Mengutip perkataan seorang teman tiap kali ia ditanya kapan ia akan menikah : “menanyakan kapan aku akan menikah ibarat menanyakan kapan aku akan mati”. Ya, jodoh dan kematian memiliki satu kesamaan yakni bahwa keduanya adalah rahasia Allah yang tidak kita ketahui persis kedatangannya, yang bisa kita lakukan adalah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Mohammad Fauzil Adhim dikenal sebagai ‘pakar’ khusus masalah rumah tangga dengan buku-buku seputar pernikahan dan keluarga yang ditulisnya, salah satunya buku yang akan saya bahas kali ini : Saatnya untuk Menikah.
“Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah) oleh orang-orang yang saling mencintai seperti halnya pernikahan” (hadits Rasulullah saw sebagaimana disebutkan oleh Thawus dari Ibnu Abbas r.a. Al Hakim kemudian meriwayatkan dan menyatakannya sebagai hadits shahih sesuai dengan syarat-syarat Muslim)
Namun tentu saja untuk memasuki gerbang indah bernama pernikahan itu perlu dipersiapkan berbagai hal seperti yang disebutkan penulis :
1. Bekal ilmu mendampingi suami, melayani suami, menaati suami, mengajarkan ilmu agama kepada istri, menasihati istri tentu memerlukan pengetahuan syar’i yang perlu untuk dipahami
2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab
Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang yang sudah menikah sehingga kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Tanggung jawab yang perlu disadari oleh baik suami maupun istri.
3. Kesiapan Menerima Anak
4. Kesiapan Psikis
Kesiapan psikis untuk berumah tangga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Memasuki kehidupan rumah tangga artinya mempersiapkan menghadapi suasana rumah tangga dengan tak hanya membayangkan ‘yang indah-indah saja’.
5. Kesiapan Ruhiyah
Istilah kesiapan ruhiyah merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama.
Persiapan lainnya yakni tentang mengenal istri dan kesiapan untuk memberi nafkah. Bagi sebagian orang, kesiapan memberi nafkah identik dengan memiliki pekerjaan tetap. Penulis menegaskan perbedaan antara kesiapan ekonomi dengan kesiapan memberi nafkah. Kesiapan ekonomi -seperti ditafsirkan sebagian orang- adalah kemampuan ekonomi yang dimiliki oleh seorang laki-laki sehingga dengan kemampuan ekonomi itu ia bisa memberi nafkah. Sementara kesiapan memberi nafkah lebih berkait dengan kesiapan untuk sungguh-sungguh bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya sehingga meskipun saat menikah tidak memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, ia tetap dapat menafkahi keluarganya.Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Nuur:32 yang terjemahannya berbunyi “dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunian-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”
Bab selanjutnya membahas mengenai yang perlu diketahui mengenai jodoh. Dalam Q.S. An-Nuur:26 Allah SWT berfirman yang terjemahannya berbunyi “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula) dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) …”
Terkadang kita mempertanyakan mengapa ada wanita yang baik mendapatkan suami yang kurang baik, begitu pula sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut penulis menjelaskan bahwa yang tampak baik atau buruk di mata manusia belum tentu nampak demikian di mata Allah dan terkadang hal tersebut merupakan ujian Allah bagi hamba-Nya.Penulis juga tak lupa menyoroti tentang pentingnya sumber informasi yang terpercaya bagi kita dalam mencari jodoh dan juga sindiran penulis mengenai fenomena bahwa sebagian orang tak kunjung menemukan jodohnya lantaran tingginya kriteria yang ditetapkan padahal, menurut penulis, termasuk mempersulit diri adalah setiap halangan yang timbul karena kita membatasi hal yang telah dilapangkan Allah, mempersempit hal yang telah diluaskan-Nya dan memperberat hal yang diringankan-Nya sehingga kita tidak mampu mencapainya.
Hal yang mendapat penekanan dalam buku ini adalah mengenai nazhar (melihat) calon istrinya. Dibahas dalam dua bab berikutnya, penulis menekankan pentingnya nazhar sebelum pernikahan sebab hal tersebut akan lebih menjamin kelanggengan hidup rumah tangga. Dalam buku ini juga dibahas apa saja yang boleh dilihat, cara melakukan nazhar dan bahwa wanita juga perlu melihat. Dipaparkan pula hadits-hadits mengenai nazhar beserta riwayat terkait.
Penulis sekali lagi ‘menyentil’ mengenai orang-orang yang tak kunjung memperoleh jodoh lantaran menurut beliau mempersulit apa yang telah Allah mudahkan dengan tingginya kriteria. Ketika engkau merasa tak sanggup menanggung kesendirian, serulah Tuhanmu dengan penuh kesungguhan “Rabbi, laa tadzarni fardan wa anta khairul waritsin (Tuhanku, jangan biarkan aku sendirian. Dan Engkau adalah sebaik-baik warits) (Q.S. Al Anbiya’:89)Buku setebal 270 halaman ini ditutup dengan bab ”Ketika Wanita Harus Menawarkan Diri”. Dalam bab ini diceritakan mengenai Khadijah ra yang menawarkan dirinya untuk diperistri nabi dengan mengutus Maisarah untuk mengikuti perjalanan dagang yang dipimpin Muhammad SAW dan dengan mengutus Nafisah binti Munayyah untuk menjajaki kemungkinan sekaligus menawarkan apabila terlihat adanya peluang.
Insya Allah, buku kecil ini bermanfaat bagi kita ^^
1 Comment. Leave new
saya suka buku iniiiii…. 😀