Sama seperti orang lain, kami sangat ingin memiliki rumah. Namun, keinginan kami memiliki rumah tidak lebih besar dibanding keinginan kami untuk tidak memiliki utang, terutama utang bank. Bagi kami, salah satu definisi ketenangan hidup adalah bebas dari utang.
Namun, memiliki rumah di Jakarta tanpa berutang dan tanpa dukungan finansial orang tua bagai api jauh dari panggang. Apalagi, kondisi kami berdua yang ‘hanya’ sama-sama PNS, meski PNS Kementerian Keuangan yang katanya Kemensultan.
Teman-teman yang saya kenal baik pun bisa membeli rumah dengan cara mencicil dengan bantuan orang tuanya untuk membayar uang muka. Ada yang diberi pinjaman atau hadiah uang ratusan juta. Hanya satu orang yang saya kenal yang benar-benar mencicil rumah di kota sekitar Jakarta tanpa bantuan siapa-siapa, itu pun setelah lebih dari 7 tahun bekerja.
Yang bisa kami lakukan adalah menggigit erat kesabaran dan berupaya memperbesar kran pendapatan.
Sama seperti teman sejawat lain, kami sangat ingin tinggal di luar negeri. Kata orang, ada beasiswa yang peluangnya sangat besar. Namun, kami kurang sreg karena sumber dana beasiswa itu berasal dari hasil pengelolaan dana alias bunga. Tertulis jelas pada situsnya.
Yang kami lakukan adalah mencari beasiswa lain yang tidak bersumber dari pengelolaan dana. Meski seleksinya konon lebih susah dan lebih sedikit jatah.
Sama seperti ibu-ibu lain, saya sangat menggemari diskon. Dulu, saya segera top up dompet digital sebelum check out barang agar bisa memperoleh gratis ongkir yang hanya dapat diperoleh dengan pembayaran menggunakan dompet digital tertentu. Namun kemudian, saya membaca sebuah artikel yang menyebutkan jika tambahan fasilitas yang didapatkan hanya jika mengisi dompet digital maka hal tersebut termasuk riba. Akhirnya, saya pun beralih mencari diskon atau cashback yang tidak mensyaratkan penggunaan dompet digital.
Jika saya menggunakan dompet digital itu untuk kemudahan pembayaran (misalnya agar cepat dan takut jika tak ada kembalian ketika menggunakan jasa sewa mobil online), saya memilih tidak menggunakan diskon yang terpasang yang diperoleh lantaran penggunaan dompet digital itu.
Sama seperti bloger lain, saya ngiler dengan hadiah lomba blog berjuta-juta. Namun, saya membatasi diri tidak mengikuti segala lomba yang terkait produk keuangan berbau paylater berapa pun nominal hadiahnya. Saya tak ingin turut mempromosikan produk yang menurut saya mengandung riba.
Sama seperti investor lain, saya juga senang bila memegang saham dan memperoleh cuan. Namun, saya membatasi diri memilih saham yang masuk golongan syariah di tengah godaan cuan saham perbankan. Teman dekat saya bercerita memperoleh cuan 200 juta selama dua tahun pandemi, sebagian besar diperoleh dari saham perbankan.
Hidup adalah sekumpulan pilihan dan sebisa mungkin saya memilih menghindari hal-hal yang sekiranya mendekatkan diri dengan riba. Meski tak sempurna dan pasti ada saja kurangnya, saya teringat kaidah fikih yang dulu pernah saya pelajari, “Wajib melakukan yang diperintahkan seluruhnya. Jika mampu melakukan sebagiannya dan sebagiannya tidak mampu, yang mampu tersebut tetap dikerjakan.”
Sebisa mungkin saya mencoba menghindari hal-hal yang sependek pemahaman saya terkait riba, meski saya yakin nggak bisa berlepas diri darinya seluruhnya. Mastatho’tum. Semampu kalian.
Dunia ibarat penjara bagi kaum beriman, begitu kata sebuah hadits. Bagi saya yang belum alim-alim banget ini, ujian dunia seperti yang saya sebutkan di atas rasanya sudah cukup berat. Saya membayangkan bagaimana orang alim berupaya menahan hawa nafsunya, pasti lebih berat lagi godaan yang mereka hadapi.
Namun, saya yakin Allah akan kasih rezeki, dari jalan yang tak disangka-sangka. Misalnya, saat saya sedang hamil besar, saya berdoa biar bisa lahiran nggak memakai uang tabungan. Saya minta ke Allah rejeki nomplok. Alhamdulillah, suami dapat hadiah 25 juta rupiah hasil memenangkan lomba logo sebuah BUMN, menyisihkan sekitar 1.600 karya peserta lainnya.
Saya hanya mencoba mengerjakan apa-apa yang mampu saya lakukan. Meski, hal itu nggak gampang. Misal, perihal membeli rumah. Beberapa orang bilang nggak mungkin bisa beli jika nggak mencicil. Nggak apa-apa. Saya percaya suatu hari nanti ada rejeki kami untuk memiliki rumah tanpa harus berutang bank.
Meski ada saja yang mencibir. Saya pun nggak berusaha menjelaskan ke semua orang. Ketika ada yang bertanya kok kamu belum beli rumah padahal sudah menikah, saya cukup menjawab bahwa kami sedang menabung.
Orang bilang, “If you don’t stand for something, you will fall for anything,”. Pegang prinsipmu, genggam erat keyakinanmu.
Semoga kami istiqomah di jalan yang kami pilih, jalan kami menghindari riba.
**
Disclaimer : hal-hal yang saya ungkapkan di atas hanyalah apa yang saya terapkan untuk diri saya sendiri. Apabila ada yang tidak sependapat dan berpandangan bahwa hal tertentu bukan termasuk riba, tidak masalah. Kita boleh memiliki keyakinan dan pandangan masing-masing. Setuju?
6 Comments. Leave new
waaah, ada teman yang samaan males top up hanya karna ngejar freeong. Cuma kalau saya alasannya, uangnya di dompet digital yang satunya. jadi belanjanya ya pakai itu aja, riweuh mindah sana sini-uang segitu-gitu nya.
yeay, pilih saham syariah juga-meski pelan”. ssst lagi belajar p2p syariah, juga 🙂 salam kenal
Hihi toss. Salam kenal kak
Asli deh harusbtahan cibiran. Kalo ngejelasin dikira sok suci. Ga ngejelasin kadang gereget jg. Tapi yah lebih baik menghindari perdebatan.
Semangat ya ka semoga istiqomah
Aamiin semoga istiqomah
Semoga Istiqomah mon, doakan juga orang² yang ingin menghindari riba biar juga dapat mempertahankan prinsipnya
Bismillah. Semoga kita selalu dijauhkan dari riba. Aamiin.