Rambut ikalnya terurai sebahu. Gaun pendek semata kaki membungkus tubuh sintalnya. Kulitnya putih terawat. Lehernya yang jenjang dihiasi dengan kalung emas berliontin berlian. Tak lupa gelang emas gemerincing apabila ia lewat. Aroma parfum mahal menyeruak apabila berada di dekatnya. Orang yang tak mengenalnya mungkin tak akan menyangka bahwa Bu Tina sudah berusia lima puluh dua.
Parasnya memang ayu. Tak jarang Bu Tina mengaku-ngaku mirip Maia Estianty.
Seantero Desa Sambungmacan pasti mengenal Bu Tina, istri Pak Dayat. Tanahnya ada di mana-mana, turah-turah dalam bahasa Jawa. Maklum, Bu Tina adalah anak bungsu dari juragan beras. Belum lagi, Pak Dayat merupakan saudagar cabai yang menguasai penjualan cabai di Jawa Tengah. Bu Tina sendiri punya bisnis sampingan meminjamkan uang yang dicicil harian, bank titil istilahnya.
Uang bukanlah masalah bagi Bu Tina. Ketika anak pertamanya memasuki usia tujuh belas tahun, Bu Tina mengadakan pesta besar-besaran dengan mengundang artis ibukota. Ketika Bu Tina bosan dengan tasnya, ia akan naik pesawat dari Solo ke Jakarta untuk sekadar belanja.
Sayang seribu sayang, kekayaan membuat Bu Tina menjadi congkak. Selalu ada saja omongan Bu Tina yang menyakitkan lawan bicaranya.
“Kuwi anakmu wes nikah pirang taun kok durung nduwe anak to? Iso nduwe anak opo ora?” (Anakmu sudah menikah berapa tahun kok belum punya anak? Bisa punya anak apa engga?)
Bu Toni terdiam mendengar celetukan Bu Tina di tengah acara kenduren untuk merayakan pernikahan seorang warga. Ramai-ramai warga desa menengok sumber suara
“Wes to Bu, perkara anak kan rejeki saka Gusti,” (Sudahlah Bu, perkara anak kan rejeki dari Tuhan)
Bu Mawar, sahabat Bu Tina mencoba menengahi. Bu Susilo sedari tadi terdiam mendengarkan cemoohan Bu Tina,
“Halah, semua itu diusahakan sampai maksimal. Kayak artis Zaskia Sungkar sama Irwansyah itu lho. Sepuluh tahun nikah belum punya anak terus bayi tabung. Bisa ratusan juta lho. Tapi ya kecil kalau buat yang punya uang. Kalau yang nggak punya yowes nasibmu,”
Bu Tina terus menyerocos. Bu Mawar geleng-geleng. Bu Susilo memilih beranjak dari tempat duduknya tanpa mengucapkan sepatah kata pun tapi terlihat wajahnya murung.
“Ya sudah-sudah. Ayo lanjut makan-makannya. Ndak tiap hari bisa makan ayam, to?” Bu Tina rupanya sudah mulai bosan. Tak ada warga lain yang menimpali. Padahal, kan seru kalau bergunjing ramai-ramai, pikir Bu Tina.
Tangan kanannya yang dihiasi gelang mutiara kini sibuk memainkan ponsel model terbaru. Ia membuka situs belanja dan mulai melihat-lihat baju untuk ke pantai. Bulan depan ia berencana liburan ke Bali beserta geng sosialita kabupaten. Oleh karena itu, ia harus membeli baju baru.
Jangan sampai fotonya memakai baju yang sudah pernah ditampilkannya di Instagram. Apa kata dunia…..
Warga mulai bubar. Bu Tina bersiap beranjak. Tiba-tiba, Bu Siti mendekati Bu Tina. Bu Agus merupakan guru sekolah anak Bu Tina.
“Bu Tina, nyuwun sewu. Gini, Bu. Saya langsung terus terang aja ya, Bu. Saya butuh biaya untuk masukin Doni ke pondok. Saya sudah nabung dari tahun lalu tapi kok ndelalah ada saja kebutuhan. Kemarin bapake Doni kecelakaan dah butuh biaya besar. Boleh ndak Bu saya pinjem 5 juta? Insya Allah saya bayar nyicil selama tiga bulan,”
“Ya boleh-boleh aja, Bu. Nanti saya suruh anak buah saya transfer. Tapi inget ndak ada yang gratis lho, Bu. Bunganya 3% per hari buat orang lain. Tapi sama Bu Siti 2% aja bunganya soalnya guru anak saya,”
Bu Siti menghela nafas. Ia tak punya pilihan. Mau meminjam keluarga juga kondisi mereka tak jauh berbeda. Bu Siti mengangguk lemah.
“Oke deh, Bu Siti. Saya balik dulu,” Bu Tina pamit. Sebelum beranjak, ia menyeruput teh yang ada di sampingnya.
“Kuranggg ajaaaarrrr,” Bu Tina tersedak. Rasa asin luar biasa terasa dari teh yang diminumnya.
**
Bersambung
1 Comment. Leave new
Itu Bu Tina kebanyakan makan cabe keknya mulutnya pedes bener..
ckckckckkc