“Jadi begini, Mbah Darto.. Ehem..” Bu Tina mulai membuka percakapan.
Lelaki tua yang dipanggil Mbah Darto itu hanya terdiam. Lima menit, sepuluh menit. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Sikut Bu Tina menyenggol perut Pak Dayat yang nampak tak terpengaruh sedikit pun. Pak Dayat hanya memberi isyarat telunjuk menyuruh Bu Tina diam.
Bu Tina nampak tak sabar tetapi ia menahan diri untuk bersuara. Takut juga rupanya ia dengan orang pintar. Ia mengedarkan pandangan matanya dan bergidik. Di ruangan temaram ini tergantung kepala harimau di ujung sebelah kanan. Di sebelah kiri ruangan tampak kotak kaca cukup besar berisi aneka hewan yang diawetkan seperti ular kobra dan kelelawar.
Di bawah kepala harimau, ada satu piring berisi beraneka sesaji seperti pisang, kelapa, dan juga bunga tujuh warna.
Sudah setengah jam berlalu dan mbah Darto tak jua mengeluarkan suara. Ia duduk bersila di depan Bu Tina dan Pak Dayat sambil mengatupkan mata. Mulutnya komat kamit merapal mantra.
“Air…. Air….. “ mbah Darto tiba-tiba berteriak, matanya terbelalak. Telunjuk kanannya menunjuk sebuah kendi yang berada tak jauh dari Bu Tina. Bergegas Bu Tina mengambilkan kendi dan menyerahkannya kepada Mbah Darto.
Mbah Darto mengeluarkan tiga helai daun dari dalam kendi. Lalu, ia memercikkan air dari daun ke wajah Bu Tina.
“Hayongyong Paseet Mawengweng….” Mbah Darto merapal.
“Njenengan Surtina Kamidi, nggih?” Mbah Darto menyebut nama lengkap Bu Tina.
Bu Tina mengangguk.
“Jadi, apa yang hilang dan bagaimana kronologisnya? Saya tahu banyak hal tetapi saya ingin dengar langsung versi Njenengan,” Mbah Darto terkekeh, gigi kuningnya yang berkerak hitam nampak menyeramkan.
Bu Tina menjelaskan panjang lebar. Tentang kronologis ketika ia pertama kali mengetahui emasnya raib dan isi brankas emasnya. Ia juga menyebutkan bahwa ia sudah memeriksa seluruh penjuru rumah beserta sebelas orang yang ada di rumahnya tetapi tak ada yang mencurigakan.
“Hmm. Weton lahir Njenengan apa ya, Bu?” Weton adalah perhitungan primbon Jawa.
“Sabtu Pahing, Mbah,” Bu Tina menjawab pelan.
“Oya pantes. Sial sial. Nasibnya apes, terlebih urusan keuangan. Orang yang lahir Sabtu Pahing itu memang perlu diruwat untuk buang sial,”
“Tapi, kami ini orang paling kaya di desa lho, Mbah. Jangan salah. Suami saya menguasai perdagangan cabai dan saya juga minjem-minjemin uang ke warga,”
Mbah Darto menggeleng. “Bukan, bukan itu . Intinya, pasti ada kesialan besar yang dialami oleh orang dengan weton Sabtu Pahing,”
“Jadi, siapa pelakunya, Mbah?” sergah Bu Tina segera.
“Eladalah, kok ndak sabar,” Mbah Darto terkekeh lagi sebelum tangannya membentuk isyarat meminta uang.
Bu Tina segera paham. Ia mengangsurkan sebuah amplop tebal dan meletakkannya di depan Mbah Darto.
“Saya ndak pernah ngasi tarif lho ya tapi kalau dikasi rejeki gini ya ndak nolak to,” Mbah Darto tertawa terbahak-bahak, tangannya depan cepat menarik amplop di depannya lalu memasukkannya ke saku baju.
“Saya ndak bisa kasih nama. Tapi saya bisa kasih petunjuk. Pelakunya seorang laki-laki berambut keriting dan berkulit legam,”
“Hah,” Bu Tina melongo. “Itu aja Mbah? Ada lagi ndak?”
Mbah Darto menggeleng. “Sudah ya, saya mau persiapan semedi dulu,” Ia beranjak dari duduknya dan menuju pintu depan, membukanya.
“Lima menit ndak keluar, hewan peliharaan saya yang aneh-aneh bakal keluar,”
Bu Tina menarik lengan Pak Darto dan buru-buru pergi dari rumah tua itu. Di mobil, Bu Tina bersungut-sungut.
“Ealah, gitu doang. Mana aku kasih tiga juta lagi. Huft rugi…”
“Ya gimana to Bu. Sampeyan sendiri yang maksa ndak mau lapor polisi. Malah sekarang percaya orang yang ndak jelas. Kamu tahu darimana to Bune?” Baru kali ini Pak Dayat agak banyak bersuara.
“Ya gimana ya Pak. Aku tadi buka Instagram lihat testimoninya bagus. Eh ternyata kok gini doang”
“Oalah Bu, Bu. Aku ini kuper, ndak gaul-gaul amat. Tapi aku tahu ada yang namanya endorse, Bu. Mbok ya jangan gampang percaya,”
Bu Tina mengangkat bahu. Gimana lagi sudah terlanjur. Sepanjang perjalanan pulang ia memikirkan kira-kira siapa laki-laki berambut keriting dan berkulit legam, kan ya pasaran ciri lelaki Jawa seperti itu.
“Aku tahu.. Aku tahu, Pak. Laki-laki yang mbenerin brankas kita itu berambut keriting dan berkulit legam. Cocok dengan ciri yang disebutin Mbah Darto.
“Jangan-jangan Pak.. Jangan-jangan. DIA PELAKUNYA!”
Bu Tina tersenyum penuh kemenangan. Ia sangat yakin dengan jawabannya.
1 Comment. Leave new
Itu dibohongi apa gak sih??
wkkwkwkw