“Tina, kamu sudah keterlaluan!” suara Pak Dayat meninggi, ia menarik badan Bu Tina dan menghempaskannya ke sofa.
Wajah Bu Tina merah padam. “Itu emas-emas saya nilainya ratusan juta. Ratusan juta lho, Pak. Saya kerja keras buat beli itu,” nada suara Bu Tina meninggi.
“Kerja keras katamu? Saya kan kasih kamu uang juga buat beli emas. Lagipula, apa yang kamu maksud dengan kerja keras? Minjemin uang dengan bunga tinggi itu, hah?”
“Oalah Pak, Pak. Njenengan nggak usah munafik! Memang dulu siapa yang bantu Njenengan bayar utang pas gagal panen dan harga cabai anjlok? Memang Njenengan pikir uang itu darimana? Dari daun?”
Pak Dayat terdiam. Omongan istrinya benar.
“Yanto bukan pencuri. Saya yang kasih uang sama dia,”
“Minjemin uang Pak? Cuma-cuma?” Bu Tina berteriak tak percaya. “Berapa Bapak kasih dia? Nanti saya potong dari gaji dia sama bunganya!”
“Sudah, sudah Bu. Ini yang bikin saya nggak bilang-bilang sama sampeyan. Semua dinilai dari uang. Yanto itu sudah banyak sekali membantu saya. Anaknya jujur dan baik. Ndak ada salahnya saya bantu dia. Bapaknya kemaren meninggal dan masih ada utang. Keluarga Yanto dikejar-kejar rentenir, saya cuma mau membantu mereka,”
Pak Dayat menatap Bu Tina tajam, “Sampai kapan sampeyan mau jadi rentenir? Nyusahin hidup orang? Sampeyan nggolek opo maneh? Rumah, tanah, mobil, tabungan ada. Liburan ke luar negeri kapan saja juga bisa. Sudah Bu, hentikan usaha Ibu jadi rentenir itu,”
“Nyusahin gimana to Pak? Saya ini cuma mbantu. Memang mereka bisa pinjem ke bank tanpa jaminan? Ya ndak to. Ndak bakal bank kasih,” Bu Tina membela diri.
Tiba-tiba Pak Dayat menyeringai. “Ibu mau ndak emas Ibu balik?”
“Hah? Bapak yang nyolong ya Pak?”
“Sembarangan. Ngapain saya nyolong-nyolong. Udah mau ndak? Yang penting emas-emas kesayanganmu balik to? Biar bisa sampeyan liatin tiap hari?” Pak Dayat menyindir.
“Yowes, mana Pak?” sergah Bu Tina dengan tak sabar.
“Ndak semudah itu. Biar emasmu balik, ada syaratnya,”
“Hah, syarat opo to Pak? Wong itu emasku sendiri kok pakai syarat,” Bu Tina ngomel.
“Ya terserah sampeyan. Kalau ndak mau ya ndak apa-apa. Tapi, emasmu ya ndak balik lagi. Mau?” Kali ini nada Pak Dayat mengancam. Sudah lama ia tertekan dengan sikap istrinya, kali ini harus ia yang memegang kendali.
“Ya sudah, Pak. Memang apa syaratnya?”
“Pertama, sampeyan harus menghentikan bisnis pinjam meminjam uang. Minjemin uang ke orang nggak apa-apa tapi nggak boleh narik bunga. Kedua, jaga omongan ibu. Jangan menyakiti hati orang lagi,”
Bu Tina menghela nafas. “Saya nawar boleh ndak, Pak? Kalau saya ndak bisnis pinjem meminjam uang, Njenengan harus nambah uang belanja saya 20 juta sebulan,”
“Ya sudah Bu, yang penting sampeyan berubah. Sepakat berarti ya? Yanto, tolong ambilkan pulpen dan kertas di ruang kerja saya. Ohya, sama materai. Biar perjanjiannya kuat,” Pak Dayat memberi instruksi.
Bu Tina terbelalak. Belum pernah ia melihat suaminya seserius ini. Namun, bagaimana lagi, emas-emas kesayangannya harus kembali. Ia pun menandatangani kertas bermaterai yang sudah dituliskan Pak Dayat tentang kesepakatan mereka.
“Yanto, tolong kamu simpan baik-baik kertas ini. Kalau nanti Bu Tina melanggar perjanjian, hartanya bisa jadi hilang semua,” Pak Dayat mengancam.
“Mana emas saya yang hilang?” Bu Tina nampak tak terlalu peduli.
“Emas Ibu nggak pernah hilang kok,” Kali ini Dini yang membuka suara.
Eh? Maksudnya?
“Ibu harus minta maaf dulu sama Eyang dan Om Yanto nanti Dini kasih tahu,” Dini ikut memberi syarat kepada Bu Tina.
Ini anak kenapa jadi ikut-ikutan ngatur, Bu Tina menggerutu. Namun, akhirnya ia pun meminta maaf kepada mertuanya dan Yanto.
“Inget, nduk. Habis ini kamu harus berubah jadi lebih baik lagi,” nada suara mertua Bu Tina melunak. Adapun Yanto hanya mengangguk.
“Emas ibu nggak pernah hilang kok,” Dini membuka tabir.
“Hah?”
“Coba cek mobil Bapak,”
Bagai kerbau dicocok hidungnya, Bu Tina pun menuju garasi mengikuti langkah Pak Dayat dan Dini. Ia langsung memeriksa mobil Pak Dayat dengan teliti. Ada satu karung besar di bagasi mobil Pak Dayat, Bu Tina membukanya dengan tak sabar. Emas-emasnya, kilauan-kilauan perhiasan yang selalu membuat hatinya riang.
Bu Tina mengangkat karungnya dan memeluknya layaknya seorang ibu memeluk anaknya.
“Emas-emasku huhu… Tak kira (saya pikir) ndak bakal ketemu lagi,”
“Inget janjinya to Bu?” Pak Dayat sudah menagih.
“Ya inget lah Pak, belum juga satu jam yang lalu,” Bu Tina bersungut-sungut. “Maksud Bapak apa nyembunyiin emas-emas saya? Pengen bikin saya panik? Seneng ya kalau istri susah?”
Kenapa ya waktu emasnya hilang, ia sama sekali tak kepikiran memeriksa mobil Pak Dayat. Kalau gitu kan dia nggak perlu tanda tangan surat perjanjian konyol itu, rutuk Bu Tina.
“Ehem… Bu… Kami sudah sering banget mendengar keluhan tetangga tentang sikap Ibu. Kami juga ingin Ibu menghentikan praktik rentenir. Riba, Bu. Ayolah kita sama-sama berubah,” Pak Dayat memulai suara.
“Trus maksudnya Pak?”
“Kami ingin menyadarkan Ibu biar nggak terlalu cinta sama harta. Toh nggak dibawa mati juga kok. Kami semua sayang Ibu,” Pak Dayat menggenggam jemari Bu Tina.
“Apa to Pak? Itu lho diliatin Bik Inem, Pak Budi, Yanto,” Bu Tina berkelit tapi mukanya bersemu merah. Entah sudah berapa tahun ia tak mendengar kata-kata cinta dari suaminya.
“Iya, Bu. Dini sayang Ibu. Dini ndak mau orang-orang benci Ibu,” Dini memeluk Bu Tina sambil terisak.
Bu Tina terdiam. Sudah lama ia tak merasakan kehangatan keluarga seperti ini. Tanpa sadar air mata Bu Tina pun turut keluar. Pak Dayat memeluk Bu Tina dan Dini.
“Ya, Pak.. Saya janji mau berubah,” Bu Tina mengangguk mantap.
“Ngomong-ngomong, ide siapa ini? Kok kayaknya ndak mungkin ide Bapak atau Dini,”
“Mbak Intan, Bu,” Hoalah, pantesan Intan kemarin nanya-nanya.
Bu Tina mengajak orang-orang masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian ia mengeluarkan ponselnya dan melakukan panggilan video ke anak pertama dan kedua.
“Maafin Ibu ya, Nak. Atas segala sikap Ibu yang tidak enak, Ibu minta maaf,”
Terkadang memang kita membutuhkan perasaan kehilangan agar tersadarkan.
-TAMAT-