Beberapa waktu lalu, ramai diberitakan mengenai catatan yang
diunggah pada akun Facebook salah seorang pelajar SMA yang baru saja mengikuti
Ujian Nasional. Nurmillaty Abadiah, pelajar SMA Khadijah Surabaya menantang
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh dalam catatan tertanggal 18
April 2014 lalu, “Saya tantang Bapak
untuk duduk dan mengerjakan soal Matematika yang kami dapat di UNAS kemarin
selama dua jam tanpa melihat buku maupun internet. Jika Bapak bisa menjawab
benar lima puluh persen saja, Bapak saya akui pantas menjadi Menteri.”
diunggah pada akun Facebook salah seorang pelajar SMA yang baru saja mengikuti
Ujian Nasional. Nurmillaty Abadiah, pelajar SMA Khadijah Surabaya menantang
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh dalam catatan tertanggal 18
April 2014 lalu, “Saya tantang Bapak
untuk duduk dan mengerjakan soal Matematika yang kami dapat di UNAS kemarin
selama dua jam tanpa melihat buku maupun internet. Jika Bapak bisa menjawab
benar lima puluh persen saja, Bapak saya akui pantas menjadi Menteri.”
Dalam catatannya, perempuan berjilbab menyoroti mengenai
kecurangan yang ada dalam pelaksanaan UNAS, soal UNAS yang memiliki tipe soal hingga
dua puluh buah hingga soal yang tak sesuai dengan SKL serta soal yang memiliki
tingkat kesulitan yang disebutnya belum pernah disosialisasikan ke siswa. Ia
memungkasinya,
kecurangan yang ada dalam pelaksanaan UNAS, soal UNAS yang memiliki tipe soal hingga
dua puluh buah hingga soal yang tak sesuai dengan SKL serta soal yang memiliki
tingkat kesulitan yang disebutnya belum pernah disosialisasikan ke siswa. Ia
memungkasinya,
“Pada akhirnya, Pak,
izinkan saya untuk mengatakan, bahwa apa yang sudah Bapak lakukan sejauh ini
tentang UNAS justru hanya membuat kecurangan semakin merebak. Bapak dan
orang-orang dewasa lainnya sering mengatakan bahwa kami adalah remaja yang
masih labil. Masih dalam proses pencarian jati diri. Sering bertingkah tidak
tahu diri, melanggar norma, dan berbuat onar. Tapi tahukah, ketika seharusnya
Bapak selaku orangtua kami memberikan kami petunjuk ke jalan yang baik, apa
yang Bapak lakukan dengan UNAS selama tiga hari ini justru mengarahkan kami
kepada jati diri yang buruk. Tingkat kesulitan yang belum pernah disosialisasikan
ke siswa, joki yang tidak pernah diusut sampai tuntas letak kebocorannya, paket
soal yang belum jelas kesamarataan bobotnya, semua itu justru mengarahkan kami,
para siswa, untuk mengambil jalan pintas. Sekolah pun ditekan oleh target lulus
seratus persen, sehingga mereka diam menghadapi fenomena itu alih-alih
menentang keras. Para pendidik terdiam ketika seharusnya mereka berteriak
lantang menentang dusta. Kalau perlu, sekalian jalin kesepakatan dengan sekolah
lain yang kebetulan menjadi pengawas, agar anak didiknya tidak dipersulit.”
izinkan saya untuk mengatakan, bahwa apa yang sudah Bapak lakukan sejauh ini
tentang UNAS justru hanya membuat kecurangan semakin merebak. Bapak dan
orang-orang dewasa lainnya sering mengatakan bahwa kami adalah remaja yang
masih labil. Masih dalam proses pencarian jati diri. Sering bertingkah tidak
tahu diri, melanggar norma, dan berbuat onar. Tapi tahukah, ketika seharusnya
Bapak selaku orangtua kami memberikan kami petunjuk ke jalan yang baik, apa
yang Bapak lakukan dengan UNAS selama tiga hari ini justru mengarahkan kami
kepada jati diri yang buruk. Tingkat kesulitan yang belum pernah disosialisasikan
ke siswa, joki yang tidak pernah diusut sampai tuntas letak kebocorannya, paket
soal yang belum jelas kesamarataan bobotnya, semua itu justru mengarahkan kami,
para siswa, untuk mengambil jalan pintas. Sekolah pun ditekan oleh target lulus
seratus persen, sehingga mereka diam menghadapi fenomena itu alih-alih
menentang keras. Para pendidik terdiam ketika seharusnya mereka berteriak
lantang menentang dusta. Kalau perlu, sekalian jalin kesepakatan dengan sekolah
lain yang kebetulan menjadi pengawas, agar anak didiknya tidak dipersulit.”
“Kami
yang berusaha jujur masih belum tahu
bagaimana nasib nilai UNAS kami, Pak. Tapi barangkali hal itu terlalu remeh
jika dibandingkan dengan urusan Bapak Menteri yang bejibun dan jauh lebih
berbobot. Maka permintaan saya mewakili teman-teman pelajar cuma satu; tolong,
perbaikilah UNAS, perbaikilah sistem pendidikan di negeri ini, dan kembalikan
sekolah yang kami kenal. Sekolah yang
mengajarkan pada kami bahwa kejujuran itu adalah segalanya. Sekolah yang
tidak akan diam saat melihat kadernya melakukan tindak kecurangan. Kami mulai
kehilangan arah, Pak. Kami mulai tidak tahu kepada siapa lagi kami harus percaya.
Kepada siapa lagi kami harus mencari kejujuran, ketika lembaga yang
mengajarkannya justru diam membisu ketika saat untuk mengamalkannya tiba…”
yang berusaha jujur masih belum tahu
bagaimana nasib nilai UNAS kami, Pak. Tapi barangkali hal itu terlalu remeh
jika dibandingkan dengan urusan Bapak Menteri yang bejibun dan jauh lebih
berbobot. Maka permintaan saya mewakili teman-teman pelajar cuma satu; tolong,
perbaikilah UNAS, perbaikilah sistem pendidikan di negeri ini, dan kembalikan
sekolah yang kami kenal. Sekolah yang
mengajarkan pada kami bahwa kejujuran itu adalah segalanya. Sekolah yang
tidak akan diam saat melihat kadernya melakukan tindak kecurangan. Kami mulai
kehilangan arah, Pak. Kami mulai tidak tahu kepada siapa lagi kami harus percaya.
Kepada siapa lagi kami harus mencari kejujuran, ketika lembaga yang
mengajarkannya justru diam membisu ketika saat untuk mengamalkannya tiba…”
Izinkan saya mencetak tebal kata kejujuran,
sesuatu yang ia resahkan. Tatkala dibenturkan antara mengerjakan dengan
kejujuran, soal yang memiliki tingkat kesulitan tinggi, ia dan teman-temannya
yang berusaha begitu keras bisa jadi kalah dengan pihak yang mendapatkan ‘wangsit
jawaban’.
sesuatu yang ia resahkan. Tatkala dibenturkan antara mengerjakan dengan
kejujuran, soal yang memiliki tingkat kesulitan tinggi, ia dan teman-temannya
yang berusaha begitu keras bisa jadi kalah dengan pihak yang mendapatkan ‘wangsit
jawaban’.
Saya tak hendak membicarakan mengenai polemik
perlu tidaknya UNAS.
perlu tidaknya UNAS.
Ingatan saya melayang sekitar delapan tahun
yang lalu tatkala naik kelas dua belas. Seseorang yang hampir selalu
mendapatkan nilai ulangan matematika di bawah batas tuntas yang dipersyaratkan
begitu ketakutan di bawah ‘momok’ bernama Ujian Nasional. Jatuh bangun memahami
ilmu-ilmu matematika yang dahulunya tak diseriusi dalam belajar, mulai dari
bangun pagi, bersekolah, mengambil kelas bimbingan belajar, mengundang guru
privat, bahkan tak bisa tidur sebelum menemukan jawaban soal. Satu tahun untuk mengejar
ketertinggalan pemahaman selama dua tahun. Saya begitu takut sungguh kala itu.
yang lalu tatkala naik kelas dua belas. Seseorang yang hampir selalu
mendapatkan nilai ulangan matematika di bawah batas tuntas yang dipersyaratkan
begitu ketakutan di bawah ‘momok’ bernama Ujian Nasional. Jatuh bangun memahami
ilmu-ilmu matematika yang dahulunya tak diseriusi dalam belajar, mulai dari
bangun pagi, bersekolah, mengambil kelas bimbingan belajar, mengundang guru
privat, bahkan tak bisa tidur sebelum menemukan jawaban soal. Satu tahun untuk mengejar
ketertinggalan pemahaman selama dua tahun. Saya begitu takut sungguh kala itu.
Pada akhirnya, nilai UN Matematika saya
tercetak sempurna di ijazah. Satu, nol dan nol. Murni hasil kerja keras ‘berdarah-darah’,
tak ada yang hasil mencontek, tak ada yang hasil membeli jawaban joki.
tercetak sempurna di ijazah. Satu, nol dan nol. Murni hasil kerja keras ‘berdarah-darah’,
tak ada yang hasil mencontek, tak ada yang hasil membeli jawaban joki.
Bisa jadi saya lebih beruntung daripada
Nurmillaty. Soal UN Matematika yang saya hadapi tahun 2007 bisa dibilang ‘tidak
susah’. Jauh lebih susah soal tahun sebelumnya. Tanpa bermaksud sombong, saya
bisa mengkoreksi jawaban UN saya tatkala itu sebanyak dua kali karena waktu
masih bersisa banyak. Pun seingat saya, ada soal dimensi tiga yang bisa
diselesaikan hanya dengan satu buah rumus.
Nurmillaty. Soal UN Matematika yang saya hadapi tahun 2007 bisa dibilang ‘tidak
susah’. Jauh lebih susah soal tahun sebelumnya. Tanpa bermaksud sombong, saya
bisa mengkoreksi jawaban UN saya tatkala itu sebanyak dua kali karena waktu
masih bersisa banyak. Pun seingat saya, ada soal dimensi tiga yang bisa
diselesaikan hanya dengan satu buah rumus.
Namun, sedih untuk saya akui, saat SMA masih
zaman jahiliyah di mana belum sepenuhnya jujur dalam mengerjakan ulangan
(kecuali UN). Saya baru benar-benar jujur mengerjakan soal tatkala menuntut
ilmu di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Keras diperingatkan, “Sekali ketahuan mencontek, tanpa ampun
langsung kena DO,” Bisa jadi pada awalnya tak mau mencontek lagi karena takut
terkena DO jika ketahuan mencontek, terlalu sayang jika keberhasilan menembus
ratusan ribu pendaftar menjadi sia-sia. Tiga tahun menempuh
pendidikan Diploma-III di kampus tersebut merupakan kawah candradimuka yang
ampuh untuk menghapuskan keinginan mencontek dan membentuk mental yakin dengan
kemampuan diri serta berani bertanggung jawab atas usaha yang telah dilakukan. Ya, kejujuran itu mungkin pada awalnya harus dipaksakan.
zaman jahiliyah di mana belum sepenuhnya jujur dalam mengerjakan ulangan
(kecuali UN). Saya baru benar-benar jujur mengerjakan soal tatkala menuntut
ilmu di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Keras diperingatkan, “Sekali ketahuan mencontek, tanpa ampun
langsung kena DO,” Bisa jadi pada awalnya tak mau mencontek lagi karena takut
terkena DO jika ketahuan mencontek, terlalu sayang jika keberhasilan menembus
ratusan ribu pendaftar menjadi sia-sia. Tiga tahun menempuh
pendidikan Diploma-III di kampus tersebut merupakan kawah candradimuka yang
ampuh untuk menghapuskan keinginan mencontek dan membentuk mental yakin dengan
kemampuan diri serta berani bertanggung jawab atas usaha yang telah dilakukan. Ya, kejujuran itu mungkin pada awalnya harus dipaksakan.
Hingga akhirnya saya bekerja selama dua tahun
sebelum kemudian kembali menjadi mahasiswa D-IV pada kampus yang sama. Saya
terhenyak mendapati bahwa hafalan demi hafalan saat D-III seperti menguap entah
kemana. Beberapa pertanyaan dosen yang seharusnya mudah, membuat bingung dalam
menjawab. Nilai IPK yang tinggi saat D-III tak menjadi jaminan bahwa saya akan
ingat apa yang telah saya pelajari.
sebelum kemudian kembali menjadi mahasiswa D-IV pada kampus yang sama. Saya
terhenyak mendapati bahwa hafalan demi hafalan saat D-III seperti menguap entah
kemana. Beberapa pertanyaan dosen yang seharusnya mudah, membuat bingung dalam
menjawab. Nilai IPK yang tinggi saat D-III tak menjadi jaminan bahwa saya akan
ingat apa yang telah saya pelajari.
Jangan-jangan
saya belajar selama ini hanya demi mengejar nilai?
saya belajar selama ini hanya demi mengejar nilai?
Jangan-jangan, jatuh bangun saat hendak UN SMA
hanya untuk mendapatkan nilai Matematika bagus? Jangan-jangan, catatan demi
catatan serta susah payah memahami dan menghafal berbagai ilmu akuntansi dan
ekonomi hanya untuk mendapatkan IP tinggi?
hanya untuk mendapatkan nilai Matematika bagus? Jangan-jangan, catatan demi
catatan serta susah payah memahami dan menghafal berbagai ilmu akuntansi dan
ekonomi hanya untuk mendapatkan IP tinggi?
Apa yang
sesungguhnya saya cari?
sesungguhnya saya cari?
Mana tahu selama ini saya melupakan esensi dari
belajar itu sendiri, saya terlalu terpukau oleh target pengejaran hasil akhir,
sesuatu yang memang kasat mata. Innamal a’malu
binniyati, sesungguhnya perbuatan dinilai sesuai dengan niatnya. wa innama likulli ‘mri’in ma nawa, dan sesungguhnya
setiap orang mendapat sesuai dengan apa yang diniatkannya. Bisa jadi saya ‘hanya’
berhasil dapat nilai bagus dan IPK tinggi karena itu yang saya inginkan saat
itu, tetapi saya tak benar-benar paham. Bisa jadi nilai bagus itu bukan
merupakan indikasi akan kepandaian tetapi keridhoan Allah memberi nilai bagus
lantaran doa-doa munajat yang terpanjat oleh ibu menembus langit. Tak ada yang
tahu bukan apa yang membuat Allah ridho akan suatu hasil.
belajar itu sendiri, saya terlalu terpukau oleh target pengejaran hasil akhir,
sesuatu yang memang kasat mata. Innamal a’malu
binniyati, sesungguhnya perbuatan dinilai sesuai dengan niatnya. wa innama likulli ‘mri’in ma nawa, dan sesungguhnya
setiap orang mendapat sesuai dengan apa yang diniatkannya. Bisa jadi saya ‘hanya’
berhasil dapat nilai bagus dan IPK tinggi karena itu yang saya inginkan saat
itu, tetapi saya tak benar-benar paham. Bisa jadi nilai bagus itu bukan
merupakan indikasi akan kepandaian tetapi keridhoan Allah memberi nilai bagus
lantaran doa-doa munajat yang terpanjat oleh ibu menembus langit. Tak ada yang
tahu bukan apa yang membuat Allah ridho akan suatu hasil.
Jika hanya mengejar nilai, mungkin hanya itulah yang akan didapatkan…
Jika hanya mengejar nilai, segala cara dihalalkan…
Gambar diambil dari penelusuran internet |
Mati-matian sebagian orang
menghalalkan segala cara demi apa yang disebut dengan ‘nilai bagus’, mulai dari
mencontek teman hingga membeli jawaban dari joki. Mental ‘mendapatkan hasil
bagus bagaimana pun caranya’ bisa jadi kemudian akan berlanjut, ketika hendak
menjadi pegawai menyogok sana sini. Tak jarang kita jumpai dalam berita, ada
orang yang rela membayar ratusan juta demi menjadi pegawai negeri.
menghalalkan segala cara demi apa yang disebut dengan ‘nilai bagus’, mulai dari
mencontek teman hingga membeli jawaban dari joki. Mental ‘mendapatkan hasil
bagus bagaimana pun caranya’ bisa jadi kemudian akan berlanjut, ketika hendak
menjadi pegawai menyogok sana sini. Tak jarang kita jumpai dalam berita, ada
orang yang rela membayar ratusan juta demi menjadi pegawai negeri.
Semoga akan ada
Nurmillaty-Nurmillaty berikutnya, yang setengah mati menggenggam kejujuran di
tengah berbagai terpaan. Semoga seperti harapannya, kejujuran adalah segalanya,
termasuk direpresentasikan dalam seluruh aspek pendidikan di negeri ini.
Nurmillaty-Nurmillaty berikutnya, yang setengah mati menggenggam kejujuran di
tengah berbagai terpaan. Semoga seperti harapannya, kejujuran adalah segalanya,
termasuk direpresentasikan dalam seluruh aspek pendidikan di negeri ini.
Semoga pendidikan tak hanya
sekadar untuk mencari nilai yang tercetak di selembar ijazah, tetapi mampu
menghasilkan siswa-siswa yang menjunjung tinggi kejujuran dan merasai manisnya
proses pembelajaran.
sekadar untuk mencari nilai yang tercetak di selembar ijazah, tetapi mampu
menghasilkan siswa-siswa yang menjunjung tinggi kejujuran dan merasai manisnya
proses pembelajaran.
Selamat Hari Pendidikan
Nasional. Untuk semua siswa yang menggenggam kejujuran. Untuk semua guru yang
tak lelah mengajarkan. Pun teruntuk siswa usia sekolah yang masih belum mampu
mengenyam bangku sekolah lantaran beratnya kehidupan.
Nasional. Untuk semua siswa yang menggenggam kejujuran. Untuk semua guru yang
tak lelah mengajarkan. Pun teruntuk siswa usia sekolah yang masih belum mampu
mengenyam bangku sekolah lantaran beratnya kehidupan.
Selamat Hari Pendidikan Nasional.
—
Catatan lengkap Nurmillaty Abdullah dapat dibaca pada https://www.facebook.com/notes/nurmillaty-abadiah/dilematika-unas-saat-nilai-salah-berbicara/10152134575249926
6 Comments. Leave new
Wuah artikel kita mirip nih ttg pendidikan yg dilihat dari nilai. Moga cari ilmu tak semata mendapat nilai ya
Aamiin. Makasih kunjungannya mba 🙂
Sy merasakan apa yang Monik tulis. Sy termasuk mahasiswa yang mengejar nilai dulu. Sy bisa lulus 4 tahun lebih dgn IPK 3 koma sekian. Tapi habis itu saya gamang, selanjutnya apa yang mau saya lakukan?
Hiks betul betul… Smoga ilmu kita bermanfaat ya mba T.T
Saya banyak menyesal selama di sekolah maupun kuliah, jujur yang dipikirannya saya nilai bagus bukan dalamnya ilmu… benar-benar penyesalan yang mendalam
Saya juga menyesalinya Mas, semoga sesudahnya bisa lebih baik lagi. Makasih atas komentarnya ya