Tiba-tiba sebuah motor dengan kecepatan tinggi menabrak
stang motorku, saat itu aku duduk membonceng. Motor oleng ke kiri, aku terlempar
dengan posisi terjerembap ke depan, helm yang ku pakai terlempar entah ke mana. Di tengah-tengah
Jalan Raya Siliwangi seberang kantor Imigrasi Jateng, sebuah jalur ramai lalu
lintas luar kota, badanku menggeleser di atas permukaan aspal yang basah oleh
air hujan beberapa meter . Tak ada yang lain yang kupikirkan saat itu kecuali “Inikah
saat terakhirku?”. Aku menyebut asma Allah. Bus dan truk dengan kecepatan
tinggi bisa saja menghantam tubuhku saat itu, perlu waktu beberapa detik bagiku
untuk bangkit dan menepi.
Kejadian tadi malam menyadarkanku. Maut bisa begitu dekat,
kapan saja ia bisa menjemput. Tak peduli apakah sosok yang dijemput siap atau
tidak, tak memandang berapa usianya. Benarlah perkataan Imam Ghozali bahwa hal
yang paling dekat dengan kita bukanlah teman atau orang tua tetapi maut. Ya,
maut. Sesuatu yang kerap dilupakan oleh manusia. Merasa masih muda sehingga
maut akan datang pada saat ia tua, merasa masih jauh dari maut sehingga ia
merasa aman melakukan perbuatan yang sia-sia atau bahkan berdosa. Tobatnya
nanti-nanti saja.
kapan saja ia bisa menjemput. Tak peduli apakah sosok yang dijemput siap atau
tidak, tak memandang berapa usianya. Benarlah perkataan Imam Ghozali bahwa hal
yang paling dekat dengan kita bukanlah teman atau orang tua tetapi maut. Ya,
maut. Sesuatu yang kerap dilupakan oleh manusia. Merasa masih muda sehingga
maut akan datang pada saat ia tua, merasa masih jauh dari maut sehingga ia
merasa aman melakukan perbuatan yang sia-sia atau bahkan berdosa. Tobatnya
nanti-nanti saja.
Kullu Nafsin Dzaiqotul Maut. Setiap
yang Bernyawa akan Merasakan Maut.
yang Bernyawa akan Merasakan Maut.
Ah, siapa yang menjamin usia kita berakhir di bilangan angka yang kita anggap ‘tua’. Barangkali masa muda saat ini adalah masa ‘tua’ kita yang sebenarnya. Siapa yang menjamin lima menit lagi kita masih baik-baik saja? Bisa saja
malaikat pencabut nyawa sedang bersiap-siap menarik ruh dari ubun-ubun. Lalu bisa
apa? Hanya amal baik yang menjadi teman abadi. Seseorang yang kesehariannya terbiasa
mengingat Allah dan membaca Al Qur’an, insya Allah, tidak akan kesulitan
mengucapkan ayat demi ayat Al Qur’an ataupun mengeja asma-Nya di saat-saat
terakhir hidupnya.
malaikat pencabut nyawa sedang bersiap-siap menarik ruh dari ubun-ubun. Lalu bisa
apa? Hanya amal baik yang menjadi teman abadi. Seseorang yang kesehariannya terbiasa
mengingat Allah dan membaca Al Qur’an, insya Allah, tidak akan kesulitan
mengucapkan ayat demi ayat Al Qur’an ataupun mengeja asma-Nya di saat-saat
terakhir hidupnya.
Ah, kalau setiap yang bernyawa akan mati. Untuk apa semua
dunia kita kejar mati-matian jikalau dengan dunia itu tidak bisa mejadi bekal
menuju kampung akhirat yang abadi? Apa artinya kenikmatan dunia yang setetes
jika harus menggadaikan akhirat yang hakiki. Lalu, kalau setiap orang akan
mati, apa yang bisa disombongkan manusia di muka bumi ini. Haruskah manusia
baru sadar setelah Allah memberinya ketakutan akan maut terlebih dahulu, untuk
kembali kepada-Nya.
dunia kita kejar mati-matian jikalau dengan dunia itu tidak bisa mejadi bekal
menuju kampung akhirat yang abadi? Apa artinya kenikmatan dunia yang setetes
jika harus menggadaikan akhirat yang hakiki. Lalu, kalau setiap orang akan
mati, apa yang bisa disombongkan manusia di muka bumi ini. Haruskah manusia
baru sadar setelah Allah memberinya ketakutan akan maut terlebih dahulu, untuk
kembali kepada-Nya.
Menyadarkannya bahwa ia belum siap mati. Menyadarkannya
bahwa belum cukup banyak bekal yang ia punya….
bahwa belum cukup banyak bekal yang ia punya….
Menyadarkannya bahwa Allah masih memberinya kesempatan berbuat lebih banyak amal….
Jalur luar kota yang biasanya ramai, tadi malam sepi lalu lalang kendaraan saat kejadian, memberi jeda waktu untuknya berjalan menepi dan merenungi.
—
Hari #2 #1Hari1Ayat
5 Comments. Leave new
karena belum punya bekal, rasa takutnya jadi lebih, mba. semoga makin istiqomah beribadah ya, aamiin
aamiin ya rabbal 'alamin 🙂
subhanallah mon. aku juga pernah mengalami hal yng hampir sama, gugup ketakutan dikala maut serasa sangat dekat. ceritanya kami mau makan siang keluar kantor. teman yang naik motor dah sampe duluan di tempat makan, sementara aku berserta 2 teman lain yg naik mobil terjebak macet. karena aku mengeluh sudah sangat kelaparan, temanku menyuruh untuk turun ja, karena posisi kami udah depan resto seberang jalan. awalnya aku menolak, memilih nyampe sama", tapi teman yang tau betul aku gak bisa lapar, memaksa turun dengan membuka pintu mobil. aku nurut, keluar mobil dan ketika ingin menyebarang jalan.. huss… ada pickup melaju kencang dan berlawan arah. spontan aku langsung berbalik. seketika aku langsung lemas,". sebentar saja nyawaku bisa hilang. aku lama berdiri tak menghiraukan suara klakson yg memperbolehkanku untuk menyebrang, sampai teman yg ada di mobil turun dan menuntunku untuk menyebrang jalan.emang benar mon yang paling dekat dengan kita adalah maut.
iya Rahma… diingetin itu deg banget rasanya…. :')
semoga kita selalu berada di jalan kebaikan
uwuwww mon… 🙁 aku sempat mikir apakah mati itu kayak kesadaran yg berkurang pas jatuh? tau tau terluka… ah entahlah… barokallahu fiik 🙂