“Orang-orang ini emang sirik sama aku. Kurang ajar banget ada orang naruh garem di kopiku,” Bu Tina ngomel-ngomel sesampainya di rumah. Pak Dayat melirik istrinya sekilas sebelum pandangannya teralihkan lagi ke burang murai kesayangannya.
“Emang sampeyan kenapa lagi, Bu? Mbok yowes, ndak usah nyari masalah sama orang,”
“Lho kok aku to, Pak? Wong aku yang dizalimi kok. Awas aja ini kalau ketemu siapa yang bikin tehku jadi asin,” Bu Tina tidak terima.
“Yowes to, Bu. Kalem aja. Masih garam bukan sianida ini,”
“E.. Lhadalah, Pak. Njenengan opo pengen aku cepet mati? Hah? Biar njenengan bisa nikah lagi sama perawan atau janda kembang desa seberang yo? Dah, Pak, ngaku aja,”
“Eeee… Ndak lah, Bu. Ampun-ampun. Wes to. Daripada manyun tak beliin liontis emas mau?” Pak Dayat ciut juga mendengar omelan Bu Tina lalu mengeluarkan jurus ‘nyogok’. Ia lalu berjalan mengambil sebuah amplop yang nampak tebal.
“Nih, Bu, lima juta di amplop ini. Beli liontin baru sana. Biar ditemeni Pak Sabar,” Pak Dayat menyebut nama supir Bu Tina lalu menelpon sang supir agar segera datang.
“Nah gitu dong, Pak,” wajah Bu Tina langsung sumringah. “Oke tak ganti baju dulu kalau gitu, jangan sampai ketemu orang di kenduren tadi di jalan terus lihat aku pake baju yang sama,”
Pak Dayat geleng-geleng. Lebih baik nggak memperpanjang masalah dengan istrinya yang berwatak keras itu. Istrinya bisa sangat mengerikan ketika marah. Pernah ia menabrakkan mobilnya ke halaman pagar rumah seorang perempuan muda yang dicurigai menggoda Pak Dayat padahal mereka hanya bertransaksi bisnis.
Sayang terlalu banyak utang budi keluargaku ke keluarganya, desis Pak Dayat ketika melihat punggung Bu Tina keluar dari rumah.
**
Sepulang dari toko emas, Bu Tina nyanyi-nyanyi. Entah lagu apa yang dinyanyikannya juga nggak jelas, nadanya banyak meleset, pelafalan lagu banyak yang salah. Namun, suara Bu Tina terus melengking. Ia mematut di depan kaca dengan liontin barunya.
“Buuuu, udah Buuuuu, Dini mau belajar besok PTS,”anak bungsu Bu Tina protes.
“Hedehhh, kamu ini nggak bisa lihat orang tua seneng,” Bu Tina bersungut sembari masuk ke kamarnya.
Bu Tina masuk ke kamar. Enak juga ya kalau ngambek-ngambek trus suami ngasi uang lagi, Bu Tina terkikik.
Sebelum berganti baju, ia pun melepas kalung dengan liontin barunya pelan-pelan dan meletakkan di atas meja rias.
“Wah, kumpul geng sosialita masih sebulan lagi. Kalungnya aku simpen dulu deh di brankas perhiasan,” Bu Tina beranjak menuju brankas yang diletakkan di sebuah sudut kamarnya.
Ia pun menekan enam angka kombinasi dan membuka brankas perlahan. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati brankas perhiasan kosong melompong.
“TIDAAAAAAAAAAAKKKKK….. BAPAAAAAAAAAAAAAAAAAKKK,”
Bruk, sesaat kemudian terdengar suara tubuh Bu Tina tersungkur di lantai. Pingsan.
Bu Tina membuka matanya perlahan. Pak Dayat duduk di sampingnya sambil memegang tangan sang istri. Gini-gini udah ngasih aku tiga anak, pikir Pak Dayat.
“Pak, emasku ilang, Pak. Brankasnya kosong. Emas-emasku Pak, emas-emasku,” Bu Tina menangis kencang.
“Tenang Bu, tenang dulu. Semua orang di rumah ini sudah aku kumpulin daan nggak ada yang pulang rumah dulu. Pak satpam bantu meriksa yang cowok, Bik Inem bantu periksa yang cewek. Aku juga udah nyuruh pak satpam bantu menggeledah semua tas dan mencari-cari di tempat yang bisa menyembunyikan emasnya.
“Bersih Bu, bersih semua. Nggak ada yang bawa-bawa perhiasan,” pak satpam melapor.
Bu Tina jatuh pingsan untuk kedua kalinya.
1 Comment. Leave new
Wkwkwkkw
si Bapak bisa gitu santai aja nenangin istrinya gitu..
untung si Bapak g ditampol