Jawaban dari pertanyaan “Apa yang membuatmu sedih hari ini?” di Quora membuat saya terhenyak. Ada seorang perempuan menjawab bahwa ia sedih karena menggugurkan kandungan berusia 12 minggu. Ia menuliskan bahwa ia melakukannya karena seorang laki-laki memintanya lantaran ibu sang laki-laki sedang sakit.
Saya tak hendak menghakimi perbuatan yang dilakukan sang perempuan hingga menyebabkan adanya janin.
Namun, saya lebih mencermati alasan sang perempuan.. karena lelaki.. karena ibu sang lelaki sakit…
Seolah-olah perempuan itu sama sekali tidak memiliki akal dan nurani. Tidak memiliki pilihan. Padahal janin itu berada pada janin sang perempuan. Ia bisa memilih untuk meneruskan atau menggugurkan kandungannya.
Dalam hidup saya banyak mengalami kejadian yang menyadarkan bahwa tidak semua orang paham atau mau menerima konsekuensi dari perbuatannya. Segala konsekuensi dari pilihannya seolah-olah merupakan hasil perbuatan orang lain.
Jika ia salah, maka itu karena ada hal di luar kuasanya. Ada akibat dari perbuatan orang lain.
Begini misalnya. Suatu hari saya janjian ketemu dengan seorang teman (perempuan) di sebuah mal pada pukul lima sore. Tebak jam berapa ia datang? Jam setengah 6? Jam 6? Nggak, dia datang jam 7 lewat 15 menit.
Apakah dia merasa bersalah? Nggak.
Alasannya macam-macam. Mulai dari ia menunggu lama gojek, gojeknya sempat salah jalan lah, hingga ia mengeluarkan pernyataan kalau,
“Masih mending ya gue dateng. Lw tau nggak? Gue tuh dibesarin sama bokap yang kalau dia janjian di suatu tempat, dia nggak dateng dan nggak ngabarin. Masih mending gue yang punya bokap begitu nggak ngelakuin hal yang sama,”
Di situ saya merasa speechless. Well, jadi dia menganggap perbuatan kurang baik yang dilakukannya di masa sekarang lantaran andil dari peristiwa masa lalu yang dialaminya. Saya pun memilih diam, percuma mendebat orang seperti itu.
Akibat senantiasa mencari dalih dari perbuatannya, seseorang akan cenderung menghindari tanggung jawab. Bagaimana ia menerima tanggung jawab sementara ia tidak merasa bahwa itu adalah konsekuensi dari perbuatannya.
Contohnya seperti kasus perempuan yang merasa bahwa ia terpaksa menggugurkan kandungan karena orang lain.
Orang zaman dulu seringkali menyalahkan faktor eksternal untuk menenangkan sang anak. Saya melihat tante pura-pura memukul meja ketika anaknya terkena siku meja. “Ah, mejanya nakal.”
Mengapa ia tidak mengajari anak untuk lebih berhati-hati berjalan dan malah menyalahkan benda mati?
Nampaknya sepele. Namun, hidup dengan menerima tanggung jawab itu tidak dilakukan semua orang. Ada saja yang disalahkannya, entah orang lain atau kondisi. Yang membuatnya kemudian melepas tanggung jawab dan tidak mau menerima konsekuensi perbuatannya.
Memang, buah dari pola pengasuhan tidak dapat diabaikan. Namun, sebagai manusia dewasa yang dikaruniai akal dan hati, kita memilih perbuatan yang kita lakukan.
Hiduplah dengan menerima tanggung jawab.