Menulis buku, terkenal, dan kaya mungkin menjadi sebagian besar para penulis. Penulis buku memperoleh royalti yang dapat menjadi sumber penghasilan.
Yang menarik, ternyata jumlah royalti tak seberapa dibandingkan dengan harga bukunya. Ika Natassa, seorang novelis popular Indonesia, menceritakan tentang royalti.
Dari harga buku Rp80.000,00, penulis hanya memperoleh sekitar Rp6.800,00 setelah dipotong pajak. Selama proses menulis buku, penulis tidak memperoleh penghasilan apa-apa.
Ika Natassa bisa jadi merupakan sosok penulis yang beruntung. Beberapa novelnya sudah dibukukan, sebut saja novel berjudul “Critical Eleven” dan “Antologi Rasa”. Namun, bagaimana dengan penulis yang hanya mengandalkan royalti saja?
Untuk memperoleh pencapaian lebih, baik dari segi finansial atau nonfinansial, seorang penulis haruslah mampu meningkatkan levelnya. Caranya adalah dengan menjadi writerpreneur yakni seperti namanya yang merujuk pada writer dan entrepreneur, sosok yang mampu membisniskan tulisannya.
Menjual buku saja tidak cukup, apalagi hanya menerbitkan buku. Ika Natassa merupakan sosok writerpreneur sukses di Indonesia.
Contoh writerpreneur sukses lainnya adalah Asma Nadia. Selain menulis puluhan buku yang laris manis di pasaran, Asma Nadia juga menjajaki berbagai bidang dan meraih kesuksesan. Sebut saja, beberapa novelnya sudah diangkat ke dalam layar lebar dan juga sinetron seperti “Surga yang Tak Dirindukan” atau “Catatan Hati Seorang Istri”. Belum lagi ia memiliki berbagai bisnis seperti ransel dan outfit Muslimah.
Kursus atau seminar menulis merupakan contoh writerpreneurship. Dewi Lestari, salah seorang novelis papan atas Indonesia, membuka Kaizen Writing Workhop di masa pandemi. Iqbal Aji Daryono, salah seorang esais yang populer di Detik dan Mojok, membuka kelas menulis daring setiap bulan. Satu orang membayar Rp350ribu, jika satu bulan ia dapat memperoleh minimal 100 orang peserta, ia sudah mengantongi Rp35 juta setiap bulannya.
Ya, banyak jalan menjadi seorang writerpreneur.
Namun, saya melihat ada benang merah para writerpreneur. Selain memiliki penjualan buku yang bagus, mereka memiliki persona yang kuat, sesuatu yang disebut dengan personal branding. Sederhananya, personal branding merupakan cara seseorang mempromosikan dirinya.
Tengok saja, misalnya, Iqbal Aji Daryono memiliki personal branding sebagai penulis konten ringan nan sarat renungan. Ika Natassa memiliki personal branding sebagai seorang eksekutif muda. Ya, selain sebagai novelis sukses, Ika memiliki karier yang bersinar di Bank Mandiri.
Salah satu cara untuk memperkuat personal branding yakni dengan menjadi penulis yang memiliki niche atau kekhususan tulisan. Misalnya untuk blog, ada blog yang semata membahas tentang kecantikan, buku, dan sebagainya.
Apabila kita menulis topik yang sama secara menarik dan konsisten, hal itu akan menjadi sebuah personal branding yang memperkuat posisi kita. Contohnya, tulisan Asma Nadia yang identik engan dilemma para perempuan.
Membangun personal branding tentu tidak akan selesai dalam satu malam, tetapi merupakan sebuah perjalanan panjang. Lalu, bagaimana denganmu? Bagaimana caramu membangun personal branding?