Seluruh rumah sudah digeledah, seluruh penghuni rumah Bu Tina telah diinterogasi. Namun, isi brankas Bu Tina seperti raib ditelan bumi. Isinya seluruh perhiasan yang dimiliki oleh Bu Tina dari jaman gadis. Mulai dari cincin, kalung, liontin, hingga gelang. Seluruhnya terbuat dari emas. Kalau ditaksir-taksir, perhiasan yang dimiliki oleh Bu Tina bisa untuk membeli rumah.
Yang tahu kode brankas cuma Bu Tina dan Pak Dayat. Bu Tina ngamuk sejadi-jadinya ke Pak Dayat begitu ia terbangun dari pingsannya.
“Bapakkkk.. Sudah ngaku saja, Pak… Njenengan yang ambil emas-emas saya ya? Biar njenengan bisa nikah lagi dengan janda muda. Iya to, Pak? Sudah ngaku aja,”
“Oalah Bu, kita sudah mau tiga puluh tahun nikah masak begitu. Kalau saya mau yasudah saya tinggalkan sampeyan dari dulu,” Pak Dayat yang biasanya sabar nampak tersulut emosinya.
“Lagipula, Bu.. Mbokya mikir.. Mau buat apa aku ambil perhiasan emas? Toh hasil dagang cabaiku saja turah-turah, Bu. Tiap musim panen juga bisa kebeli Pajero baru. Bukannya sombong ini lho Bu tapi sampeyan yang mulai,”
Bu Tina terdiam. Ia mulai bangkit dari ranjangnya dan memegang lagi brankas perhiasan kesayangannya. Diputari brankas itu dengan tatapan tak percaya. Diketuk-ketuk rangka besi yang kokoh itu. Setiap hari ia pasti membuka brankas itu untuk memandangi emas-emas kesayangannya.
“Saya tahu, sebulan yang lalu brankas kita kan rusak. Sensor kodenya tidak terbaca. Mungkin tukang reparasi berkas kemarin tahu jawabannya,” Bu Tina berteriak setelah cukup lama berpikir, “Aha!”
Bu Tina buru-buru menarik tangan Pak Dayat. Kali ini bahkan ia tak merasa membutuhkan bantuan supir. Pak Dayat menyetir mengikuti arahan Bu Tina.
Ke pasar kabupaten. Beberapa waktu sebelumnya, Bu Tina menggunakan jasa perbaikan brankas dari tukang brankas di pasar.
Nihil. Sudah satu jam lebih Bu Tina memutasi pasar, tidak ditemukan orang yang dicarinya. Pedagang-pedagang yang ditemuinya tak ada yang tahu sosok seperti yang digambarkan oleh Bu Tina.
“Oalah, Bu. Kamu teledor juga pakai jasa sembarangan. Kenapa nggak pake jasa Yanto anak buah saya aja?” Pak Dayat mulai mengomel.
“Ya, waktu itu kan Yanto lagi repot ngurusin kematian ayahnya. Sementara saya kudu segera masukin emas baru,” Bu Tina mencoba membela diri.
Bu Tina menyerah. Mereka akhirnya pulang ke rumah dengan tangan hampa.
**
Pak Dayat bersikeras untuk melaporkan kejadian tersebut kepada polisi agar diusut. Namun, Bu Tina ngotot tidak mau. Ia trauma dulu pernah memiliki pengalaman yang tidak mengenakkan dengan polisi. Berkasnya tidak diproses padahal ia sudah memberi pelicin kepada salah seorang polisi berpangkat lumayan dalam jumlah besar.
“Kayak ndak tau aja to Pak. Ilang ayam jadi ilang wedhus (kambing) Pak kalau lapor polisi. Sudah ndak percaya saya sama polisi,”
“Terus gimana cara sampeyan nyari to Bu?” Pak Dayat nampak mulai mangkel dengan istrinya.
Tiba-tiba Bu Tina manggut-manggut. Dia sudah ada ide.
“Ayo Pak, keluar lagi kita,” Bu Tina menyeret tangan Pak Dayat hingga ke samping mobil.
Selalu, Pak Dayat tak berdaya di depan istrinya.
**
Bu Tina sibuk menavigasi arah sembari mengamati Google Maps di gawai terbarunya. Satu kilometer lagi, kita belok kanan ya Pak. Sudah hampir dari dua jam mereka berkendara keluar rumah.
Mereka menuju sebuah desa yang terletak ke arah timur dari Kabupaten Sragen. Tujuan mereka adalah sebuah rumah joglo besar dengan halaman yang luas. Letaknya ada di tengah hutan, tak ada rumah lain di kiri kanan rumah tersebut.
Seorang laki-laki tua dengan jenggot yang lebat berdiri di depan rumah begitu Land Cruiser Pak Dayat berhenti. Ia merentangkan tangannya menyambut kedatangan kedua tamu yang meski tak diundang tetapi telah ia perkirakan.
“Sugeng rawuh Pak Dayat, Bu Tina,”
Bu Tina bergidik. Bagaimana lelaki ini sudah bisa tahu namanya padahal mereka belum pernah bertemu. Ohya, makanya ia disebut orang pinter ya, Bu Tina menepok jidatnya.
Ia pun menarik tangan Pak Dayat seketika dipersilakan masuk rumah. Aroma dupa yang kuat menyambut mereka.
1 Comment. Leave new
Wkwkwkkw
ada” aja..