Pertama melihatnya di toko buku, buku berjudul “Marketing to the Middle Class Moslem” langsung menarik perhatian saya. Covernya so catchy, perpaduan kuning dan hitam itu juara. Well, lalu bagaimana dengan konten buku yang ditulis oleh Yuswohady (beserta Dewi Madyani, Iryan Ali Herdiansyah dan Ikhwan Alim) ini? Mari kita bedah satu-satu.
Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata ‘Middle Class Muslim’? Siapakah yang dimaksud dengan kelas menengah itu? Dikutip dari blog Yuswohady, ADB (2010) mendefinisikan kelas menengah dengan rentang pengeluaran perkapita perhari sebasar $2-20. Adapun McKinsey Global Institute menyebut kelas menengah dengan istilah “consuming class”. Definisinya adalah individu yang memiliki pendapatan sebesar $3600 (PPP, 2005) ke atas.
Lalu apa yang menarik dari pemasaran terhadap kaum menengah Muslim? Yuswohady dalam blognya mengatakan bahwa jumlah kelas menengah Indonesia mencapai 45 juta pada tahun 2010 dan akan meroket menjadi 134 juta pada tahun 2030.
Jika BPS berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 merilis bahwa 87% penduduk Indonesia beragama Islam, bayangkan betapa besarnya ‘kue’ yang dapat dibagikan kepada para penjual. Jika Anda hobi membuka Instagram untuk membeli barang secara online, salah satunya Anda akan menemukan online shop dengan penjualan fenomenal, dalam beberapa jam (atau bahkan menit) barang yang disediakan ludes diserbu pembeli. Atau contoh yang lebih gampang adalah fenomena Sevel yang sering dikaitkan erat dengan kelas menengah.
![]() |
Buku setebal 306 halaman ini terbagi menjadi dua bagian : bagian pertama berbicara tentang Perubahan dan Perilaku Konsumen serta bagian kedua berbicara tentang Strategi dan Taktik Pemasaran. Yang paling menarik dari bagian pertama adalah kejelian penulis dalam ‘membaca’ fenomena yang terjadi pada kaum muslim Indonesia. Pada bagian ini, penulis menjabarkan mengenai fenomena hijab, umrah, makanan dan kosmetik halal, bank syariah, asuransi dan investasi syariah, budaya Islam pop, hotel syariah, Islamic Parenting, zakat dan sedekah serta masjid dan mushola. Bagian kedua buku ini membahas mengenai strategi dan taktik pemasaran yang dibagi atas empat sosok Muslim Indonesia dan personifikasi merk serta enam prinsip pemasaran konsumen Muslim.
![]() |
Sumber : Yuswohady |
Yuswohady membagi empat sosok Muslim Indonesia dalam sebuah matriks yang dijabarkannya sebagai berikut :
“Matriks tersebut tersusun atas dua dimensi perilaku konsumen, yaitu tingkat sumber daya (resources) yang dimiliki oleh konsumen muslim dan tingkat adopsi (adoption) mereka terhadap nilai-nilai Islam. Dua faktor tersebut sangat siknifikan memengaruhi perilaku
mereka dalam memutuskan pembelian atau mengonsumsi produk. Dua faktor tersebut memengaruhi cara pandang mereka terhadap unique value proposition (UVP), baik UVP syariah maupun UVP konvensional, yang ditawarkan oleh merek”
Adapun enam prinsip pemasaran kepada kelas menengah Muslim terdiri atas : 1) the principle of customer, 2) the principle of competition, 3) the principle of positioning, 4) the principle of differentiation, 5) the principle of value, dan 6) the principle of engagement. Keenamnya dijabarkan secara cerdas memikat.
Buku ini ditulis dengan gamblang, dengan bahasa yang mudah dipahami oleh kaum ‘awam marketing’, tetapi padat ‘bergizi’ kaya akan hasil riset dan dilengkapi dengan berbagai sumber. Pantas sajalah jika demikian melihat buku ini disusun oleh orang-orang yang ada pada Center for Middle Clas Consumer Studies (CSMS), sebuah lembaga think tank yang didirikan oleh Inventure bersama Majalah SWA yang secara intensif mengamati pasar Muslim di Indonesia. Informasi yang kaya diolah secara menarik dan cerdas.
Salah satu riset menarik yang dikutip dalam buku ini adalah hasil survei Gallup pada tahun 2009 yang menempatkan Indonesia dalam daftar 10 negara paling religius. Gallup sendiri menyebutkan bahwa Indonesia merupakan sebuah paradoks. Mengapa? Karena Gallup menemukan bahwa pada umumnya ketika suatu negara mengalami peningkatan pendapatan per kapita maka masyarakat di dalamnya akan semakin sekuler, tetapi tidak demikian halnya dengan Indonesia.
Agama merupakan faktor penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Misalnya tuntuan yang tinggi dari pelanggan Muslim terkait label halal pada sebuah produk. Jika dahulu hanya makanan saja yang diberi label halal dan itupun jumlahnya relatif sedikit, sekarang kita bisa menemukan lipstik halal, tisu halal, lulur halal, dsb. Pendek kata, label halal adalah salah satu pertimbangan utama pelanggan Muslim dalam mengkonsumsi suatu barang.
Hal menarik lainnya yang saya temukan dalam buku ini adalah tim penulis tak pelit berbagi ilmu. Buku ini ditutup dengan ‘handbook branding to the Middle Class Muslim’. Handbook ini berisikan langkah praktis, dilengkapi bagan dan template yang amat memudahkan pembaca. Rasanya tak berlebihan saya katakan bahwa jika Anda tertarik dengan fenomena Muslim di Indonesia dan tertarik pula untuk menggarap pasar Muslim (khususnya kelas menengah), buku ini harus Anda baca. Saya tak ragu memberinya lima bintang.
—
NB : Banyak hal menarik pada blog Yuswohady sang penulis. Silahkan kunjungi 🙂