan sebaik-baik iman… Aamiin ya Rabbal ‘alamin…