Tubuh kecilnya berhenti persis di depan saya yang tengah
duduk di barisan tengah metromini, suatu pagi saat hendak berangkat ke
kantor. Tangannya menengadah, saya
menggeleng pelan. Saya pikir ia akan berlalu dari hadapan tapi ternyata tidak.
Kedua tangan bocah yang berusia kira-kira sembilan tahun itu mendorong-dorong
bahu saya keras. Tak cukup dengan itu, ia memajukan kedua kakinya juga,
membenturkan lututnya ke kaki saya. “Saya sudah teriak-teriak dari tadi sampai
suara serak, nggak ada yang ngasih,”bentaknya keras. Olala, ini penyebabnya. Ia
telah ‘mengeluarkan suara’ dan tak ada yang memberinya sepeser pun semenjak
tadi. Apesnya, saya yang kena ‘kemarahannya’.
duduk di barisan tengah metromini, suatu pagi saat hendak berangkat ke
kantor. Tangannya menengadah, saya
menggeleng pelan. Saya pikir ia akan berlalu dari hadapan tapi ternyata tidak.
Kedua tangan bocah yang berusia kira-kira sembilan tahun itu mendorong-dorong
bahu saya keras. Tak cukup dengan itu, ia memajukan kedua kakinya juga,
membenturkan lututnya ke kaki saya. “Saya sudah teriak-teriak dari tadi sampai
suara serak, nggak ada yang ngasih,”bentaknya keras. Olala, ini penyebabnya. Ia
telah ‘mengeluarkan suara’ dan tak ada yang memberinya sepeser pun semenjak
tadi. Apesnya, saya yang kena ‘kemarahannya’.
Saya tak bereaksi, nanti juga capek sendiri pikir saya.
Namun cukup lama rupanya saya menjadi sasarannya sehingga saya risih juga. “Dek
udah dek,”kata saya. Beberapa penumpang juga membela saya. “Biarin, biar
kapok,”bentaknya. Akhirnya saya menggeser badan. Tak lama kemudian ia berlalu
dengan mengumpat kencang menyebutkan alat kelamin laki-laki. Bocah sembilan
tahun.
Namun cukup lama rupanya saya menjadi sasarannya sehingga saya risih juga. “Dek
udah dek,”kata saya. Beberapa penumpang juga membela saya. “Biarin, biar
kapok,”bentaknya. Akhirnya saya menggeser badan. Tak lama kemudian ia berlalu
dengan mengumpat kencang menyebutkan alat kelamin laki-laki. Bocah sembilan
tahun.
Kalau Anda pengguna metromini, Anda pasti akan sering
menemui orang-orang yang berdiri dan mengeluarkan suaranya, ”Assalamu’alaykum
pak bu ya, kita hidup harus saling tolong menolong pak bu ya, daripada kami
harus mencuri, menjambret atau merampok lebih baik kami berterus terang kepada
Anda pak bu ya, lebih baik kami cari makan dengan halal seperti ini pak bu ya,
seribu atau dua ribu tak akan membuat Anda miskin pak bu ya, harta itu tak akan
dibawa mati pak bu ya” temannya lalu menyahuti, “Benar pak bu ya,” lalu salah
seorang dari mereka menengadahkan tangan ke para penumpang metromini.
menemui orang-orang yang berdiri dan mengeluarkan suaranya, ”Assalamu’alaykum
pak bu ya, kita hidup harus saling tolong menolong pak bu ya, daripada kami
harus mencuri, menjambret atau merampok lebih baik kami berterus terang kepada
Anda pak bu ya, lebih baik kami cari makan dengan halal seperti ini pak bu ya,
seribu atau dua ribu tak akan membuat Anda miskin pak bu ya, harta itu tak akan
dibawa mati pak bu ya” temannya lalu menyahuti, “Benar pak bu ya,” lalu salah
seorang dari mereka menengadahkan tangan ke para penumpang metromini.
Tak masalah jika mereka kemudian berlalu. Namun sering saya
temui mereka marah jika tak dikasih uang. Mulai dari mengeluarkan kata-kata
yang memaksa, mencolek-colek tangan, hingga mengumpat, “Berjilbab kok nggak
punya hati nurani,”. Pernah juga ketika saya mengulurkan koin lima ratus ia
melempar koin tersebut ke muka saya. Bukan masalah nominal, hanya saja hati
saya seperti tak rela memberi para pemuda gagah yang saat meminta terkadang
rokok menyelip di antara kedua jari.
temui mereka marah jika tak dikasih uang. Mulai dari mengeluarkan kata-kata
yang memaksa, mencolek-colek tangan, hingga mengumpat, “Berjilbab kok nggak
punya hati nurani,”. Pernah juga ketika saya mengulurkan koin lima ratus ia
melempar koin tersebut ke muka saya. Bukan masalah nominal, hanya saja hati
saya seperti tak rela memberi para pemuda gagah yang saat meminta terkadang
rokok menyelip di antara kedua jari.
Anak jalanan. Saya tak tahu apakah Pemerintah (dalam hal
ini instansi yang berwenang) telah memberikan perhatian yang cukup kepada
mereka. Ketika saya bercerita kepada Ibu yang kebetulan bekerja di instansi
pemerintah yang mengurusi bidang sosial masyarakat (di daerah), Ibu bercerita
panjang lebar, “Pemerintah itu perhatian sama anak jalanan. Sudah berulang kali
kami mengajak mereka ke rumah singgah atau panti asuhan tapi mereka selalu kabur.
Di sana mereka dididik dengan baik, disekolahkan sampai SMA, dikasih makan tiga
kali sehari, dibelikan baju baru secara berkala, bahkan diberikan les juga,
hidupnya dijamin dan teratur bahkan banyak anak jalanan yang berprestasi tapi
ya itu di panti kan disiplin, mereka pengennya bebas jadinya tak tahan lalu
kabur,” saya mendengarkan,”Nanti kalau kamu mau, saya ajak melihat langsung
keadaan panti,”
ini instansi yang berwenang) telah memberikan perhatian yang cukup kepada
mereka. Ketika saya bercerita kepada Ibu yang kebetulan bekerja di instansi
pemerintah yang mengurusi bidang sosial masyarakat (di daerah), Ibu bercerita
panjang lebar, “Pemerintah itu perhatian sama anak jalanan. Sudah berulang kali
kami mengajak mereka ke rumah singgah atau panti asuhan tapi mereka selalu kabur.
Di sana mereka dididik dengan baik, disekolahkan sampai SMA, dikasih makan tiga
kali sehari, dibelikan baju baru secara berkala, bahkan diberikan les juga,
hidupnya dijamin dan teratur bahkan banyak anak jalanan yang berprestasi tapi
ya itu di panti kan disiplin, mereka pengennya bebas jadinya tak tahan lalu
kabur,” saya mendengarkan,”Nanti kalau kamu mau, saya ajak melihat langsung
keadaan panti,”
Ah, saya bermimpi suatu hari nanti tak ada lagi anak-anak yang
berkeliaran di jalanan demi mencari sesuap nasi. Mereka duduk manis di sebuah
kelas mendengarkan pelajaran dan memimpikan masa depan yang tentu saja bukan di
jalanan. Saya bermimpi suatu hari nanti, para pemuda gagah itu malu
meminta-minta dan kemudian menyingsingkan lengan mereka dan bekerja. Entah
menjadi penjual tisu atau penjaja koran, tentu lebih mulia dari meminta-minta.
Namun hingga saat itu tiba, anak jalanan adalah sosok yang akan saya temui
setiap kali menggunakan jasa metromini.
berkeliaran di jalanan demi mencari sesuap nasi. Mereka duduk manis di sebuah
kelas mendengarkan pelajaran dan memimpikan masa depan yang tentu saja bukan di
jalanan. Saya bermimpi suatu hari nanti, para pemuda gagah itu malu
meminta-minta dan kemudian menyingsingkan lengan mereka dan bekerja. Entah
menjadi penjual tisu atau penjaja koran, tentu lebih mulia dari meminta-minta.
Namun hingga saat itu tiba, anak jalanan adalah sosok yang akan saya temui
setiap kali menggunakan jasa metromini.
*previously published in Kompasiana*
3 Comments. Leave new
Ada yang bilang, sepertinya sih salah satu pasal dalam UUD. Hehe. Disitu disebutkan kalau pengemis dan anak jalanan dipelihara oleh negara. Dan sampai sekarang, saya belum menemukan esensi yang tepat dari pasal tersebut. Apakah dipelihara dan diayomi sebaik-baiknya? Ataukah dipelihara seperti ini bentuknya? Dijadikan penghias kota bobrok dan bergedung tinggi, sehingga kontras rasanya kalau masih banyak anak jalanan. 🙂
Salam.
iya mbak, semacam sedih2 miris, tapi ya itu perlu ditelusuri akar masalahnya juga menurutku hehe…
ya bener Mon. Miris banget sama sikap mereka tuh, serba salah ngadepinnya