Salah satu hal yang membahagiakan dalam hidup adalah ketika pada akhirnya dapat menjejakkan kaki di tempat yang selama ini hanya didengar namanya, dilihat gambarnya atau dicari letaknya di peta.Ya, kebahagiaan sesederhana itu, salah satunya. Beberapa hari yang lalu saya bersama beberapa teman semasa kuliah berkesempatan untuk menjelajah bumi Celebes bagian Selatan. Bandara Hasanudin nan megah menjadi pintu gerbang yang menyambut kedatangan kami pagi itu.
Dari bandara kota paling ramai di Indonesia bagian timur itu kami mengendarai shuttle bus keluar bandara menuju jalan raya. Rencananya kami hendak naik pete-pete (sebutan untuk angkot di sana) menuju Bantimurung dan Leang-leang tetapi kami akhirnya memutuskan untuk menyewa angkot tersebut seharian. Taman Prasejarah Leang-leang, tempat yang hanya pernah saya dengar saat mengikuti mata kuliah Budaya Nusantara adalah destinasi pertama kami.
![]() |
Awas nginjek kaki seribu |
Di sepanjang jalan yang dekat dengan Leang-leang, pemandangan hijau dipadu batu-batu marmer tinggi nan elok memanjakan mata. Memasuki lokasi wisata, batu-batu marmer tinggi peninggalan zaman prasejarah kembali menyambut kami sebelum masuk ke gua-gua yang berisi lukisan manusia purba. Ada dua gua di Leang-leang (leang sendiri bermakna ‘gua’) : Leang Pettakere dan Leang Pettae. Untuk mencapai Leang Pettakere kami harus melewati puluhan anak tangga. Gua merupakan tempat tinggal manusia purba, di dinding atas gua terdapat lukisan tangan manusia purba serta gambar babi rusa. Ohya selain itu, hewan yang disebut sebagai ‘kaki seribu’ melimpah
ruah di Leang-leang. Warna abu-abu badannya memudahkan artropoda itu menyaru
dengan paving block berwarna sama.Yang tak kalah cantik adalah pemandangan alam di Leang-leang. Perpaduan bebatuan, langit dan hijau pepohonan.
![]() |
Dari kiri ke kanan atas ke bawah : bebatuan di leang-leang, pintu masuk leang pettae, pemandangan depan leang-leang dan sampah dapur orang purba (kjokkenmodinger) |
Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terletak tak jauh dari Leang-leang. Di taman nasional yang terkenal sebagai habitat kupu-kupu ini lah kami mengamati taman penangkaran kupu-kupu, melihat-lihat koleksi bangkai kupu-kupu yang diawetkan di museum kupu-kupu serta sempat terpukau dengan debit air terjun yang begitu deras. Tak lupa kami pun memasuki gua batu yang dikatakan oleh sang pemandu kami terdapat mata air yang digunakan oleh raja bantimurung untuk bersuci serta tempat beliau melaksanakan ibadah sholat. Kawasan wisata ini bersih dan nyaman.
![]() |
Dari kiri ke kanan atas ke bawah : penangkaran kupu-kupu, tempat bersuci raja Bantimurung, koleksi di museum kupu-kupu, dan air terjun bantimurung yang deras |
Menjelang petang, kami bergegas menuju tempat keberangkatan bus yang akan membawa kami menuju Tana Toraja. Perjalanan dari Makassar ke Toraja ditempuh dalam waktu delapan jam tetapi perjalanan tak terasa melelahkan karena bus Scania yang kami tumpangi amat nyaman. Kursi empuk, ada guling, selimut dan jarak antar kursi yang luas. Harga tiket bus tersebut Rp130.000, sama dengan harga tiket bus yang biasa saya tumpangi ke Semarang. Kami tiba di kota Rantepao, ibukota kabupaten Toraja Utara sekitar pukul enam pagi waktu setempat. Kota Rantepao merupakan kota kecil yang cukup ramai. Mayoritas masyarakat Toraja adalah pemeluk Kristiani jadi bagi wisatawan yang Muslim ada baiknya untuk bersantap di warung makan Muslim yang tersedia cukup banyak di kota Rantepao.
![]() |
Dari atas ke bawah : penampakan bus yang membawa kami ke Rantepao, ‘tetenger’ kota Rantepao, ornamen masjid di Rantepao yang khas 😉 |
Petualangan kami di Toraja dimulai dari Pasar Bolu. Pasar yang menjajakan kerbau dan babi itu ramai dengan banyaknya manusia yang bertransaksi. Maklum saja, Tana Toraja terkenal dengan adat istiadatnya yang menggunakan hewan kerbau dalam jumlah besar, sebut saja Rambu Solok yang merupakan upacara kematian masyarakat Toraja. Dalam sekali upacara Rambu Solok bisa puluhan kerbau dan babi yang disembelih. Semakin tinggi kedudukan atau status sosial seseorang dalam masyarakat, semakin besar jumlah kerbau yang akan dikorbankan dalam upacara kematiannya. Sayang seribu sayang, kami tiba di Toraja pada hari Ahad yang notabene merupakan hari masyarakat Toraja bersantai. Kalau saja kami datang keesokan harinya, kami akan bisa menyaksikan prosesi Rambu Solok yang termasyur itu. Jadi saran saya, kalau Anda ke Toraja kalau bisa jangan pada hari Minggu hehe.
![]() |
Pasar Hewan Bolu dari depan dan penampakan seekor kerbau seharga 400juta |
Berturut-turut kemudian kami berwisata sejarah dimulai dari Rante Karessik yang merupakan situs peninggalan Megalithikum, kami melanjutkan perjalanan ke Ke’te’ Kesu’ yang merupakan kompleks pemukiman tradisional masyarakat Toraja. Memasuki kawasan tersebut, kami disambut oleh hamparan rumah tradisional masyarakat Toraja, Tongkonan. Lebih dalam lagi terdapat kompleks pemakaman khas masyarakat Toraja. Ada tiga cara pemakaman yakni jenazah dimakamkan di makam batu berukir (biasanya untuk kalangan berada), di makamkan di dalam gua dan dimakamkan di tebing. Masuk ke gua yang ada di Ke’te’ Kesu’ pengunjung akan menemukan beberapa peti yang digantung di bagian atas gua. Ohya, karena wisata kuburan jangan kaget apabila menemukan tengkorak yang berserakan.
![]() |
Rante Karessik : peninggalan situs Megalithikum |
![]() |
Ke’te Kesu’ : tampak depan, kompleks pemukiman tradisional Toraja (rumah adat Tongkonan), peti batu di sepanjang jalan dan peti yang ada di dalam goa |
Wisata selanjutnya kami menuju Londa, Suaya dan Kambira. Londa merupakan gua makam seperti yang terdapat pada Ke’te’ Kesu’ sedangkan Suaya merupakan tempat pemakaman para bangsawan, jenazah di letakkan di liang batu pada tebing. Sayang Suaya nampak kurang terawat. Adapun Kambira merupakan kawasan pemakaman bayi yang dikuburkan di pohon besar.
![]() |
Berturut-turut :Tampak dpan Londa, Suaya dan Kambira |
Kembali ke Makassar, kami berkeliling ke Fort Rotterdam, benteng peninggalan Belanda yang didalamnya terletak Musem La Galigo, museum yang menyimpan kekayaan sejarah masyarakat Sulawesi Selatan, mulai dari zaman prasejarah hingga kini, mulai dari alat yang digunakan untuk memecah batu hingga senjata perang. Pulau Samalona adalah tujuan kami berikutnya, letaknya persis di seberang Fort Rotterdam. Dari tepi kota Makassar, kami menaiki speedboat sekitar dua puluh lima menit dengan biaya sewa Rp300.000 bolak balik *ditunggu oleh sang pemilik kapal. Air di Pulau Samalona cukup bersih dengan banyaknya batu karang di pinggir pantai.
![]() |
Fort Rotterdam tampak luar dan tampak dalam.. Ada Al Qur’an tulisan tangan juga lho 🙂 |
![]() |
Pulau Samalona |
Selepas menyeberang kembali ke Makassar, kami tak lupa bersantap siang dengan Konro Karebossi yang mahsyur itu. Konro bakar dengan bumbu kacang terasa lumer di lidah, bekal untuk melanjutkan perjalanan ke Gowa untuk singgah di Istana Tamalate dan Museum Balla Lompoa. Di museum ini tersimpan koleksi peninggalan kerajaan Gowa. Selanjutnya kami menuju benteng Somba Opu, salah satu benteng terkuat di zamannya.
![]() |
Istana Tamalate dan Museum Balla Lompoa |
Liburan kami pun berakhir dengan wisata kuliner di kota Makassar, mulai dari pisang epe’ (semacam pisang dibakar) saat matahari terbenam di Pantai Losari, Pallu Basa Serigala nan terkenal (Pallu Basa sejenis coto tetapi dengan kuah lebih kental dan bubuk santan yang terasa) hingga Pisang Ijo dan Pallu Butung di RM Bravo. Hmm, jangan pikirkan berat badan saat liburan ya hihi.
![]() |
Pantai Losari |
![]() |
Sebagian kuliner di kota Makassar : Pallu Basa, es Pallu Butung, Konro Bakar Karebosi, dan Jalangkote |
Berakhir sudah tiga hari yang menyenangkan dan kembalilah kami ke ibukota dengan kenangan liburan yang berkesan 🙂
12 Comments. Leave new
wow, hasil fotonya bagus-bagus. sayangnya kecil-kecil, jadi kurang puas liatnya..
aku pernah ikuti jejak petualang di trans 7 tentang tanah toraja. menakjubkan memang 🙂
ehehe, biar ga berat mba, nanti klo sempet sy apdet lg fotonya.. makasi sarannya mba 🙂
iya emang bagus mba… btw salam kenal ya 🙂
waaaah mbak mon kok tak bilang-bilang ke makssar. kita kan bisa bertemu xixixi.saya bisa ngeguide di benteng rotterdam, kebetulan pernah kkn di sana hehe. losari dekat dari rumahku. kalo ke makassar lagi kita ketemu ya mbak
waaaa… boleh2… laen kali klo sy ke makassar lg ya mb, kmrn masi kurang puas ^^
kyaaaaa ada penangkaran kupu-kupunyaaaaa >,<
bring me there kakak, bring me thereeee..
Ayo mba.. saya mau kok klo diajak ke sana lagi *eh 🙂
weih jdi kepengen ke sana, kurang puas klo ngeliat foto2 nya doang,.
Mbak Mon jalan2 teyus ih, meluuuu
adieh, tiga hari bisa ke semua tempat itu. Kerenlah!
Hiks, pengen ke Torajaaa 🙁
aku berapa kali mau nyobaiin palubasa serigala, berapa kali gagal..
udah nyobain sih di kendari, yang katanya cabang dari palubasa serigala makasar..
tapi tetep penasaran ama yang asli
Gilee… Momon keliling sampe ke Toraja dan Gowa hanya dlm wkt 3 hari? Luar biasa..
Kampung aq bagus kan? Hehehe….
Wah asyiknya ….. pengen banget aku ke Makassar mbak, udah masuk waiting list sejak dulu tapi belum kesampean juga hiks….. moga2 bisa segera mengikuti jejakmu ya 😉