Cincin lamaran saya hilang. Jatuh entah di mana ketika saya masuk ke kantor kemarin. Tahu-tahu, sudah tak ada cincin melingkar di jari manis tangan kanan. Saya sama sekali tak sadar ketika cincin emas itu terlepas. Maklum, berat badan saya turun tujuh kilogram dibanding ketika lamaran. Alhasil, cincin lamaran itu menjadi longgar.
Berat cincin itu mungkin tak seberapa, tetapi kenangan bahwa cincin itu merupakan cincin pertama yang diberikan suami membuat saya merasa begitu kehilangan. Apalagi, cincin itu merupakan cincin yang dipilihkan oleh mertua.
Saya sudah cari ke mana-mana. Terakhir saya ingat, pada saat tiba di kantor cincin itu masih melekat. Setelah itu saya sudah tak ingat lagi. Saya mencarinya ke mana-mana, menelusuri jejak di kantor pada hari itu. Saya juga sudah membongkar bawang-barang yang saya bawa. Nihil.
Di kantor, saya langsung menelpon suami. “Yah, maaf cincin pas lamaran lepas entah ke mana. Sudah dicari di mana-mana belum ketemu,”
Suami hanya menjawab singkat, “Ya sudah, mau gimana lagi,”
Tak puas dengan jawaban suami, sepulang dari kantor saya langsung minta maaf karena menghilangkan cincin pemberiannya. Ia pun menjawab lagi, “Ya sudah kalau hilang , mau gimana lagi,”
“Ya, tapi itu kan cincin lamaran. Mama yang milihin,” Saya mencoba berargumen.
“Ya sudah, nanti Ayah beliin lagi. Nanti beli saja di toko yang sama, kasih lihat foto cincinnya, beli barang yang sama. Nggak mahal juga harganya,” Suami menjawab enteng.
“Tapi kan, bukan masalah harganya…,”
“Ya terus gimana? Nggak boleh tahu kalau kita terlalu terikat dengan benda. Cincin itu cuma benda. Pas kamu bilang hilang, ya aku nggak ngerasa gimana-gimana karena ya cuma benda,”
Deg.
Mendengarkan penjelasan panjang lebar suami, saya jadi teringat buku berjudul “Good Bye, Things,”. Di dalam buku yang membeberkan tips tentang hidup minimalis orang Jepang itu juga dibahas mengenai keterikatan manusia dengan benda yang dianggap memiliki kenangan. Manusia menjadi penumpuk barang (hoarder) yang berkebalikan dengan sikap hidup minimalis lantaran sayang membuang benda kenangan.
Solusinya, kita harus mencoba melepaskan keterikatan kita dengan benda. Artinya, mengurangi nilai emosional atau sentimental dengan benda yang kita miliki.
Tentu, bukan berarti hendak membuang cincin. Hanya saja, seperti yang telah disampaikan suami, kehilangan benda seyogianya disikapi dengan biasa-biasa saja. Toh, itu cuma benda. Cincinnya yang hilang, bukan sebuah hubungan.
Keterikatan dengan benda menimbulkan berbagai konsekuensi. Marie Kondo, seorang pakar beberes dalam buku sensasionalnya yang berjudul “The Life Changing Magic of Tidying Up” menyebutkan bahwa orang yang terikat dengan benda seperti rajin menyimpan benda merupakan seorang penimbun.
Aih, cincin lamaran yang hilang mengajarkan banyak hal. Tentang keterikatan dengan benda yang bersifat sentimental tak perlu berlebihan. Tentang bagaimana seseorang seharusnya lebih menilai sesuatu dari kualitas antar manusia, bukan dari benda, seperti kata suami bahwa yang hilang adalah sekadar barang.
Tentang mengikhlaskan. Kalau nanti cincin itu dapat ditemukan, artinya memang cincin itu masih menjadi rejeki saya, Kalau tidak, semoga saja cincin itu bisa berguna bagi orang yang menemukannya.
Pada akhirnya, bukan benda yang mengendalikan kita, tetapi kita yang mengendalikan perasaan dan sikap kita atas benda.
Tak ada yang lebih menyenangkan dibanding dengan sosok manusia bebas. Bebas dari keterikatan yang tak diperlukan.
1 Comment. Leave new
you read a lot of good books