Indonesia pernah memiliki sastrawan besar bernama Arswendo Atmowiloto. Sosoknya mungkin tak terlalu familiar bagi generasi 90-an ke atas tapi jika kamu pernah menonton film “Keluarga Cemara”, Arswendo adalah penulis dari novel best seller yang kemudian menjadi film popular.
Arswendo Atmowiloto lahir dengan nama Sarwendo pada tanggal 26 November 1948 di Surakarta, Jawa Tengah dan meninggal pada tanggal 19 Juli 2019 di Jakarta. Ia kemudian mengganti nama Sarwendo menjadi Arswendo agar lebih menarik perhatian dan menambahkan nama ayahnya, Atmowiloto.
Semasa hidupnya, Arswendo merupakan salah satu sastrawan Indonesia yang dikenal dengan berbagai kontroversi. Misalnya, ketika ia menjadi pemimpin redaksi tabloid Monitor, Monitor tercatat sebagai tabloid dengan oplah terbesar sepanjang sejarah. Popularitas tabloid tersebut dikritik lantaran dianggap menonjolkan jurnalisme sensasional dengan foto-foto vulgar.
Tak hanya itu, Arswendo pernah dihukum penjara selama lima tahun lantaran tuduhan subversi yang dialamatkan kepadanya. Pada tanggal 15 Oktober 1990, tabloid Monitor merilis tabel nama berjudul “Ini Dia : 50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca”. Dari 50 nama tokoh, Arswendo menduduki peringkat ke-10, satu tingkat di atas peringkat Nabi Muhammas SAW yang menduduki peringkat ke-11.
Namun, terlepas dari kontroversi yang mengiringi karier kepenulisan Arswendo, tak dapat dipungkiri bahwa ia merupakan salah seorang sastrawan besar Indonesia.
Majalah Tempo pernah memberikan Arswendo label “Penulis Indonesia Paling Produktif”. Sebagai gambaran, judul karyanya yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama saja mencapai 55 buah. Uniknya, beberapa karyanya diterbitkan dengan menggunakan nama samaran.
Karier kepenulisan Arswendo bermula ketika cerpennya berjudul “Sleko” dimuat di majalah Bahari pada 1971. Setahun kemudian, ia diangkat menjadi pemimpin Bengkel Sastra Pusat Kesenian Jawa Tengah di Solo. Cerita-cerita pendek dengan judul “Keluarga Cemara” dituliskannya pada saat ia menjadi pemimpin redaksi majalah Hai untuk kemudian dibukukan pertama kali pada tahun 1981.
Penjara Membuat Arswendo Semakin Produktif
Penjara bisa menahan raga, tetapi bukan produktivitas. Hal tersebut dibuktikan oleh Arswendo yang terus berkarya dari balik penjara. Ia kemudian dikenal sebagai sastrawan yang menghasilkan “sastra penjara”, sebuah sastra mengabadikan kehidupan kelam para narapidana.
Cerita yang dituliskannya di penjara memiliki warna khas: absurd, humoris, dan santai. Cerita tersebut mengisahkan kehidupan para tahanan dan masyarakat umum di ibu kota yang mengalami keputusasaan menghadapi berbagai kesulitan hidup.
Di penjara, Arswendo menuliskan kurang lebih dua puluh buku, lagi-lagi dengan menggunakan nama samara. Salah satu tulisan yang diciptakannya di penjara “Menghitung Hari” mengisahkan kentang kehidupan di penjara dan terbit pada tahun 1993. Dua tahun kemudian, tulisan tesebut diangkat menjadi sebuah sinetron di salah satu televisi dan memenangkan penghargaan film terbaik di Festival Sinetron Indonesia.
Tetap Menulis Hingga Ajal Tiba
Menulis merupakan nafas jiwa Arswendo. Bahkan, ketika ia divonis mengidap kanker prostat yang kemudian merenggut nyawanya, Arswendo sedang menulis novel berjudul “Barabas”, novel yang tak sempat dirampungkannya lantaran ia menutup usia.
Caecilia Tiara, anak ketiga Arswendo, mengenang ayahnya yang tak henti berkarya, “Novel terbarunya bapak saat sedang sakit yang berjudul ‘Barabas’. Jadi memang luar biasa produktifnya bapak sampai saat sedang sakit, minta ditulisin,”
Lebih lanjut lagi putri sang sastrawan mengatakan, “Bapak itu selalu berkarya. Saya hampir tidak pernah melihat bapak tidak megang pulpen untuk menulis dan di depan laptop,”
Sepanjang hidupnya, Arswendo adalah bukti dari keyakinan yang ditularkannya kepada orang-orang “Mengarang Itu Gampang!” yang merupakan salah satu judul bukunya.
Ya, ya, menulis tentu bukan kerja semalam. Menulis adalah jalan sunyi para peramu kata, mereka yang mendedikasikan hidupnya demi karya tulisan. Bagi Arswendo, bakat itu bukanlah muncul begitu saja, melainkan sebuah minat dan ambisi yang terus menerus berkembang.
Teruslah menulis dan teruslah berkarya!