Tak butuh waktu lama, Bu Tina pun mengumpulkan orang-orang yang ia curigai. Di ruang keluarga kini sudah berkumpul tujuh orang termasuk Bu Tina : Pak Dayat dan ibunya, Dini anak Bu Tina, Bik Inem, Pak Budi, dan Yanto.
“Ada apa, Bu, kita dikumpulin begini?” Dini membuka suara dengan malas. Lebih enak menonton artis Korea ketimbang mendengar ibunya yang paling-paling ngoceh tak karuan.
“Hmmm… Gini ya, langsung aja, kalian kan tau saya ndak suka basa-basi. Saya sudah melihat CCTV di hari emas kesayangan saya hilang. Saya melihat kalian melakukan aktivitas mencurigakan di hari tersebut,” Bu Tina memulai.
Nampak wajah-wajah kaget. “Maksudnya gimana to, Bu? Mencurigakan gimana?” terdengar nada tak terima dari suara Pak Dayat.
Bu Tina mulai menyerocos.
“Bapak, hah, ngapain Njenengan santai-santai di hari Selasa kemarin itu? Ndak kayak biasanya to? Njenengan kan suka banget ngurus dagangan. Sabtu-Minggu aja masih sering kerja,”
“Ibu sama Dini. Ngapain boncengan berduaan gitu? Kenapa Ibu nggak pakai mobil Pak Dayat yang nganggur? Lagipula kalian darimana?”
“Bik Inem sama Pak Budi. Kalian ngobrolin intensif apaan di halaman rumah? Biasanya boro-boro ngobrol, saling sapa aja ndak to?”
“Yanto, kamu ngasih uang segepok ke orang nggak dikenal? Uang darimana? Buat siapa? Wong sebulan yang lalu aja kamu masih ngutang saya?”
“Gampang lho, salah satu dari kalian kerja sama dengan tukang brankas atau Bapak, Bapak mau ngaku ambil emas saya, huh?”
Orang-orang di ruangan itu saling pandang. Wajah mertua Bu Tina mulai merah padam.
“Kowe iki ngomong opo to, Tin?” Mertua Bu Tina berdiri, tangannya menuding muka Bu Tina. “Masalah emas bikin kamu gila. Makanya jadi orang rajin sedekah biar harta berkah. Hentikan bisnis minjemin uang itu. Sekarang kecolongan, kan? Rasain! Ibu itu cuma pergi nengokin cucunya temen Ibu yang baru lahir dianter Pak Budi terus mau dianter pulang sama anaknya temen Ibu eh ketemu Dini yang lagi lewat pulang sekolah. Ya sudah, Ibu nunut Dini aja. Salahnya di mana? Lagian ngapain orang tua kayak saya ngambil-ngambil emas kamu?”
Bu Tina nampak tak gentar. “Ya ndak tau saya Bu, dikasi ke anak ibu yang miskin kali,” Bu Tina tak sungkan-sungkan menuding.
Wajah mertua Bu Tina nampak memerah. “Saya masih bisa membantu adik saya,” kali ini Pak Dayat yang bersuara dengan nada tinggi.
Bu Tina mengangkat bahu. Ia mengalihkan pandangan ke Dini, “Ngapain waktu itu kamu pulang cepet?”
“Apa sih, Bu, memang kelas dibubarin lebih cepat karena ada kegiatan lain di sekolah, tanya aja wali kelasku kalau ndak percaya,” Dini malas-malsan menjelaskan. Ia nampak tak acuh.
Bu Tina tak menanggapi. Sedetik kemudian ia melirik Bik Inem dan Pak Budi.
“Kalian ngapain ngobrol berdua di hari emas saya hilang? Kalian bersekongkol ya?”
Bik Inem dan Pak Budi menunduk, “Mboten (enggak), Bu,” Bik Inem menjawab lirih. “Saya ndak pernah nyolong, Bu, biar ndak punya uang pantang jadi maling…”
“Hah, terus ngapain kalian? Bukannya kalian ndak pernah ngobrol?” Bu Tina mencecar.
Bik Inem dan Pak Budi sikut-sikutan. “Mmmm… gini Bu.. saya cuma nawarin Pak Budi untuk beli sawah Bapak saya, soalnya katanya Pak Budi habis dapet warisan gitu dari orang tuanya,”
Pak Budi mengangguk, “Betul Bu, ini tanda terima persekotnya.” Pak Budi membuka dompetnya dan mengeluarkan kuitasi bermaterai bertuliskan pembayaran uang muka pembelian sawah.
Bu Tina tak merespon. Pandangannya beralih ke Yanto, sang asisten Pak Dayat yang udah bekerja selama tiga tahun di rumah ini.
Yanto nampak pucat.
“Apa yang kamu sembunyikan? Uang segepok punya siapa yang kamu kasihkan?”
Bu Tina menuding.
“HEH, JAWAB KAMU!”
Yanto masih membisu. Bu Tina menggoncang-goncangkan pundak Yanto dengan kencang.