Setengah
berlari aku menyambut kedatangan Ayah saat terdengar derap langkah kakinya
memasuki rumah. Hari ini hari pembagian rapor semester, Ibu yang tadi pagi
pergi ke sekolah mewakili Ayah yang masuk bekerja. Ayah berhenti sejenak dan
menatapku, ia tersenyum sekilas sambil mengelus kepalaku. Aku terdiam sejenak,
tak seperti biasanya Ayah bersikap demikian. Biasanya demi mendengar anak
sulungnya meraih juara satu, ia memberi pelukan hangat sambil menepuk-nepuk
punggungku dengan keras. “Ini baru anak Ayah,” begitu selalu katanya. Ia lalu
akan mengajakku pergi keliling kota dan sepanjang perjalanan kami akan
berbicara banyak hal. Membicarakan impianku melanjutkan sekolah di ibukota
provinsi tahun depan tentu lebih mengasyikkan sambil memandang birunya langit daripada
memandang eternit yang sudah mulai lapuk di rumah petak kami. Sepeda motor
butut kesayangan Ayah akan berbelok ke sebuah toko kecil di tengah kota, Ayah
akan membebaskanku membeli apa saja di sana.
berlari aku menyambut kedatangan Ayah saat terdengar derap langkah kakinya
memasuki rumah. Hari ini hari pembagian rapor semester, Ibu yang tadi pagi
pergi ke sekolah mewakili Ayah yang masuk bekerja. Ayah berhenti sejenak dan
menatapku, ia tersenyum sekilas sambil mengelus kepalaku. Aku terdiam sejenak,
tak seperti biasanya Ayah bersikap demikian. Biasanya demi mendengar anak
sulungnya meraih juara satu, ia memberi pelukan hangat sambil menepuk-nepuk
punggungku dengan keras. “Ini baru anak Ayah,” begitu selalu katanya. Ia lalu
akan mengajakku pergi keliling kota dan sepanjang perjalanan kami akan
berbicara banyak hal. Membicarakan impianku melanjutkan sekolah di ibukota
provinsi tahun depan tentu lebih mengasyikkan sambil memandang birunya langit daripada
memandang eternit yang sudah mulai lapuk di rumah petak kami. Sepeda motor
butut kesayangan Ayah akan berbelok ke sebuah toko kecil di tengah kota, Ayah
akan membebaskanku membeli apa saja di sana.
Mungkin
Ayah lelah, tepisku menghalau kekecewaan. Sebagai pegawai rendahan di sebuah
pabrik konveksi ia bekerja sepuluh jam sehari dengan sistem shift,
pulang dari kantor ia beristirahat sejenak sembari menonton acara televisi
kesayangannya lalu selepas maghrib ia menarik motornya keliling kota, mengojek hingga
pukul sepuluh malam. Terkadang aku menunggunya pulang untuk sekadar memijit
punggungnya sambil bercerita apa saja meski Ayah jarang berkomentar.
Ayah lelah, tepisku menghalau kekecewaan. Sebagai pegawai rendahan di sebuah
pabrik konveksi ia bekerja sepuluh jam sehari dengan sistem shift,
pulang dari kantor ia beristirahat sejenak sembari menonton acara televisi
kesayangannya lalu selepas maghrib ia menarik motornya keliling kota, mengojek hingga
pukul sepuluh malam. Terkadang aku menunggunya pulang untuk sekadar memijit
punggungnya sambil bercerita apa saja meski Ayah jarang berkomentar.
—
Siang
yang cerah, libur semester baru berjalan tiga hari dan aku mencetak tiga gol
hari ini. Dengan ringan kulangkahkan kaki menuju rumah, lezatnya sayur lodeh
buatan Ibu terbayang di depan mata. Loh loh, aku tak salah lihat bukan, Ayah
duduk bersandar di kursi beranda, pandangannya kosong. Bukankah beliau
seharusnya sedang bekerja saat ini, aku bergegas menghampirinya.
yang cerah, libur semester baru berjalan tiga hari dan aku mencetak tiga gol
hari ini. Dengan ringan kulangkahkan kaki menuju rumah, lezatnya sayur lodeh
buatan Ibu terbayang di depan mata. Loh loh, aku tak salah lihat bukan, Ayah
duduk bersandar di kursi beranda, pandangannya kosong. Bukankah beliau
seharusnya sedang bekerja saat ini, aku bergegas menghampirinya.
“Ayah
tak masuk kerja? Sakit yah?” tanganku memegang pundaknya pelan
tak masuk kerja? Sakit yah?” tanganku memegang pundaknya pelan
Ayah
menggeleng.
menggeleng.
“Lalu?”
Ayah
menggeleng lagi. Pasti ada yang tak beres. Aku mencari Ibu ke seluruh sudut
rumah dan tak menemukannya. Ibuku hanya seorang ibu rumah tangga yang terkadang
menerima jasa menjahit. Hampir tak pernah ia meninggalkan rumah kecuali untuk
pergi ke pasar, mengikuti arisan atau pengajian.
menggeleng lagi. Pasti ada yang tak beres. Aku mencari Ibu ke seluruh sudut
rumah dan tak menemukannya. Ibuku hanya seorang ibu rumah tangga yang terkadang
menerima jasa menjahit. Hampir tak pernah ia meninggalkan rumah kecuali untuk
pergi ke pasar, mengikuti arisan atau pengajian.
“Amiiiiiiiiiir!!!”
Pekikan
keras membahana, langkah tak sabar menuju arah kami. Lima orang laki-laki yang
tak ku kenal memasuki rumah dengan kasar. Salah seorang dari mereka
mencengkeram kerah kaus Ayah sambil memojokkan tubuh kurusnya ke tembok. Mataku
melotot, apa-apaan ini. Aku mendorong tubuh laki-laki itu dengan keras, ia
jatuh terjerembab ke tanah. Dua orang dari mereka dengan sigap memegangi
tubuhku. Ayah menarikku dan memasang sikap bertahan. Belum pernah aku melihat
wajahnya segarang ini.
keras membahana, langkah tak sabar menuju arah kami. Lima orang laki-laki yang
tak ku kenal memasuki rumah dengan kasar. Salah seorang dari mereka
mencengkeram kerah kaus Ayah sambil memojokkan tubuh kurusnya ke tembok. Mataku
melotot, apa-apaan ini. Aku mendorong tubuh laki-laki itu dengan keras, ia
jatuh terjerembab ke tanah. Dua orang dari mereka dengan sigap memegangi
tubuhku. Ayah menarikku dan memasang sikap bertahan. Belum pernah aku melihat
wajahnya segarang ini.
“Kau
punya waktu dua minggu Amir untuk mengembalikan uang kami. Jika tidak, lihat
saja apa yang bisa kami lakukan kepadamu dan keluargamu terutama putra semata
wayangmu ini,”
punya waktu dua minggu Amir untuk mengembalikan uang kami. Jika tidak, lihat
saja apa yang bisa kami lakukan kepadamu dan keluargamu terutama putra semata
wayangmu ini,”
Kelima
laki-laki itu lalu pergi setelah puas memaki-maki dan meludahi Ayah.
laki-laki itu lalu pergi setelah puas memaki-maki dan meludahi Ayah.
—
Ayah
sudah beberapa hari tak pulang rumah. Aku mencarinya kemana-mana, ke pabrik, ke
pangkalan ojek tempat Ayah biasa mangkal, ke rumah teman-temannya dan hasilnya
nihil. Ibu menangis tak henti di atas sajadah, tak jarang ia tertidur di
atasnya.
sudah beberapa hari tak pulang rumah. Aku mencarinya kemana-mana, ke pabrik, ke
pangkalan ojek tempat Ayah biasa mangkal, ke rumah teman-temannya dan hasilnya
nihil. Ibu menangis tak henti di atas sajadah, tak jarang ia tertidur di
atasnya.
Pintu
depan digedor dengan kasar.
depan digedor dengan kasar.
“Hasan
buka pintu Hasan!,”
buka pintu Hasan!,”
Brak.
Bunyi berdebam benda jatuh di atas lantai.
Bunyi berdebam benda jatuh di atas lantai.
“Ayah,”
seruku tertahan
seruku tertahan
Aku
mendudukkan tubuh kurusnya. Matanya merah, amat merah, tubuhnya berbau tak
sedap dan hey, dengan kuat aku mencium aroma alkohol dari mulutnya.
mendudukkan tubuh kurusnya. Matanya merah, amat merah, tubuhnya berbau tak
sedap dan hey, dengan kuat aku mencium aroma alkohol dari mulutnya.
“Ayahmu
Paman temukan di pinggir sebuah warung. Ia teler lantaran mabuk dan asal kau
tahu, Ayahmu baru saja berjudi sebelumnya,”
Paman temukan di pinggir sebuah warung. Ia teler lantaran mabuk dan asal kau
tahu, Ayahmu baru saja berjudi sebelumnya,”
Informasi
demi informasi mengalir cepat dari mulut Paman Agus, salah seorang tetangga
kami. Tak mungkin, desisku tak percaya, Ibu menggeleng. Ayahku tak mungkin
begitu, Ayahku yang mengajarkanku mengaji dan memukulku kalau aku malas sholat
tak mungkin begitu.
demi informasi mengalir cepat dari mulut Paman Agus, salah seorang tetangga
kami. Tak mungkin, desisku tak percaya, Ibu menggeleng. Ayahku tak mungkin
begitu, Ayahku yang mengajarkanku mengaji dan memukulku kalau aku malas sholat
tak mungkin begitu.
Paman
Agus mengangkat bahu tak peduli sebelum pamit pulang. Aku menunggu Ayah hingga terjaga.
Pukul dua malam ketika Ayah terbangun dengan nafas yang memburu, aku
mengangsurkan segelas air putih ke hadapannya.
Agus mengangkat bahu tak peduli sebelum pamit pulang. Aku menunggu Ayah hingga terjaga.
Pukul dua malam ketika Ayah terbangun dengan nafas yang memburu, aku
mengangsurkan segelas air putih ke hadapannya.
“Minum
dulu Ayah,”
dulu Ayah,”
Ayah
memandangku dengan tatapan nanar, agaknya kesadarannya belum pulih benar.
memandangku dengan tatapan nanar, agaknya kesadarannya belum pulih benar.
“Ini
Hasan Yah, Ayah di rumah sekarang, “
Hasan Yah, Ayah di rumah sekarang, “
Ada
jeda yang panjang sebelum Ayah berucap, “Maafkan Ayah Nak, sungguh maafkan
Ayah,”
jeda yang panjang sebelum Ayah berucap, “Maafkan Ayah Nak, sungguh maafkan
Ayah,”
Tiba-tiba
Ayah meraung seperti anak kecil. Refleks aku memeluknya.
Ayah meraung seperti anak kecil. Refleks aku memeluknya.
“Sudah
pagi Yah, Ayah akan membangunkan banyak orang. Tenang Ayah. Ada apa?”
pagi Yah, Ayah akan membangunkan banyak orang. Tenang Ayah. Ada apa?”
Ayah
menarik nafas panjang. Ia mulai bercerita tentang investasi yang dilakukannya
atas saran seorang teman, investasi di sebuah usaha katering di kota, ia
menghabiskan nyaris seluruh tabungannya dan juga menghimpun uang dari
teman-temannya. Investasi yang pada mulanya lancar dan kemudian
tersendat-sendat sebelum berhenti sama sekali. Uangnya dibawa lari. Ayah
dituntut mengembalikan uang teman-temannya dan dengan kalut ia menggelapkan
uang pabrik. Pemilik pabrik mengetahuinya dan mengancam memecat Ayah hingga
larilah Ayah ke meja judi. Berakhir malam ini.
menarik nafas panjang. Ia mulai bercerita tentang investasi yang dilakukannya
atas saran seorang teman, investasi di sebuah usaha katering di kota, ia
menghabiskan nyaris seluruh tabungannya dan juga menghimpun uang dari
teman-temannya. Investasi yang pada mulanya lancar dan kemudian
tersendat-sendat sebelum berhenti sama sekali. Uangnya dibawa lari. Ayah
dituntut mengembalikan uang teman-temannya dan dengan kalut ia menggelapkan
uang pabrik. Pemilik pabrik mengetahuinya dan mengancam memecat Ayah hingga
larilah Ayah ke meja judi. Berakhir malam ini.
“Ayah
untuk apa melakukan semua itu Ayah? Bukankah itu juga bukan kesalahan Ayah?”
untuk apa melakukan semua itu Ayah? Bukankah itu juga bukan kesalahan Ayah?”
“Ayah
tak sanggup Nak sungguh, orang-orang itu mengancam akan mencelakanmu Nak,
putraku satu-satunya yang lahir setelah sepuluh tahun menikah, Ayah sungguh tak
sanggup Nak jika harus melihatmu terluka,”
tak sanggup Nak sungguh, orang-orang itu mengancam akan mencelakanmu Nak,
putraku satu-satunya yang lahir setelah sepuluh tahun menikah, Ayah sungguh tak
sanggup Nak jika harus melihatmu terluka,”
Pipiku
mulai terasa hangat.
mulai terasa hangat.
“Uang
hasil investasi itu nanti untuk biayamu sekolah di ibukota provinsi Nak, kau
anak yang cerdas, mana mungkin aku membiarkanmu berakhir menjadi pegawai pabrik
sepertiku,”
hasil investasi itu nanti untuk biayamu sekolah di ibukota provinsi Nak, kau
anak yang cerdas, mana mungkin aku membiarkanmu berakhir menjadi pegawai pabrik
sepertiku,”
Aku
memeluk tubuh Ayah yang berguncang.
memeluk tubuh Ayah yang berguncang.
“Nasihatku
Nak, tolong kau masih mau mendengar nasihatku, seberat apapun kehidupanmu nanti
Nak, jangan pernah menyelesaikan masalahmu dengan hal yang haram Nak karena ia
sungguh tak akan membantumu menyelesaikan masalahmu, cukup aku yang bodoh
melakukannya, aku sungguh beruntung masih hidup, tadi aku bermimpi tak bisa
melihatmu lagi” Suara Ayah terdengar pilu.
Nak, tolong kau masih mau mendengar nasihatku, seberat apapun kehidupanmu nanti
Nak, jangan pernah menyelesaikan masalahmu dengan hal yang haram Nak karena ia
sungguh tak akan membantumu menyelesaikan masalahmu, cukup aku yang bodoh
melakukannya, aku sungguh beruntung masih hidup, tadi aku bermimpi tak bisa
melihatmu lagi” Suara Ayah terdengar pilu.
Aku
mengangguk pelan.
mengangguk pelan.
Ayah
mengambil air wudhu dan mulai menghadapkan tubuhnya ke kiblat. Tangisannya yang
tertahan pelan terdengar. Suara tangisnya kemudian berganti dengan suara
tilawah yang sangat ku kenal. Matanya memerah kembali, kali ini oleh air mata
penyesalan. Ayah.
mengambil air wudhu dan mulai menghadapkan tubuhnya ke kiblat. Tangisannya yang
tertahan pelan terdengar. Suara tangisnya kemudian berganti dengan suara
tilawah yang sangat ku kenal. Matanya memerah kembali, kali ini oleh air mata
penyesalan. Ayah.
—
Tak
ada lagi Ayah yang mengantarkanku berangkat sekolah menggunakan motor tua
kesayangannya, tak ada lagi Ayah yang mencari tambahan penghasilan sebagai
tukang ojek. Motor butut peninggalan kakek telah tergadai tunai. Ayah
menemaniku berjalan kaki. Tiga belas kilometer setiap hari. Waktuku berbicang
dengan Ayah lebih lama lagi.
ada lagi Ayah yang mengantarkanku berangkat sekolah menggunakan motor tua
kesayangannya, tak ada lagi Ayah yang mencari tambahan penghasilan sebagai
tukang ojek. Motor butut peninggalan kakek telah tergadai tunai. Ayah
menemaniku berjalan kaki. Tiga belas kilometer setiap hari. Waktuku berbicang
dengan Ayah lebih lama lagi.
————————————————————————————————————————-
Belajar menulis cerpen, masih sangat amatir, mohon saran dan kritiknya ya teman-teman terkait apa saja (tokoh, penokohan, alur, dsb) ^^
4 Comments. Leave new
postingan yang sangat menarik dan bermanfaat,,terus menulis,,karena dengan menulis kita bisa mengembangkan imajinasi kita dan menjadikan kita lebih kretaif ^_^
salam kenal
kalau berkenan silahkan mampir ke EPICENTRUM
folloback juga ya buat nambah temen sesama blooger,,tukeran link juga boleh,,makasih..^_^
Ayah…
bagus bgd Mon….
hikzz
ah bagus kok mon
nulis lagi ya… 🙂
eh ya jadi ingat kiki hahahahahaaaaaa
you hv a lil crush with him about a zillion years ago ya 😛
hahaha XD
Hahaha.. ngakak aku baca komenmu Nin..