menghibur diriku. Tapi judul yang kuambil dalam rangka Giveaway di blog
Monilando ini, adalah bentuk kekagumanku pada Pencipta putriku.
Mau tahu bagaimana putriku hingga aku menyebutnya gadis yang istimewa ?
Ini foto putriku, cantik bukan ? Semua ibu pasti akan mengatakan
putrinya cantik :D. Namanya Fathin Nisa Elfathiyya. Putriku ini
menderita autisme. Dia adalah putri kedua dari keempat putra-putriku.
Autisme yang dia derita aku ketahui ketika dia berumur dua tahun. Saat
itu, seorang teman menyarankan untuk membawa ke seorang psikiater anak.
Terapi yang diberikan adalah terapi obat. Selama dua tahun, putriku
mengkonsumsi obat. Dan obat-obat itu harganya tidak murah. Tabunganku
terkuras habis, bahkan sebidang tanah yang pernah aku rencanakan untuk
dibangun rumah di atasnya pun terjual demi pengobatan putriku.
Bagi anak seusia dia, minum obat adalah siksaan terberat. Bagi anak
autis, minum obat adalah siksaan berat bagi ibunya. Dia adalah seorang
anak kecil dengan tenaga luar biasa. Untuk meminumkan obat padanya,
tidak bisa dengan bujuk rayu atau iming-iming hadiah. Aku harus mendekap
tubuhnya, mengunci kakinya, dan mendongakkan kepalanya. Orang lain (
ibu atau suamiku ) yang memasukkan obat ke dalam mulutnya. Itu pun
dengan rangkaian teriakan dan tangisan. Setelah minum obat, dia akan
terus menangis. Bahkan jika tantrum, bisa mencapai satu jam. Terus
menerus menangis histeris dan membanting-banting tubuhnya. Hingga aku
harus melepaskannya di ranjang agar dia tidak melukai dirinya sendiri.
Banyak teman mengatakan, walau memiliki anak tidak normal, wajahku tidak
menunjukkan kalau aku stress. Maksudnya, aku tetap saja
tersenyum-senyum dan bercanda lepas bila berkumpul dengan teman-temanku.
Siapa bilang aku tidak stress ? Lebih tepatnya, aku tertekan. Jadi bila
ada lengkung di bibirku, bukan berarti aku sedang gembira. Aku hanya
mencoba berdamai dengan takdir. Dan itu tidak mudah.
Setiap kali mengajak putriku bertamu, baik itu ke rumah teman atau
kerabat, tuan rumah selalu dengan reflek mengunci kamar-kamar mereka dan
mengganjal lemari es mereka dengan kursi. Tentu saja, karena putriku
akan langsung mengeksplorasi suasana baru di mana pun dia berada. Jujur,
hatiku benar-benar tertohok. Apalagi kadang spontan mereka berkata,
“Ada Fathin … ada Fathin !”. Seolah kalimat itu adalah warning untuk
menyelamatkan semua barang. Dan mereka semua tak pernah tahu, bahwa air
mata membanjiri batinku, bukan sepasang mataku.
Sedih luar biasa. Tidak ada orang yang mengharapkan kehadiran anakku !
Dari beberapa literatur yang aku baca, kebanyakan isinya menghibur para
orang tua dengan anak autisme. Bahwa mereka adalah anugerah istimewa.
Istimewa apanya ? Dia tak diharapkan di mana pun ! Dan berkali-kali aku
berusaha berprasangka baik pada orang-orang di sekelilingku, tapi selalu
kembali pada kenyataaan. Here I am. Sampai kapan pun, aku dan
anak autisku, tak akan bisa kemana-mana. Di rumah saja, jauh lebih baik.
Bagi aku, anakku dan orang-orang di sekitarku.
Tapi, pemikiran itu perlahan berubah. Seiring bertambahnya usianya, aku
ingin dia bersekolah. Aku menyadari, aku dan suami akan semakin menua
dan dia akan menjadi dewasa. Dia harus bersekolah dan mengenal dunia
tempat dia hidup sekarang, bukan dunianya sendiri. Walau aku tidak tahu,
bagaimana kelak dia menghadapi masa remaja dan dewasanya ? Apakah dia
bisa mandiri dalam segala hal ? Adakah yang mau menikah dengannya ?
Tapi saat dia kumasukkan ke sebuah TK, tak ada anak yang mau bermain
dengannya. Karena perilakunya tidak dipahami oleh teman-temannya. Tidak
bisa diajak berkomunikasi. Gurunya pun merasa, berhadapan dengan anakku
begitu menyulitkan. Dan, telingaku pun harus memerah tiap hari karena
mendengar keluhan wali murid lainnya, yang iri kenapa Fathin boleh
berkeliling kelas sementara anak mereka tidak boleh. Kenapa Fathin boleh
tidak mengerjakan, sedangkan anak mereka tidak boleh. Tapi aku mencoba
bertahan.
Dan anakku menempuh pendidikan TK selama 4 tahun. Dua tahun terakhir,
aku sendiri yang menjadi gurunya karena saat itu aku mulai bekerja
menjadi Guru TK di sebuah TK yang baru didirikan. Selepas itu, aku
bingung, mau disekolahkan di mana anakku ? Tubuhnya semakin besar, tapi
pola pikirnya masih seperti batita. Walau komunikasi antara aku dan dia
hanya satu arah, tapi aku yang paling tahu bahwa dia sangat ingin masuk
SD. Memakai baju putih merah.
Dek Fathin saat perpisahan SDLB |
menerima anak seperti Fathin. Akhirnya aku masukkan dia ke SDLB.
Sungguh sebuah sekolah yang tidak tepat bagi anak autis seperti Fathin.
Karena sepulang dari sekolah, dia semakin aneh. Malah menirukan gerakan
dan cara bicara teman-temannya yang bisu tuli.
Akhirnya, aku memindahkan dia ke SDIT, sebuah sekolahi inklusi, atas saran beberapa teman.
Dan, sejak bersekolah di sinilah, aku perlahan merasakan keistimewaan itu. Subhanallah….
Ya, dalam setiap perilakunya, aku semakin yakin bahwa Allah tidak pernah
salah menciptakan makhlukNya dan tidak pernah luput memberikan hikmah
dalam setiap kejadian.
Semenjak bersekolah di SDIT yang memang kental dengan pembiasaan
Islaminya, aku tidak pernah mengira bahwa putriku menjadi gadis yang
selalu sholat tepat waktu. Tidak hanya itu dia selalu menunggu-nunggu
waktu sholat. Pertanyaan sehari-harinya di antar waktu sholat adalah,
“Ibu, sudah adzan sholat ?”
Duh, aku sendiri sebagai ibunya hampir tidak pernah menanyakan adzan
sudah berkumandang atau belum, apalagi mempersiapkan diri menunggu waktu
sholat. Begitu adzan berkumandang, dia langsung berwudhu’ dan menggelar
sajadah.
Putri cantikku lebih tahu, apa destinasi akhir dari hidup ini dan apa modal utama yang bisa menyelamatkannya di akhirat kelak.
Kini, senyum yang hadir di wajahku, bukan lagi sarana untuk mencoba
berdamai dengan takdir. Aku bersyukur, Allah memilihku untuk melahirkan
gadis istimewa dari rahimku. Yang di setiap akhir sholat, dia bahkan
bisa mendoakan dirinya sendiri supaya sembuh. Menghadapi masa balighnya
nanti, aku yakin DIA yang akan memudahkan semuanya.
***
1 Comment. Leave new
dipajang di blognya, makasih ya mbak … 😀