Dalam hidup, ada beberapa kalimat menyakitkan yang pernah saya dengar dan ditujukan untuk saya. Every word is forgiven, but not forgotten.
- Lantaran dianggap tidak cantik
Pertama, sekretaris kantor memanggil saya ke ruangannya karena saya dapat undangan pertemuan buzzer sebuah produk yang dikirimkan melalui fax. Saya sedang membaca undangannya ketika seorang rekan kantor lewat dan kepo.
Dia : “Apaan tuh?”
“Undangan kumpul buzzer,” jawab saya singkat
Dia : “Eh, lu buzzer? Kok bisa?”
“Ya bisa-bisa aja, kenapa enggak?”
Dia : “Lu kan nggak cantik, buzzer kan cantik-cantik,”
“Ya, karena saya aktif maen sosmed kali,” (saya mulai malas mendengar ocehannya)
Dia dengan nada nyolot : “Ya tetep aja. Yg aktif di sosmed dan cantik,”
“Ya, cantik kan relatif,” kata saya berusaha defensif
Dia : “Ya emang lu nggak cantik“,
“Ya kalau menurut lu gue nggak cantik ya nggak papa, tapi lu nggak perlu juga kali ngomong itu di depan gue kali,”
Dia : “Lu kan nggak cantik, itu kan kenyataannya!”
Saya ngeloyor pergi. Enak sekali ya ngata-ngatain orang.
DHUAR! Bagaimana seseorang memaksakan opininya terkait wajah orang lain dan berkata bahwa itu kenyataan? Apakah orang itu ganteng? Nggak. Tapi kan saya nggak perlu juga bilang seseorang itu ganteng atau tidak, cantik atau tidak. Apa untungnya? Nggak ada kan?
Fyi, saya nggak pernah punya masalah apapun dengan orang itu sebelumnya dan nggak pernah akrab juga. Hubungan kami sebatas hubungan kantor.
Yang jelas saya sudah merasa sangat beruntung menikah dengan laki-laki yang selalu bilang bahwa saya merupakan perempuan yang cantik dan dia bersyukur menikah dengan saya. I couldn’t ask for more!
- Lantaran belum menikah (pada saat itu)
Ceritanya, anak teman kantor lagi main ke ruangan kerja, usianya sekitar empat tahun. Saya pun mengangkat tubuh anak itu dari belakang dan mengayun-ayunkannya. Murni karena melihatnya sebagai anak kecil yang lucu dan ingin bermain-main. Nggak ada pikiran aneh-aneh sama sekali.
Eh, ada rekan kantor lelaki bilang, “Mon, kalau sudah pengen jangan dilampiasin ke anak kecil,”
HAH? Gusti! Gubrak segubrak-gubraknya!
Saya nggak ada pikiran seksual sama sekali ke bocah itu. Gila aja. Yang ada kayak ibu-ibu ngelihat anak kecil meski pada saat itu saya belum menikah. Saya langsung mengatakan ketersinggungan saya dan orang itu pun minta maaf di tempat, pulangnya ia minta maaf lagi melalui WA.
Tapi, ingatlah. Kata-kata menyakitkan itu bagai paku yang menancap. Meski paku dicabut, bekasnya akan tetap ada.
- Lantaran melahirkan melalui operasi caesar
“Gimana tuh sikap sama orang tua sampai susah lahirannya, sampai operasi gitu?”
Baiklah. Jadi, kalau ada yang sampai meninggal karena melahirkan dan itu syahid, lantaran durhaka sama orang tuanya?
Semoga kita dihindarkan dari sikap judging kepada orang lain. Terutama dosa orang. Saya pernah mendengar ceramah ustadz Khalid Basalamah yang pada intinya mengatakan sebesar apapun dosa orang lain akan jauh ‘lebih besar’ dosa kita kelak di hari kiamat karena kita lah yang akan mempertanggungjawabkan dosa tersebut. Bukan, bukan berarti kita paling pendosa (na’udzubillah) tapi nggak ada untungnya ngurusin dosa orang lain. Cukuplah kita mengurus dosa kita sendiri karena kita yang akan menanggungnya kelak di hari akhir.
Begitulah beberapa kalimat menyakitkan yang pernah saya dengar. Apa kalimat paling menyakitkan yang pernah kamu dengar? Apakah kamu bisa melupakannya?
1 Comment. Leave new
Udah pernah sakit gegara kepikiran omongan orang yang nyelekit, akhirnya saya memilih untuk tidak mengingat setiap kali ada kalimat yang nggak enak didengar telinga. Kalau bisa tegur langsung orangnya, atau sekalian anggap kalimat itu ga pernah meluncur dari mulutnya