William Soeryadjaya |
William Soeryadjaya mungkin tak akan pernah menyangka bahwa perusahaan kecil bernama PT Astra Internasional yang didirikannya bersama adiknya, Tjia Kian Tie, dan temannya, Lim Peng Hong pada 20 Februari 1957 berkembang menjadi sebuah perusahaan multinasional dengan 212 anak perusahaan dalam kurun waktu enam puluh tahun. Berawal dari sebuah ruangan sederhana di Jalan Sabang No. 36 A Jakarta, perusahaan dagang yang mulanya hanya memiliki empat karyawan telah tumbuh pesat menjadi sumber kehidupan bagi lebih dari 200.000 karyawan.
Nama Astra yang diusulkan oleh Kian Tie adalah sebuah nama dewi dalam mitologi Yunani kuno, Astrea, yang merupakan dewi terakhir yang terbang ke langit dan kemudian berubah bentuk menjadi bintang yang bersinar amat terang. Nama tersebut agaknya menjadi sebuah doa yang terkabul, PT Astra Internasional Tbk (selanjutnya disebut Astra) merupakan salah satu perusahaan terbesar di Indonesia dengan total aset senilai Rp261,9 triliun dan laba bersih sebesar Rp18,3 triliun pada tahun 2016.
Logo Astra mula-mula |
Siapa menyangka bahwa Astra yang merupakan salah satu perusahaan terbuka yang memiliki saham tercatat di Bursa Efek Indonesia sebagai saham bluechip (saham dengan kapitalisasi pasar tertinggi) nyaris karam akibat ‘badai’ yang menerjangnya di tahun 1975-1977?
Saya yakin banyak dari kita yang memiliki ikatan emosional dengan Toyota yang merupakan salah satu merk kendaraan paling populer di Indonesia. Toyota Kijang merupakan mobil pertama bagi keluarga saya dan mungkin bagi banyak keluarga lainnya. Tak mengherankan karena Toyota Kijang merupakan mobil yang sudah diproduksi oleh Astra sejak tahun 1977. Bisa dibilang, Toyota Kijang merupakan mobil terlaris sepanjang masa di Indonesia.
Lahirnya Toyota Kijang tak lepas dari peran William Soeryadjaya, sosok yang disebut-sebut sebagai perintis industri otomotif nasional. Lelaki kelahiran 20 Desember 1922 ini lah yang memiliki ide memproduksi mobil murah untuk keluarga yang kemudian menjadi Kijang.
Tiga puluh lima tahun setelah peluncuran Toyota Kijang, tahun 2012, Astra memperkenalkan dua produk low cost green car (LCGC) : Astra Toyota Agya dan Astra Daihatsu Ayla. Selanjutnya, Astra memproduksi Astra Daihatsu Sigra dan Astra Toyota Calya. Komponen lokal atas produksi kedua mobil tersebut mencapai nyaris 100%. Pada tahun 2017, All New Calya meraih penghargaan best of the best untuk segmen LCGC dalam ajang Otomotif Award 2017.
Astra menyabet berbagai penghargaan bergengsi, antara lain Best Company in Indonesia 2016 oleh FinanceAsia, Most Valuable Indonesian Brands 2016, IDX Best Blue 2016, dan banyak lainnya.
Lantas, apa selanjutnya jika Astra sudah menjadi sebuah perusahaan berjaya dan meraih banyak penghargaan?
Kabar baik dari segala pencapaian Astra adalah Astra tak ingin sekadar menjadi perusahaan yang mengejar keuntungan dan memikirkan bisnis semata. Astra ingin menjadi pohon rindang yang memberikan banyak manfaat bagi lingkungannya. Tak hanya bagi para pemegang
saham Astra, tetapi juga bagi negara Indonesia. Untuk membuktikan hal tersebut, Astra mencanangkan “pride of the nation” sebagai tujuan Astra pada tahun 2020. Tujuan tersebut memiliki empat aspek : prestasi istimewa (distinctive achievement), hasil yang membuat perbedaan (result that makes a difference), pihak lain berusaha menyamai/menandingi (others try to emulate), dan duta nasional dari produk (national ambassador of products).
Upaya untuk Sejahtera Bersama Bangsa
William Soerdjadjaya memang sudah berpulang ke haribaan Sang Pencipta pada 2 April 2010. Namun, nilai-nilai, semangat dan keteladanan yang ditanamkannya merupakan filosofi kuat yang menjadi warisan berharga bagi Astra. William menetapkan “Sejahtera Bersama Bangsa” sebagai cita-cita Astra. Prinsip utama yang dipegang teguh oleh William adalah bahwa Astra didirikan bukan semata-mata untuk memperoleh laba melainkan menyejahterakan karyawan dan bangsa.
“Setiap kali kita menyediakan satu lapangan kerja, berarti kita mengurangi satu risiko orang berbuat jahat. Kalau seluruh rakyat makmur, berarti tidak ada lagi kejahatan di Indonesia,” tegas William (dalam Man of Honor, hal. 312)
William menyadari betul bahwa produk utama Astra berupa mobil dan motor merupakan barang mewah bagi sebagian orang. Laki-laki yang dijuluki sebagai Bapak Otomotif Indonesia ini meyakini bahwa jika Astra mampu membuat bangsa Indonesia sejahtera, maka bangsa ini akan membuat bisnis Astra bertumbuh. Oleh karena itu, sejahtera bersama bangsa bukanlah sekadar kata-kata tanpa tindakan.
Jauh sebelum perusahaan di Indonesia ramai melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) pada tahun 2000-an, Astra telah memulainya lebih dari dua puluh tahun sebelumnya. Pada tahun 1974 telah didirikan PT Yayasan Toyota & Astra (YTA) yang berfokus pada dunia pendidikan melalui pemberian beasiswa.
Selanjutnya, pada tahun 1980, William memprakarsai berdirinya Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) yang bertujuan untuk memberikan bantuan pembinaan kepada pengusaha Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Sebelas tahun setelah pendirian YDBA, William mendorong pendirian PT Astra Mitra Ventura (AMV) yang bertujuan untuk membantu penyediaan fasilitas pembiayaan dan penyertaan modal bagi pengusaha UKM. YDBA dan AMV sebagai dua yayasan yang saling melengkapi merupakan perpanjangan tangan Astra untuk mewujudkan cita-cita “Sejahtera Bersama Bangsa”.
Salah satu etika bisnis yang ditanamkan oleh William adalah Astra tidak boleh bersaing dengan pengusaha kecil dan menengah. Sebagai konsekuensinya, Astra tidak boleh masuk ke dalam bisnis yang menjadi ranah UKM bahkan sebisa mungkin Astra memberikan peluang pekerjaan kepada UKM.
Perwujudan lain dari cita-cita “Sejahtera Bersama Bangsa” adalah kesediaan William untuk berbagi ‘resep’ kesuksesan Astra kepada pihak lain. Pada tahun 1983, William menyetujui permintaan Laksamana Sudomo (saat itu menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja) dan Hartanto Sastrosoenarto (saat itu menjabat sebagai Menteri Perindustrian) untuk mengajarkan penerapan Astra Total Quality Control (ATQC) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Cita-cita “Sejahtera Bersama Bangsa” merupakan wujud pelaksanaan butir pertama dari falsafah Astra yang disebut sebagai Catur Dharma.
Pondasi Kokoh Bernama Catur Dharma
Berawal dari sebuah perusahaan keluarga, Astra menjelma menjadi raksasa otomotif Indonesia. Hal tersebut tak lepas dari kegigihan dan kerja keras William. Astra secara konsisten mampu menjadi market leader dengan performa memuaskan meski William Soeryadjaya telah melepaskan seluruh saham Astra yang dimilikinya pada tahun 1992. Hal tersebut tak lepas dari landasan kokoh perusahaan yang disebut dengan Catur Dharma.
Sejatinya, Catur Dharma merupakan falsafah kehidupan William yang diharapkan akan senantiasa dilaksanakan oleh insan Astra. Catur Dharma meliputi empat hal terpenting. Pertama, menjadi milik yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Misalnya, Astra harus mampu menjadi penggerak ekonomi masyarakat, pembayar pajak yang baik dan sebagainya.
Kedua, memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggan. Salah satu penerapan dharma kedua yang paling menarik adalah ketika terjadi peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) yang merupakan peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial pada tahun 1974. Astra yang diasosiasikan sebagai perusahaan ‘antek’ Jepang lantaran bekerjasama dengan Toyota terkena imbasnya. Mobil dan sepeda motor buatan Jepang yang dipasarkan oleh Astra hangus dibakar massa. Namun, hebatnya, William memutuskan untuk mengganti kendaraan yang rusak karena peristiwa tersebut.
Ketiga, menghargai individu dan membina kerja sama. Karyawan merupakan aset perusahaan. Hal tersebut diperhatikan benar oleh Astra. Misalnya, sebelum Pemerintah mewajibkan perusahaan untuk mengalokasikan dana pensiun karyawan pada tahun 1992, William telah mendirikan Yayasan Dana Pensiun Astra pada tahun 1986. Contoh lainnya adalah William juga bisa sangat marah kepada manajernya yang melakukan pemecatan karyawan. Dalam kondisi sesulit apapun, pemecatan karyawan merupakan hal yang paling harus dihindari.
Keempat, senantiasa berusaha mencapai yang terbaik. Misalnya, ketika produksi Astra mencapai sekitar 80 ribu unit per tahun, William bertanya, “Kapan sejutanya?” padahal jumlah tersebut sudah membanggakan pada saat itu. Namun, hal tersebut tak mengherankan karena Astra bernafaskan semangat Kaizen yakni berfokus pada pengembangan dan penyempurnaan secara terus menerus.
SATU Indonesia sebagai Payung
Catur Dharma bukan sekadar filosofi tanpa laku atau keteladanan William tanpa ditiru. Nilai-nilai Catur Dharma telah menjadi budaya perusahaan dan prinsip bagaimana Astra dikelola. Catur Dharma adalah kristalisasi filosofi dan keteladanan William sehingga selepas sang pendiri tak lagi memiliki kepemilikan di Astra pun, Astra senantiasa menjadi perusahaan yang kokoh.
Salah satu perwujudan dari Catur Dharma adalah diluncurkannya program Semangat Astra Terpadu untuk Indonesia (SATU Indonesia) pada Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober, tahun 2009. Program ini digagas oleh Michael D. Ruslim, presiden direktur Astra pada saat itu. Michael merasa masih ada yang kurang dari program CSR Astra, baik yang dilakukan oleh unit maupun yayasan. Ia menggagas agar terdapat payung untuk program nonbisnis Astra. Payung tersebut haruslah memiliki dua unsur : nasionalisme dan pembangunan karakter bangsa. Latar belakangnya adalah terdapat anggapan bahwa Astra sebagai “aset kebanggaan bangsa” masih merupakan urusan ekonomi saja.
Dalam perkembangannya, SATU Indonesia tak hanya mewadahi berbagai CSR yang dilakukan oleh insan Astra. SATU Indonesia mewadahi para pemuda yang mampu berkontribusi positif bagi masyarakat dalam berbagai bidang seperti pendidikan, lingkungan, UKM, kesehatan, dan teknologi.
Pada tahun 2016, SATU Indonesia Awards telah dilaksanakan untuk ketujuhkalinya. Diikuti oleh 2.341 peserta dari Sabang sampai Merauke, penghargaan bergengsi ini dimenangkan oleh tujuh penerima apresiasi dari berbagai bidang. Penerima apresiasi memperoleh berbagai dukungan seperti bantuan dana kegiatan senilai Rp55 juta per orang/kelompok dan bantuan pembinaan pengembangan program agar semakin banyak nilai positif yang tersebar kepada masyarakat.
Bagaimana Sebuah Perusahaan Swasta Menjadi Kebanggaan Negeri?
Filosofi yang baik tanpa pilar-pilar di tataran teknis yang kuat tak akan mampu menopang sebuah bangunan secara kukuh. Oleh karena itu, Catur Dharma saja tak akan cukup untukmenjadikan Astra sebagai kebanggaan bangsa apabila tidak didukung oleh pondasi lainnya.
Filosofi Catur Dharma yang didukung Astra Code of Conduct/Kode Etik Astra dan Astra Systems of Management bertujuan untuk menjadikan Astra sebagai good corporate citizen. Kode etik akan mengarahkan etika bisnis dan etika kerja dalam tubuh Astra. Adapun Astra Systems of Management yang terdiri dari berbagai subsistem seperti Astra Management System (AMS), Astra Human Capital Management (AHCM), Astra Green Company (AGC), Astra Friendly Company (AFC), dan Astra Functional Policies (AFP) menjadikan perusahaan mampu memiliki kinerja optimal.
Apabila Astra mampu menjadi warga usaha yang baik (good corporate citizen), maka keberlangsungan bisnis Astra semakin terjamin sehingga cita-cita “Sejahtera Bersama Bangsa” akan semakin mudah untuk diwujudkan.
Tujuan Astra untuk menjadi kebanggaan bangsa bukanlah tujuan tanpa strategi terencana. Falsafah Catur Dharma dan good corporate citizen yang mendasari penerapan strategi triple bottom line (portofolio, people, public contribution) perusahaan akan membentuk sebuah Astra Sustainabiity Development Framework untuk selanjutnya mencapai tujuan “pride of the nation”.
Astra membagi tiga fase perjalanan perusahaan dalam mencapai tujuan mulia tersebut. Fase pertama adalah penguatan pondasi perusahaaan yang dilaksanakan pada tahun 2010-2013. Selanjutnya pada fase kedua yang dilaksanakan pada tahun 2014-2016, perusahaan ditantang untuk bertumbuh dan menghindari zona nyaman (going to the next level and landscape). Pada fase ketiga di tahun 2017-2019, Astra memperkuat langkah untuk menjadi kebanggaan bangsa. Pada tahun 2017, misalnya, Astra bertekad untuk meneguhkan kapabilitas alami perusahaan.
Kombinasi kekuatan falsafah Catur Dharma dan sistem manajemen Astra telah teruji selama enam puluh tahun dalam menjadikan Astra mampu melewati berbagai krisis dan terus bertumbuh. Bukan hal yang mustahil bila di tahun 2020 nanti, Astra akan mewujudkan sasarannya yakni menjadi salah satu perusahaan terbaik di Asia Tenggara.
Seperti motto Astra “per aspera ad astra” yang memiliki makna “dengan kerja keras, menggapai bintang-bintang di langit”, Astra agaknya tak akan berhenti untuk terus melejit.
Mari belajar dari sang raksasa!
- Santoso, et al. 2011. Lead by Heart. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
- Pambudi, Teguh Sri dan Djatmiko, Harmanto Edy. 2012. Man of Honor : Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
- Liman, Yakub. 2017. Astra on Becoming Pride of The Nation. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
- Laporan Tahunan PT Astra Internasional Tbk tahun 2016
- https://autotekno.sindonews.com/read/1201188/120/sembilan-mobil-toyota-raih-penghargaan-otomotif-award-2017-1493453853