
menjadi cerita utama di buku setebal 160 halaman ini. Bercerita tentang seorang
lelaki muda bernama Tansen yang mendadak mengetahui kenyataan bahwa silsilah
keluarganya berubah sekejap ia tahu. Seperti pertanyaannya,
“Apa rasanya sejarah hidup kita
berubah dalam sehari? Darah saya mendadak seperempat Tionghoa, nenek saya
ternyata tukang roti, dan dia, bersama kakek yang tidak saya kenal, mewariskan
anggota keluarga yang tidak pernah saya tahu : Madre,”
Madre tak hanya sebuah biang adonan biasa. Bukan hanya
lantaran usianya yang telah menginjak usia tujuh puluhtahun, melainkan seperti
halnya kata Madre sendiri yang berasal dari bahasa Spanyol yang bermakna ‘ibu’,
ia menjelma sebagai sebuah benda yang memberi penghidupan bagi sebuah toko roti
tua sekaligus para pegawai toko tersebut. Biang adonan yang akhirnya membawa
sesosok bebas bernama Tansen meninggalkan Bali untuk tinggal di kota pengap
Jakarta. Kata demi dalam cerita ini mengalir dengan luwes dan seakan mengajak
pembaca menyelami emosi sang tokoh. Tengoklah saat Dee mendefinisikan arti
kebebasan dalam suatu dialog ringan :
lantaran usianya yang telah menginjak usia tujuh puluhtahun, melainkan seperti
halnya kata Madre sendiri yang berasal dari bahasa Spanyol yang bermakna ‘ibu’,
ia menjelma sebagai sebuah benda yang memberi penghidupan bagi sebuah toko roti
tua sekaligus para pegawai toko tersebut. Biang adonan yang akhirnya membawa
sesosok bebas bernama Tansen meninggalkan Bali untuk tinggal di kota pengap
Jakarta. Kata demi dalam cerita ini mengalir dengan luwes dan seakan mengajak
pembaca menyelami emosi sang tokoh. Tengoklah saat Dee mendefinisikan arti
kebebasan dalam suatu dialog ringan :
“Satu-satunya yang ingin saya
teruskan adalah kebebasan saya,”
“Kalau bebas sudah jadi
keharusan, sebetulnya sudah bukan bebas lagi, ya?” cetus Mei kalem
Aku menghela napas. Pembicaraan
ini, entah kenapa, jadi terasa memojokkan.
Dituturkan oleh Dewi Lestari dengan gaya renyahnya yang
khas, cerita yang menghabiskan lebih dari setengah buku bersampul oranye
menarik ini perlahan-lahan mengajak saya seperti menikmati legitnya sepotong
demi sepotong roti ditemani secangkir teh hangat di suatu sore. Kesederhanaan
yang memikat.
khas, cerita yang menghabiskan lebih dari setengah buku bersampul oranye
menarik ini perlahan-lahan mengajak saya seperti menikmati legitnya sepotong
demi sepotong roti ditemani secangkir teh hangat di suatu sore. Kesederhanaan
yang memikat.
Terdiri dari tiga belas karya fiksi dan prosa pendek, Dewi
Lestari agaknya semakin mengukuhkan diri sebagai seorang penulis yang tak hanya
cerdas dan piawai memilih kata tetapi juga sebagai seorang penulis yang piawai
menyelami emosi dan pikiran pembaca misalnya saat ia bercerita tentang janin
yang dikandungnya dalam tulisan berjudul Rimba Amniotik atau jeli membidik dua
pertanyaan dasar manusia dan menuliskannya dalam ‘Semangkok Acar untuk Cinta dan
Tuhan’.
Lestari agaknya semakin mengukuhkan diri sebagai seorang penulis yang tak hanya
cerdas dan piawai memilih kata tetapi juga sebagai seorang penulis yang piawai
menyelami emosi dan pikiran pembaca misalnya saat ia bercerita tentang janin
yang dikandungnya dalam tulisan berjudul Rimba Amniotik atau jeli membidik dua
pertanyaan dasar manusia dan menuliskannya dalam ‘Semangkok Acar untuk Cinta dan
Tuhan’.
Prosa dalam buku ini, menurut preferensi saya tentunya, tak
terlalu meninggalkan kesan, pun dua cerita pendek yang seakan diselesaikan
dengan tergesa. Rasanya tak sememikat Filosofi Kopi memang tapi Madre manis untuk dijadikan koleksi.
terlalu meninggalkan kesan, pun dua cerita pendek yang seakan diselesaikan
dengan tergesa. Rasanya tak sememikat Filosofi Kopi memang tapi Madre manis untuk dijadikan koleksi.
Penulis : Dewi Lestari
Mon’s rating : 3/5 stars ^^
4 Comments. Leave new
wah tapi aku jadi penasaran. . . . .
"Rasanya tak sememikat Filosofi Kopi memang tapi Madre manis untuk dijadikan koleksi"
Setuju banget.. ;).. wlopun aq ga punya bukunya.. he..he.. baca gretongan… 😉 6 bulan yg lalu..
kayaknya bagus, sayang nggak punya bukunya 😀
sepakat, memang kurang menggigit. tp tetap sja, sya tidak tahan untuk tidak mengoleksinya. hehhe