Di tengah derasnya arus informasi dengan adanya internet, pembaca kerapkali disuguhi dengan artikel-artikel pendek. Laporan mendalam seperti in-depth investigation bagaikan oase di tengah gurun. Pembaca akan menikmati tulisan panjang yang mendalam.
Namun, terkadang, tulisan panjang bisa teramat membosankan lantaran hanya menyajikan fakta tanpa terlalu banyak polesan. Jurnalisme sastrawi hadir untuk menengahi. Jurnalisme sastrawi adalah sebuah genre jurnalisme yang menggabungkan antara laporan yang mendalam dengan gaya kepenulisan sastrawi sehingga menghasilkan laporan mendalam dan memikat. Ibarat kawan lama yang datang bercerita.
Andreas Harsono, seorang jurnalis, merupakan salah satu tokoh yang memopulerkan jurnalisme satrawi di Indonesia. Dalam buku antologi berjudul “Jurnalisme Sastrawi : Antopologi Mendalam dan Memikat”, Andreas menjabarkan tentang awal mula kehadiran jurnalisme sastrawi.
Jurnalisme sastrawi adalah salah satu dari setidaknya tiga nama untuk genre tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat di mana reportase dilakukan secara mendalam dan penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi sehingga menghasilkan tulisan yang enak dibaca. Namun, patut digarisbawahi bahwa jurnalisme sastrawi bukanlah reportase yang ditulis dengan kata-kata puitis. Narasi boleh puitis tetapi tak semua prosa yang puitis adalah narasi.
Lebih lanjut, Andreas Harsono menjabarkan tujuh pertimbangan apabila hendak menulis narasi berdasarkan Robert Vare, jurnalis yang mengajarkan narasi kepada Andreas.
Pertama, fakta. Jurnalisme sastrawi adalah jurnalisme, setiap detail haruslah merupakan fakta.
Kedua, konflik. Tulisan panjang tanpa konflik akan kurang menggigit.
Ketiga, karakter. Narasi membutuhksn adanya karakter-karakter yang akan membantu mengikat cerita.
Keempat, akses. Penulis seyogianya memiliki akses kepada para karakter. Akses dapat berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian, dsb.
Kelima, emosi. Dapat berupa rasa cinta, kebencian, kesetiaan, kekaguman, dan sebagainya.
Keenam, perjalanan waktu. Laporan panjang bagai sebuah film yang berputar. Ranah waktu menjadi penting dalam narasi.
Ketujuh, kebaruan. Tiada guna mengulang cerita lama. Mungkin akan lebih mudah mengungkapkan kebaruan dari kacamata orang biasa yang menjadi saksi mata peristiwa besar.
Jurnalisme sastrawi adalah sebuah pilihan jurnalisme di tengah banyaknya tulisan yang dangkal. Namun, perlu disadari bahwa tak semua orang menyukai tulisan panjang sehingga membuat tulisan dengan genre ini adalah sebuah tantangan.
1 Comment. Leave new
Jurnalisme sastrawi, meringankan bacaan yang seharusnya sangat berat