Dulu
waktu saya bersekolah di SMA, SMA 3 Semarang, saya masuk jurusan IPA tapi tak
terlalu tertarik dengan IPA. Orang bilang kalau masuk jurusan IPA itu nanti
bisa masuk kuliah jurusan apa saja, tak seperti jurusan IPS atau bahasa yang
pilihannya terbatas. Nilai minimal untuk masuk jurusan IPA adalah 70 per mata
pelajaran untuk empat mata pelajaran : Matematika, Fisika, Kimia, Biologi. Untuk saya yang tak suka (dan tentu tak
pandai) ilmu eksak, susah payah meraih poin 292 pada rapor semester dua kelas
sepuluh. Mepet sekali bukan?
waktu saya bersekolah di SMA, SMA 3 Semarang, saya masuk jurusan IPA tapi tak
terlalu tertarik dengan IPA. Orang bilang kalau masuk jurusan IPA itu nanti
bisa masuk kuliah jurusan apa saja, tak seperti jurusan IPS atau bahasa yang
pilihannya terbatas. Nilai minimal untuk masuk jurusan IPA adalah 70 per mata
pelajaran untuk empat mata pelajaran : Matematika, Fisika, Kimia, Biologi. Untuk saya yang tak suka (dan tentu tak
pandai) ilmu eksak, susah payah meraih poin 292 pada rapor semester dua kelas
sepuluh. Mepet sekali bukan?
Hasilnya
jangan ditebak, tertatih-tatih saya
menjalani kehidupan kelas dua SMA. Hampir dipastikan saya remidi setiap ujian
ilmu eksak, entah UTS atau UAS. Untuk melewati remidi saja (batas remidi
minimal 70) adalah suatu prestasi. Yang pertama saya tak suka Matematika dan
IPA, lantaran tak tertarik itulah saya malas belajar. Belajar mepet ujian.
Menggunakan dopping latihan-latihan soal dari guru privat yang didatangkan Mama
tapi tetap saja hasilnya pas-pasan. Pelajaran yang paling saya suka di SMA
adalah Bahasa Inggris, kebetulan dulu ikut ekstrakurikuler English Conversation
Club dan sering ikut lomba saat SMA. Kenakalan saya saat SMA adalah
‘menggunakan surat sakti izin meninggalkan kelas untuk persiapan lomba padahal
nongkrong di kantin untuk sekadar kabur dari pelajaran’. Haha.
jangan ditebak, tertatih-tatih saya
menjalani kehidupan kelas dua SMA. Hampir dipastikan saya remidi setiap ujian
ilmu eksak, entah UTS atau UAS. Untuk melewati remidi saja (batas remidi
minimal 70) adalah suatu prestasi. Yang pertama saya tak suka Matematika dan
IPA, lantaran tak tertarik itulah saya malas belajar. Belajar mepet ujian.
Menggunakan dopping latihan-latihan soal dari guru privat yang didatangkan Mama
tapi tetap saja hasilnya pas-pasan. Pelajaran yang paling saya suka di SMA
adalah Bahasa Inggris, kebetulan dulu ikut ekstrakurikuler English Conversation
Club dan sering ikut lomba saat SMA. Kenakalan saya saat SMA adalah
‘menggunakan surat sakti izin meninggalkan kelas untuk persiapan lomba padahal
nongkrong di kantin untuk sekadar kabur dari pelajaran’. Haha.
Kelas
sebelas saya lalui dengan susah payah. Kelas dua belas adalah kelas perjuangan.
Saya sangat takut tak lulus UAN karena merasa kemampuan Matematika pas-pasan
selama kelas sepuluh dan kelas sebelas (Alhamdulillah pada waktu itu UAN cuma
tiga mata pelajaran : Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris). Batas
lulus adalah 4,26 ditambah ada kakak kelas sebelumnya yang tidak lulus dan
mengulang kelas dua belas selama setahun membuat ketakutan saya semakin
bertambah. Karena takut itulah, saya semakin mengakrabi Matematika, pokoknya
saya harus lulus. Setiap pagi sehabis subuh saya langsung mengerjakan soal-soal
Matematika, saya beli beberapa buku Matematika dan lahap soal-soalnya. Saat
sekolah, pada waktu istirahat mengerjakan soal lagi. Pulang sekolah ikut
bimbingan belajar dan juga les privat. Setelah itu mengerjakan soal sendiri
lagi hingga malam hari. Tak jarang tak bisa tidur sebelum menemukan jawaban
soal. Begitu terus selama setahun.
sebelas saya lalui dengan susah payah. Kelas dua belas adalah kelas perjuangan.
Saya sangat takut tak lulus UAN karena merasa kemampuan Matematika pas-pasan
selama kelas sepuluh dan kelas sebelas (Alhamdulillah pada waktu itu UAN cuma
tiga mata pelajaran : Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris). Batas
lulus adalah 4,26 ditambah ada kakak kelas sebelumnya yang tidak lulus dan
mengulang kelas dua belas selama setahun membuat ketakutan saya semakin
bertambah. Karena takut itulah, saya semakin mengakrabi Matematika, pokoknya
saya harus lulus. Setiap pagi sehabis subuh saya langsung mengerjakan soal-soal
Matematika, saya beli beberapa buku Matematika dan lahap soal-soalnya. Saat
sekolah, pada waktu istirahat mengerjakan soal lagi. Pulang sekolah ikut
bimbingan belajar dan juga les privat. Setelah itu mengerjakan soal sendiri
lagi hingga malam hari. Tak jarang tak bisa tidur sebelum menemukan jawaban
soal. Begitu terus selama setahun.
Yang
terlambat saya sadari adalah semakin saya mengakrabi Matematika, semakin saya
menyukainya. Matematika begitu menarik. Saya menyesal baru pada kelas dua belas
menikmati mengerjakan soal limit yang diajarkan pada kelas sebelas. Where
have I been?. Usaha keras selama setahun terbayar lunas dan terasa amat
manis saat nilai sepuluh tercetak di ijazah. Murni. Tanpa mencontek. Mama
tertawa saat melihat ijazah saya : “Inget nggak dulu kamu pernah teriak aku
benci Matematika sambil menangis saat mau ujian semester kelas dua” . Saya
tersipu.
terlambat saya sadari adalah semakin saya mengakrabi Matematika, semakin saya
menyukainya. Matematika begitu menarik. Saya menyesal baru pada kelas dua belas
menikmati mengerjakan soal limit yang diajarkan pada kelas sebelas. Where
have I been?. Usaha keras selama setahun terbayar lunas dan terasa amat
manis saat nilai sepuluh tercetak di ijazah. Murni. Tanpa mencontek. Mama
tertawa saat melihat ijazah saya : “Inget nggak dulu kamu pernah teriak aku
benci Matematika sambil menangis saat mau ujian semester kelas dua” . Saya
tersipu.
Lantaran
merasakan tak enaknya melakukan sesuatu yang bukan bidang saya, saya bertekad tak mengambil jurusan kuliah IPA. Titik. Alhamdulillah
mendapat kesempatan berkuliah di STAN jurusan Akuntansi Pemerintahan. Rasanya
benar-benar nyamaaaaan sekali pindah dari IPA ke IPS. It feels like I belong
here. Dan menekuni bidang yang memang saya sukai membuat saya belajar bukan
karena paksaan atau tekanan takut lulus. Alhamdulillah lulus dengan lancar.
merasakan tak enaknya melakukan sesuatu yang bukan bidang saya, saya bertekad tak mengambil jurusan kuliah IPA. Titik. Alhamdulillah
mendapat kesempatan berkuliah di STAN jurusan Akuntansi Pemerintahan. Rasanya
benar-benar nyamaaaaan sekali pindah dari IPA ke IPS. It feels like I belong
here. Dan menekuni bidang yang memang saya sukai membuat saya belajar bukan
karena paksaan atau tekanan takut lulus. Alhamdulillah lulus dengan lancar.
Berbeda
dengan saya yang ‘memaksakan diri’ masuk IPA, adik perempuan saya masuk IPS (sepertinya
kami memang sama-sama ‘otak IPS’). Saya tertatih-tatih saat SMA sementara adik
saya ‘berjaya’. Beberapa kali ia meraih juara kelas dan memenangkan lomba. Ia
sekarang kuliah di jurusan Manajemen dan yang terlebih penting ia tahu lebih
awal kemana harus melangkah.
dengan saya yang ‘memaksakan diri’ masuk IPA, adik perempuan saya masuk IPS (sepertinya
kami memang sama-sama ‘otak IPS’). Saya tertatih-tatih saat SMA sementara adik
saya ‘berjaya’. Beberapa kali ia meraih juara kelas dan memenangkan lomba. Ia
sekarang kuliah di jurusan Manajemen dan yang terlebih penting ia tahu lebih
awal kemana harus melangkah.
Memilih
sebuah jurusan lantaran katanya jurusan itu lebih menjanjikan, memilih fakultas
tertentu lantaran katanya lulusan fakultas itu gampang mendapatkan pekerjaan, memilih
suatu fakultas lantaran ada prestise tersendiri jika belajar di sana, nampaknya
ada semacam ‘diskriminasi ilmu’ pada masyarakat jika saya boleh menyebutnya
demikian. Ada faktor lebih penting daripada pendidikan itu sendiri. Ya, saya juga
pernah beranggapan demikian bukan? Sesuatu yang terlambat saya sadari…
sebuah jurusan lantaran katanya jurusan itu lebih menjanjikan, memilih fakultas
tertentu lantaran katanya lulusan fakultas itu gampang mendapatkan pekerjaan, memilih
suatu fakultas lantaran ada prestise tersendiri jika belajar di sana, nampaknya
ada semacam ‘diskriminasi ilmu’ pada masyarakat jika saya boleh menyebutnya
demikian. Ada faktor lebih penting daripada pendidikan itu sendiri. Ya, saya juga
pernah beranggapan demikian bukan? Sesuatu yang terlambat saya sadari…
Ah,
saya hanya bertanya-tanya.. Apakah pendidikan kita memang diarahkan untuk
sekadar lulus dari ujian. Jika itu yang menjadi tujuan, tak heran kita jumpai
beberapa kasus seperti siswa-siswa yang beramai-ramai mendatangi makam ulama
katanya agar lulus, jual beli soal ujian, contek mencontek hingga ada yang depresi
bahkan bunuh diri lantaran tak lulus ujian. Miris. Pendidikan tak lagi dimaknai
sebagai sebuah proses, melainkan hasil yang dimanifestasikan berupa selembar
kertas. Mungkin itulah yang pernah saya alami dulu (dengan perbedaan saya tak
memilih jalan pintas) : tiga tahun sekolah baru memahami pelajaran di tahun
ketiga dengan tujan memperoleh hasil lulus. Hanya untuk lulus.
saya hanya bertanya-tanya.. Apakah pendidikan kita memang diarahkan untuk
sekadar lulus dari ujian. Jika itu yang menjadi tujuan, tak heran kita jumpai
beberapa kasus seperti siswa-siswa yang beramai-ramai mendatangi makam ulama
katanya agar lulus, jual beli soal ujian, contek mencontek hingga ada yang depresi
bahkan bunuh diri lantaran tak lulus ujian. Miris. Pendidikan tak lagi dimaknai
sebagai sebuah proses, melainkan hasil yang dimanifestasikan berupa selembar
kertas. Mungkin itulah yang pernah saya alami dulu (dengan perbedaan saya tak
memilih jalan pintas) : tiga tahun sekolah baru memahami pelajaran di tahun
ketiga dengan tujan memperoleh hasil lulus. Hanya untuk lulus.
Selamat
Hari Pendidikan Nasional. Semoga cerdas tak hanya dimaknai sebagai sebuah
kemampuan mengerjakan soal ujian. Cerdas bukan hanya tentang berapa deret titel
keilmuan yang berhasil disandang. Pendidikan adalah tentang ilmu dan bagaimana
ilmu tersebut diaplikasikan dalam masyarakat. Rasanya sia-sia saja titel seabrek
kalau kecerdasannya dipergunakan untuk korupsi.
Hari Pendidikan Nasional. Semoga cerdas tak hanya dimaknai sebagai sebuah
kemampuan mengerjakan soal ujian. Cerdas bukan hanya tentang berapa deret titel
keilmuan yang berhasil disandang. Pendidikan adalah tentang ilmu dan bagaimana
ilmu tersebut diaplikasikan dalam masyarakat. Rasanya sia-sia saja titel seabrek
kalau kecerdasannya dipergunakan untuk korupsi.
Selamat
Hari Pendidikan Nasional untuk para ibu. Guru pertama. Guru terhebat.
Hari Pendidikan Nasional untuk para ibu. Guru pertama. Guru terhebat.
Selamat
Hari Pendidikan Nasional untuk para guru di seluruh dunia. Jasamu terlalu
besar, hanya Tuhan yang mampu membalasnya dengan sempurna.
Hari Pendidikan Nasional untuk para guru di seluruh dunia. Jasamu terlalu
besar, hanya Tuhan yang mampu membalasnya dengan sempurna.
Selamat
Hari Pendidikan!
Hari Pendidikan!
10 Comments. Leave new
Iya mbak. Bener banget! makanya teman-temanku itu hobi banget bolos sekolah juga bolos les. katanya, "iya kalo masuk itu berpengaruh" nyatanya yang dibutuhkan guru2 itu nilai bagus, jadi mereka pikir ngapain repot-repot. Ada uang ada joki, bahkan itu teman sendiri biar nyontekin. Alhasil, ya bener nilai mereka 8, 9 semua :((
Ah sedih ya klo mind-set salah dan menempuh jalan pintas juga 🙁
btw slm kenal ya Wina ^^
Yang mengaku peduli pendidikan Indonesia 😀
like page ini yaa..
https://www.facebook.com/GerakanCintaPendidikan
tunjukkan kepedulian dengan masukan dan saran 😀
Bagus banget postnya, mon…;) aku serasa flashback ke masa2 SMA saat membaca ttg pengalaman kamu. Aku juga masuk IPA, mengejar alternatif yang lebih luas, katanya.
Iya ya.. pendidikan skrg ini orientasinya praktis banget, hanya utk lulus, cepat kerja, dsb. Segi Ilmu jadi no.2. Apalagi makna didikan. Kita di"didik" untuk menjadi terlalu realistis, if i may say so. But that's the condition in our country. Mungkin nanti, kalau di negara kita udah ga lagi pusing2 memikirkan perut, udah bisa sekolah semua, udah ga perlu khawatir besok bisa hidup atau ga… mungkin nanti makna ilmu bisa kembali dan disambut dengan tangan terbuka, sebagaimana halnya di negara2 berkembang",
nice post, mon… a nice treat for my thoughts;)
Agree with you, Nay.. mudah2an ya ilmu 'kembali' ke maknanya yg luhur..
Thank Nay for ur appreciation 🙂
Sama seperti yg lu alami, gua juga dulu mati2an bela2in masuk IPA hanya gara2 gua belom tau mau kuliah apa nantinya. Eh ga taunya pas kuliah malah masuk desain, hehehe. Tapi gua sama sekali ga nyesel sih masuk IPA karena walopun gua ga jago ngitung tapi di IPA mental dan cara berpikir gua dilatih dan setelah masuk kuliah, gua jadi udah terbiasa sama yg namanya bikin makalah/laporan ;p
Iya bener Keven, aku juga ngrasain itu banget pas kuliah kuntansi udah terbiasa dgn itung2an matematika jadi berguna bgt hihi
Kok beda ya monce.. aku malah kepengen masuk IPA. Ngeliat pelajaran IPS itu rasanya mau muntah.. Banyak textbook.. iuuuhhhh..
Ak seneng ngerjain diferensial, integral, redoks cs..
Sekarang udah banyak lupaaa. Tapi kadangan aku sering ngutak atik trigonometri kalo lagi nganggur.. hahahaaa..
wkwk.. klo sama semua ga seru kyong XD
aku juga kadang kangen matematika, kangen akuntansi, sensasi nemu jawaban soal matematika sm kyk balance pas akuntansi hihi
Saya setuju dg kutipan ini:"Memilih sebuah jurusan lantaran katanya jurusan itu lebih menjanjikan, memilih fakultas tertentu lantaran katanya lulusan fakultas itu gampang mendapatkan pekerjaan, memilih suatu fakultas lantaran ada prestise tersendiri jika belajar di sana, nampaknya ada semacam ‘diskriminasi ilmu’ pada masyarakat jika saya boleh menyebutnya demikian." Kutipan yang jg pernah terngiang kala saya SMA.