Keesokan harinya, Bu Tina merancang strategi untuk menemukan si pencuri emasnya. Keningnya berkerut ketika membuat mind map kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di hari nahas itu beserta pelaku.
Ia mengingat-ingat beberapa hari sebelum kejadian, ia menggunakan jasa tukang servis brankas rekomendasi teman arisannya. Namun, ketika Bu Tina konfirmasi ke teman arisannya, ia mengaku tidak mengenal tukang brankas tetapi hanya melihat iklan di grup Whatsapp lalu meneruskannya ke Bu Tina.
“Kalau di brankasku ndak ada tanda-tanda rusak berarti pencurinya tahu kodenya. Tapi, yang tahu kodenya cuma aku sama bapak. Selain itu, ya tukang mbenerin brankas kemaren. Hmm, tapi gimana cara dia masuk ke rumah ini? Ndak ada tanda-tanda luar masuk rumah. Hmmm,” Otak Bu Tina terus berpikir.
“Ohya, aku tahu. Aku tahu. Tinggal sekongkol aja sama orang yang ada di rumah ini. Tukang brankas itu bisa ngasih tahu kodenya ke orang rumah ini. Memang pintar ya aku ini,” Bu Tina memuji dirinya sendiri.
Orang yang ada di rumah besar ini ada dua belas termasuk dirinya. Yang kedua, Pak Dayat. Ibu mertua dan anak bungsu bu Tina. Satu orang tukang masak, dua orang asisten rumah tangga untuk bersih-bersih rumah. Satu orang tukang kebun. Dua orang supir. Satu orang satpam. Satu anak buah Pak Dayat yang membantu mengurus penjualan cabai.
Hmm, siapa yang mencurigakan ya. Orang-orang yang tinggal di rumahnya selain keluarganya adalah orang yang sudah ia percaya. Rata-rata orang desa Sambungmacan atau kerabatnya.
Bu Tina menghela nafas. Coba kalau ada CCTV di rumah besarnya. Namun, memang sudah menjadi pilihan Bu Tina untuk tidak memasang CCTV di dalam rumah, CCTV hanya terpasang untuk memantau halaman rumahnya.
Sebentar, sebentar. Tak ada salahnya mengecek CCTV lagi di rumahnya. Di hari kejadian kemarin, Bu Tina hanya mengecek CCTV untuk memastikan tidak ada orang asing yang masuk ke dalam rumahnya. Ia mengabaikan pergerakan orang-orang rumah.
Bu Tina memutar kembali video CCTV pada hari kejadian. Sepertinya tidak ada yang aneh ketika Bu Tina pergi kendurenan beserta sopirnya. Pak Budi sopir Pak Dayat sedang membersihkan mobil bosnya ketika Bik Inem sang tukang masak mendatangi Pak Budi. Tangan Bik Inem menjinjing satu keranjang penuh sayur, nampaknya ia baru saja pulang dari pasar.
Nampaknya Bik Inem dan Pak Budi terlibat perbincangan serius. Pak Budi mendengarkan Bik Inem dengan seksama, sesekali ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak lama kemudian Bik Inem masuk ke dalam rumah.
Tunggu, tunggu, Bu Tina berpikir keras. Pak Budi dan Bik Inem kan hampir nggak pernah ngobrol. Dulu mereka sempat berseteru lantaran Pak Budi menolak menjodohkan anaknya dengan anak Bik Inem. Hmmm.
Bu Tina meneruskan tontonannya.
Bu Tina meneruskan tontonannya. Kali ini ada Yanto anak buah Pak Dayat yang mondar-mandir keluar masuk rumah. Beberapa saat kemudian, Yanto melambaikan tangannya kepada seseorang di depan rumah Bu Tina. Tunggu, Bu Tina menge-klik tombol Zoom. Yanto nampak memberikan segepok uang kepada orang yang ditemuinya itu. Darimana Yanto punya uang sebanyak itu ya, Bu Tina menandai.
Selang beberapa saat kemudian anak bungsu Bu Tina masuk ke dalam rumah mengendarai sepeda motor sembari memboncengkan neneknya. Wah, mereka habis darimana ya. Kenapa sang ibu mertua tidak menggunakan mobil Pak Dayat yang sedang tak digunakan.
Dan ya, ngomong-ngomong, kenapa Pak Dayat hari itu ada di rumah. Biasanya, ia sibuk berkeliling kabupaten memantau penjualan cabainya. Hari itu, ia nampak mondar-mandir di halaman rumah. Melihat ikan koi di kolam, memandang burung murai, atau sekadar duduk-duduk di gazebo sambil membaca koran. Sesekali ia menyeruput kopi seraya mengisap rokok kretek kesukaannya. Pak Dayat nampak santai sekali.
Pusing-pusing. Bu Tina mengurut kepalanya. Coba kalau nggak ada kejadian itu, hari ini ia pasti sedang berjalan-jalan ke Yogyakarta bersama rombongan ibu-ibu sekolah anak bungsunya.
Aih, cepat sekali waktu berlalu. Dua anaknya sudah berumah tangga dan memiliki kehidupan masing-masing di luar kota. Sudah lama ia tidak melihat anak ataupun cucunya. Mereka pun jarang berkunjung atau bahkan untuk sekadar menelpon.
Tanpa terasa air mata Bu Tina menetes. Rindu juga ia melihat tawa cucunya. Ia pun mengambil ponsel dan mulai melakukan panggilan video, sesuatu yang jarang dilakukannya karena gengsi. Masak orang tua yang menelpon duluan.
“Halo, Intan… Oh, lagi apa? Mana Davin?” Bu Tina memanggil nama cucu kesayangannya.
“Eh, Ibu. Ada apa nelpon Bu? Ohya, emasnya sudah ketemu belum, Bu?” Anak pertama Bu Tina nampak tak terlalu menanggapi ibunya.
Bu Tina terdiam. Darimana Intan tahu kalau ia baru saja kehilangan emasnya. Ia tidak membicarakan hal tersebut dengan kedua anaknya yang ada di luar kota. Hubungan mereka tidak dekat.
Yaelah, banyak kali yang bisa jadi mata-mata, Bu Tina menepok jidat. Berita pencurian emasnya saja sudah menggegerkan Desa Sambungmacan.
Ah sudahlah, aku harus menyelidiki lagi orang-orang rumah yang kutandai ini, Bu Tina mengangguk mantap. Ia yakin akan segera menemukan pencuri emasnya.
1 Comment. Leave new
Jangan” si ibu sendiri yg lupa naroh pas waktu perbaiki brankas