Ketika gaji saya X juta, saya merasa bakal lebih bahagia jika memiliki gaji X+2 juta. Ketika gaji saya menyentuh angka X+2 juta, saya merasa bakal lebih bahagia bila memiliki gaji X+4. Namun ternyata, setelah gaji saya X+4, saya merasa biasa saja. Nggak merasa lebih bahagia.
Rasanya sama saja. Kebahagiaan yang saya rasakan sama saja.
Manusia cenderung lebih bahagia jika mampu menambah, bukan sebaliknya. Merasa (lebih) bahagia jika sudah memiliki tambahan tabungan, anak, atau sebagainya.
Buktinya, resolusi tahun baru adalah tentang target untuk menambah segala sesuatu. Memiliki rumah baru, mobil baru, dan sebagainya.
Bagaimana jika, alih-alih menambah, kita memiliki target untuk mengurangi?
Mengurangi interaksi dengan orang-orang toxic di sekitar kita demi hidup yang lebih damai.
Mengurangi begadang demi metabolisme tubuh yang lebih lancar.
Mengurangi scrolling media sosial demi hidup yang lebih produktif.
Dalam buku berjudul “Substract” yang ditulis oleh Leidy Klotz pada tahun 2021, penulis memberikan gagasan bahwa kita sebaiknya “melakukan pengurangan” untuk membuat perubahan yang lebih baik. Namun, “mengurangi” itu secara mental jauh lebih susah dibandingkan dengan “menambah”.
Mengapa?
Karena menambah sesuatu membuat manusia merasa lebih kompeten dan lebih bahagia. Misalnya, tambahan tabungan atau tambahan penghasilan.
Namun, sampai kapan? Sampai mana?
Ibarat meminum air laut yang semakin diminum akan membuat semakin haus, begitulah kira-kira hasrat menambah sesuatu. Nggak akan ada habisnya karena menambah sesuatu untuk dimiliki untuk bersifat tak terbatas.
Saya jadi ingat perkataan Jaya Setiabudi. Definisikan rasa cukupmu agar bertambah syukurmu.
Sebuah perkataan yang menurut saya sangat powerful. Yang bikin saya membuat standar demi standar dalam hidup untuk merasa cukup.
Misal, tabungan. Saya menentukan standar tabungan yang cukup. Oleh karena itu, ketika standar tersebut terlampaui, saya semakin bersyukur. Bayangkan kalau saya nggak menetapkan standar cukup, pikiran saya akan bagaimana menambah dan menambah tabungan. Nggak ada habisnya.
Merasa cukup itu memang nggak mudah dan harus dilatih.
Cara Melatih Rasa Cukup
Rasa cukup merupakan sebuah perasaan yang harus kita olah, nggak datang dengan sendirinya. Kenapa? Karena kita, manusia, berhadapan dengan insatiable wants alias keinginan yang tidak dapat terpuaskan.
Pertama, membuat jurnal syukur
Salah satu cara melatih rasa syukur adalah membuat jurnal syukur setiap hari. Menuliskan hal sekecil apapun hal yang kita syukuri di hari itu.
Percayalah, rasa syukur akan menambah rasa cukup. Seperti halnya rasa cukup menambah rasa syukur.
Dulu saya pernah rutin menulis jurnal syukur selama dua puluh delapan hari. Efeknya, saya merasa contented dengan diri saya dan tak lama kemudian saya bertemu dengan jodoh. Bisa jadi sebuah kebetulan atau bisa jadi wujud janji Allah bahwa jika manusia bersyukur maka akan ditambah nikmat-Nya.
Sekarang, saya masih rutin membuat jurnal syukur, meski tidak setiap hari. Hal sekecil apapun saya tulis dalam jurnal syukur. Formatnya mencontek dari buku The Secret, ”I am so grateful that today….. because….” “Alhamdulillah hari ini…… karena…”
Contoh di jurnal yang saya tulis, “Alhamdulillah hari ini suami masak opor dan goreng ati.. aku senang karena aku nggak masak..” “Alhamdulillah Rafandra bobok cepet malam ini jadi aku bisa nulis,”
Menuliskan hal-hal sekecil apapun yang bisa disyukuri menguatkan positive vibes dalam diri.
Kedua, berhenti membandingkan
Kata orang, comparison is the thief of happiness. Membandingkan itu mencuri kebahagiaan. Dulu, saya merasa menjadi orang yang menderita.
Kalau kita dikasih satu potong kue coklat dari bos, kita senang. Namun, rasa senang itu bisa mendadak hilang ketika tahu kalau staf lain mendapatkan dua potong kue. Kenapa saya hanya satu?
Ketika saya berumur 28 tahun, saya belum menikah sementara ada teman satu angkatan yang sudah punya anak tiga. Saya pun curhat ke seorang sahabat.
Ia merespon, “Nikmati masa single-mu, Mon. Nanti ketika menikah akan banyak hal yang berubah,”
Oh, begitu ya?
Jadi, ketika saya mulai merasa iri dengan nikmat yang diterima orang lain, saya pun berpikir kalau masing-masing orang memiliki nikmat dan ujian tersendiri. Belum tentu saya mampu kalau berada di posisi dia.
Misalnya, ketika saya melihat teman saya kuliah di luar negeri. Terbersit rasa iri tapi buru-buru saya tepis. Pasti dia berjuang keras untuk bisa berada di posisi itu. Belum lagi ada beberapa teman perempuan yang memilih berpisah dengan suami dan anaknya untuk sementara waktu demi melanjutkan studi. Sesuatu yang tidak sanggup saya lakukan.
Memiliki rasa iri itu manusiawi. Namun, yang paling penting adalah bagaimana mengelola rasa iri itu agar nggak berkelanjutan. Cepat-cepat dihalau.
Kalau saya, berusaha fokus akan nikmat Allah yang dikaruniakan pada saya. Countless.
I just try to compare myself with my previous self.
Salah satu caranya adalah mengurangi melihat postingan media sosial orang, terutama Instagram. Nggak ada yang salah dengan postingan orang tetapi menjaga hati itu tugas diri, kan?
Remember, you are enough.
Ketiga, be mindful
Memiliki sikap mindful artinya memiliki kesadaran diri atas apa yang terjadi saat ini. Fokus dengan masa sekarang, bukan masa lalu dan bukan masa depan.
Perbuatan dilakukan dengan mindful. Misalnya, berbelanja dengan mindful. Nggak impulsif alias asal beli saja tetapi mempertimbangkan kegunaan barang yang dibeli.
Kalau melihat barang bagus di marketplace, saya nunggu seminggu-dua minggu kadang sebulan sebelum membeli. Kemudian saya pertimbangkan lagi setelah sekian lama, nggak langsung beli.
Ketika kita bisa bersikap mindful, kita akan menyadari bahwa apa yang kita miliki saat ini cukup.
Saya tertampar ketika membaca hadits ini,
Barangsiapa di antara kalian yang memasuki waktu pagi hari dalam keadaan aman pada dirinya, sehat jasmaninya dan dia memiliki makanan pada hari itu, maka seolah oleh dia diberi dunia dengan berbagai kenikmatannya.
(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 300 dan at-Tirmidzi dalam as-Sunan no. 2346 dan beliau berkata:“Hadits hasan gharib.”)
Artinya, nggak butuh macam-macam untuk bersyukur. Apa yang kita miliki saat ini sudah cukup.
Tentu, saya masih menyimpan keinginan memiliki rumah sendiri. Namun, saya harus mensyukuri kondisi saat ini berupa rumah kontrakan yang nyaman.
Pada akhirnya, merasa cukup adalah sebuah seni menjalani kehidupan. Sebuah ketrampilan yang harus dilatih. Seperti yang saya baca dalam buku berjudul “How Much is Enough?”, kehidupan modern membuat manusia kehilangan sense atas rasa cukup sebagai imbas dari kapitalisme yang tumbuh subur.
Akibatnya, manusia modern memiliki kecenderungan menginginkan lebih. Craving for more and more.
Solusinya, lihatlah kekayaan sebagai alat untuk memperoleh sesuatu, bukan sebagai tujuan akhir. Kenapa? Karena apabila kita menjadikan kekayaan sebagai tujuan akhir, akan selalu ada orang yang lebih kaya dan lebih segalanya.
So, tentukan rasa cukupmu, agar bertambah syukurmu. Bisa? Yuk sama-sama kita latih rasa cukup, setiap harinya.
*
Photo by Gabrielle Henderson on Unsplash
6 Comments. Leave new
1st of all, semoga konentarnya kali ini nggak masuk spam hahahaha… .
Menarik sekali tulisanmu ini mbak, terutama di bagian comparison is the thief of happiness. Benar memang, kita mudah banget berubah dari bahagia jadi tidak bahagia sesaat setelah melihat orang lain lebih ‘shiny’ daripada kita. Padahal di mata orang lain, kita juga lebih ‘shiny’ dari mereka.
Akhirnya kita jadi merasa insecure dengan diri kita sendiri yang sebenarnya sudah cukup. Bukan begitu Mbak?
Bener banget mas Prim.. Hidup ini sawang sinawang kalau kata orang Jawa
Setuju dengan poin bersyukur. Gimana kita bisa merasa cukup kalo gak bersyukur. Makasih sudah berbagi mba
Bener banget mas, sy belajar banget dr pengalaman huhu
Seni merasa cukup salah satunya dengan mengurangi, bukan menambah. Dan kurasa bagian yang tersulit adalah berhenti membandingkan pencapaian diri dengan pencapaian orang lain hehehe.
Terima kasih buat insight-nya Mbak.
Betul mba, yuk sama-sama berusaha lebih baik lagi… Makasi ya mba Sarah dah mampir