![]() |
dicari di google |
Apa lagi yang ditunggu oleh seorang
muslim jika telah mencapai usia baligh dan memiliki maisyah (kemampuan untuk
menafkahi)? Apa lagi yang ditunggu di tengah dorongan kebutuhan batin dan
psikologis yang semakin meningkat sementara bukan lagi kebebasan atas
kesendirian dan kebersamaan dengan teman yang mampu melengkapi kehampaan diri
yang perlahan-lahan merambati?
muslim jika telah mencapai usia baligh dan memiliki maisyah (kemampuan untuk
menafkahi)? Apa lagi yang ditunggu di tengah dorongan kebutuhan batin dan
psikologis yang semakin meningkat sementara bukan lagi kebebasan atas
kesendirian dan kebersamaan dengan teman yang mampu melengkapi kehampaan diri
yang perlahan-lahan merambati?
Bagi sebagian orang, melangkah
pada fase tersebut bukanlah hal yang sesederhana itu. Ada kehati-hatian yang
tinggi (atau bisakah menyebutnya sebagai suatu ketakutan?) untuk berani
memantapkan diri mencapai suatu point of
no return yang bisa jadi merupakan awal dari sebuah kehidupan baru.
Mitsaqan ghaliza. Perjanjian yang berat, bahkan kedudukannya disetarakan dengan
perjanjian Allah dengan para nabi dan perjanjian yang diangkat atas Bani Israil
kepada Allah.
pada fase tersebut bukanlah hal yang sesederhana itu. Ada kehati-hatian yang
tinggi (atau bisakah menyebutnya sebagai suatu ketakutan?) untuk berani
memantapkan diri mencapai suatu point of
no return yang bisa jadi merupakan awal dari sebuah kehidupan baru.
Mitsaqan ghaliza. Perjanjian yang berat, bahkan kedudukannya disetarakan dengan
perjanjian Allah dengan para nabi dan perjanjian yang diangkat atas Bani Israil
kepada Allah.
Beberapa orang menunggu kesiapan,
katanya. Kesiapan materi kadang kala tak hanya diukur dari telah dimilikinya
kemampuan untuk menafkahi keluarga, bisa jadi keberadaan rumah serta kendaraan pribadi
yang menjadi faktor penentu seseorang berani melangkah. Kesiapan yang lain
adalah kesiapan mental, bagaimana menerima seseorang dengan segala kelebihan
dan kekurangannya untuk menemani dalam segala macam kesenangan dan kesedihan
dalam jangka waktu seumur hidup. Mungkin juga sebagian orang menunggu kesiapan
ilmu, hanya akan berani melangkah apabila telah memiliki ilmu yang cukup
menjadi seorang suami atau istri dan orang tua. Ibadah mutlak memerlukan ilmu untuk
menghasilkan amal. Ibadah mutlak memerlukan keyakinan (iman) agar bernilai
sebagai suatu ibadah.
katanya. Kesiapan materi kadang kala tak hanya diukur dari telah dimilikinya
kemampuan untuk menafkahi keluarga, bisa jadi keberadaan rumah serta kendaraan pribadi
yang menjadi faktor penentu seseorang berani melangkah. Kesiapan yang lain
adalah kesiapan mental, bagaimana menerima seseorang dengan segala kelebihan
dan kekurangannya untuk menemani dalam segala macam kesenangan dan kesedihan
dalam jangka waktu seumur hidup. Mungkin juga sebagian orang menunggu kesiapan
ilmu, hanya akan berani melangkah apabila telah memiliki ilmu yang cukup
menjadi seorang suami atau istri dan orang tua. Ibadah mutlak memerlukan ilmu untuk
menghasilkan amal. Ibadah mutlak memerlukan keyakinan (iman) agar bernilai
sebagai suatu ibadah.
Keyakinan. Mungkin itulah yang
membuat sebagian orang berani mengikrarkan diri sehidup semati dengan hanya
mengalami fase ‘penjajakan’ secara singkat tanpa melalui apa yang disebut
orang-orang sebagai pacaran. Misalnya dengan melangkah melalui proses
menceritakan kegundahan hati pada sang murobi, mengajukan biodata dan kemudian
sang murobi mencarikan calon pasangan untuk mutarobinya dengan memperhatikan
kriteria-kriteria yang diajukan, lantas dipertemukan dalam suatu majelis yang
disebut dengan ta’aruf. Keyakinan bahwa ia ingin segera menyempurnakan setengah
agamanya dengan seseorang yang ia yakini membawa kebaikan baginya, sebagai suatu
wujud ibadah dan penyaluran kebutuhan psikologisnya di jalan yang diridhai
Allah.
membuat sebagian orang berani mengikrarkan diri sehidup semati dengan hanya
mengalami fase ‘penjajakan’ secara singkat tanpa melalui apa yang disebut
orang-orang sebagai pacaran. Misalnya dengan melangkah melalui proses
menceritakan kegundahan hati pada sang murobi, mengajukan biodata dan kemudian
sang murobi mencarikan calon pasangan untuk mutarobinya dengan memperhatikan
kriteria-kriteria yang diajukan, lantas dipertemukan dalam suatu majelis yang
disebut dengan ta’aruf. Keyakinan bahwa ia ingin segera menyempurnakan setengah
agamanya dengan seseorang yang ia yakini membawa kebaikan baginya, sebagai suatu
wujud ibadah dan penyaluran kebutuhan psikologisnya di jalan yang diridhai
Allah.
Niat seseorang memegang peranan
yang penting sebagai suatu pondasi dasarnya dalam mengambil suatu tindakan dan
niat pula lah yang menjadi salah satu dari tiga syarat utama diterimanya suatu
amal. Jika seseorang memiliki suatu niat yang lurus dan keyakinan yang kuat
atas keinginannya ini, apalagi yang ditunggunya? Apa lagi yang menghalanginya
untuk menyegerakan?
yang penting sebagai suatu pondasi dasarnya dalam mengambil suatu tindakan dan
niat pula lah yang menjadi salah satu dari tiga syarat utama diterimanya suatu
amal. Jika seseorang memiliki suatu niat yang lurus dan keyakinan yang kuat
atas keinginannya ini, apalagi yang ditunggunya? Apa lagi yang menghalanginya
untuk menyegerakan?
Apalagi bagi seorang wanita
muslimah yang telah mencapai usia akil baligh dan telah sampai ilmunya bahwa
menjadi seorang pengantin merupakan satu dari enam hal yang harus disegerakan
dalam Islam. Tak seharusnya seorang muslimah menunggu seseorang tertentu yang
belum tentu menjadi suaminya datang melamar, sementara ia melepaskan orang lain
dengan akhlak yang mungkin lebih baik. Akan ada rasa sakit yang teramat sangat
untuk sang wanita apabila ia telah menunggu seseorang tertentu dan tiba-tiba
saja laki-laki yang ditunggunya tidak jadi meminang atau ‘beralih haluan’
kepada wanita lain? Toh tidak ada yang mengikat laki-laki tersebut untuk harus
melamar sang wanita. Janji-janji setinggi apapun yang dibuat oleh seorang
laki-laki hanyalah sekadar janji apabila ia belum berani datang kepada orang
tua sang wanita dan memintanya secara resmi. Sesederhana itu.
muslimah yang telah mencapai usia akil baligh dan telah sampai ilmunya bahwa
menjadi seorang pengantin merupakan satu dari enam hal yang harus disegerakan
dalam Islam. Tak seharusnya seorang muslimah menunggu seseorang tertentu yang
belum tentu menjadi suaminya datang melamar, sementara ia melepaskan orang lain
dengan akhlak yang mungkin lebih baik. Akan ada rasa sakit yang teramat sangat
untuk sang wanita apabila ia telah menunggu seseorang tertentu dan tiba-tiba
saja laki-laki yang ditunggunya tidak jadi meminang atau ‘beralih haluan’
kepada wanita lain? Toh tidak ada yang mengikat laki-laki tersebut untuk harus
melamar sang wanita. Janji-janji setinggi apapun yang dibuat oleh seorang
laki-laki hanyalah sekadar janji apabila ia belum berani datang kepada orang
tua sang wanita dan memintanya secara resmi. Sesederhana itu.
Sebagian wanita tidak menunggu
seseorang tertentu untuk melamar. Ia menunggu seseorang yang berani melamar. Wanita
memerlukan suatu ‘keyakinan yang memadai’. Keyakinan yang dibuktikan dengan
datangnya pinangan. Lagipula, yakinlah, wanita adalah makhluk yang paling mudah
untuk mencintai. Bisa jadi ia mencintai seorang laki-laki tetapi kemungkinan
besar ia akan meninggalkan laki-laki itu apabila laki-laki itu tidak segera
melamarnya sementara ada laki-laki lain yang memiliki kemampuan dan berani
melangkah lebih maju.
seseorang tertentu untuk melamar. Ia menunggu seseorang yang berani melamar. Wanita
memerlukan suatu ‘keyakinan yang memadai’. Keyakinan yang dibuktikan dengan
datangnya pinangan. Lagipula, yakinlah, wanita adalah makhluk yang paling mudah
untuk mencintai. Bisa jadi ia mencintai seorang laki-laki tetapi kemungkinan
besar ia akan meninggalkan laki-laki itu apabila laki-laki itu tidak segera
melamarnya sementara ada laki-laki lain yang memiliki kemampuan dan berani
melangkah lebih maju.
Bagi seorang wanita muslimah,
mengikatkan diri pada perjanjian berat ini adalah hal yang perlu
dipertimbangkan mendalam. Apalagi ia akan segera menjadi seorang istri dengan
segala kewajiban baru yang disandangnya, kewajiban terbesarnya pada sang suami,
bahkan ‘hanya’ dengan keridaan sang suami ia bisa memasuki surga dari pintu
mana saja yang dikehendakinya. Jangan sampai ia salah memilih imam baginya dan
anak-anaknya. Ia juga harus menjadi seorang ibu yang darinya generasi baru
pertama kali belajar dan mempersepsikan dunia.
mengikatkan diri pada perjanjian berat ini adalah hal yang perlu
dipertimbangkan mendalam. Apalagi ia akan segera menjadi seorang istri dengan
segala kewajiban baru yang disandangnya, kewajiban terbesarnya pada sang suami,
bahkan ‘hanya’ dengan keridaan sang suami ia bisa memasuki surga dari pintu
mana saja yang dikehendakinya. Jangan sampai ia salah memilih imam baginya dan
anak-anaknya. Ia juga harus menjadi seorang ibu yang darinya generasi baru
pertama kali belajar dan mempersepsikan dunia.
Jika seseorang menunggu siap,
sampai kapanpun ia tak akan pernah merasa siap, karena akan ada saja hal-hal
yang dirasanya kurang. Bahkan sering kali disebutkan bahwa beberapa saat sebelum
perjanjian yang berat itu diikrarkan pun akan selalu terhembus suatu bentuk perasaan
ragu, apakah seseorang yang disandingnya itu adalah orang yang tepat. Pada
akhirnya akan kembali lagi pada apa yang mendasarinya. Apa niatnya, apa yang
ingin dicapainya. Allah lah yang memerintahkan suatu ibadah, ia pulalah yang
akan memudahkannya bukan? Memudahkan proses awalnya dan memudahkan kesudahannya.
sampai kapanpun ia tak akan pernah merasa siap, karena akan ada saja hal-hal
yang dirasanya kurang. Bahkan sering kali disebutkan bahwa beberapa saat sebelum
perjanjian yang berat itu diikrarkan pun akan selalu terhembus suatu bentuk perasaan
ragu, apakah seseorang yang disandingnya itu adalah orang yang tepat. Pada
akhirnya akan kembali lagi pada apa yang mendasarinya. Apa niatnya, apa yang
ingin dicapainya. Allah lah yang memerintahkan suatu ibadah, ia pulalah yang
akan memudahkannya bukan? Memudahkan proses awalnya dan memudahkan kesudahannya.
Jadi kapan kamu menyebar
undangan? ^^
undangan? ^^
Catatan : Tulisan ini merupakan hasil tantangan seorang teman yang ‘menantang’ untuk menulis dengan menghilangkan sudut pandang keakuan, bersifat sedikit ilmiah, menulis tema pernikahan tanpa ada kata pernikahan, perkawinan dan sejenisnya. Tulisan ini terutama ditujukan untuk diri sendiri 🙂
9 Comments. Leave new
Kapan mon? :)))
so sweet, mon…. 🙂
jadi kapan mon? undang2 ya.. biar aq tau…
jadi melihat diri sendiri
heheh
terima kasih postingannya
jadi ingat kata2 suami dulu sebelum menikah
kesiapan dalam hal apapun termasuk pernikahan, seperti halnya dengan kita sewaktu sekolah ada ulangan. meskipun beberapa hari sebelumnya kita sudah diberitahu akan ada ulangan dan meski kita telah belajar, namun ketika hari "H" kemudian guru bertanya "sudah siap untuk ulangan hari ini?" kita cenderung menjawab "beluuuummmm… / tidak"
Padahal menurut pengalaman pribadi dan pengalaman dari orang2 terdekat, ketika kita telah berazam menikah untuk mendapatkan ridhoNya, jalan itu terasa begitu mudah dan rezeki tak terduga ataupun tidak datang darimana saja.
salam ukhwuwah 🙂
mbak Elsa
hehe, saya juga kok mbak 🙂
makasih udah mampir ^^
mbak Qoirina
sepakat mbak, kalo ada niat baik pasti dimudahkan 🙂
salam ukhuwah mbak ^^
Tulisannya bagus, kesan Religiusnya sangat kuat, saya mengundang Mbak Monika untuk join di komunitas blogger pengguna FB di sini http://www.facebook.com/groups/bloofers/
BLOOF (Blog of Friendship) saya tunggu..
Buat kebanyakan cewe married tuh kayak sebuah "finish line", sementara bagi cowo2, married tuh sebuah "starting line"
Karena itulah, kita, cowo, seringkali harus berpikir masak2 sebelum melamar sang pujaan hati…
makasih komen2nya.. salam kenal para blogger ^^