Kalau saja aku tahu kalau bulan Juni tahun lalu adalah saat terakhirku melihatnya, aku akan mencium kening dan tangannya lebih lama. Mengusap rambut putihnya dan mengatakan bahwa aku menyayanginya. Mendengarkan lebih banyak lagi kisah hidupnya.
Aku tak sempat mengatakan ucapan perpisahan yang pantas. Di hari-hari terakhirnya, aku melakukan panggilan video dan beliau sudah tak sadarkan diri. Hampir-hampir aku mengambil penerbangan di hari aku mendengar kematiannya tetapi anak bayiku membutuhkanku dan aku tak mungkin membawanya ikut serta di tengah pandemi.
Di hari kepergiannya, aku tergugu di kamar mandi. Eyangti sudah pergi….
Harusnya, aku tak berduka. Telah terbebas ia dari rasa sakit yang bertahun-tahun menderanya. Namun, kehilangan tetaplah kehilangan. Menyesakkan.
Eyangti pernah berkata, “Aku berdoa semoga bisa melihatmu menikah sebelum mati,”
Mungkin, doa Eyangti juga lah yang menjadi wasilahku bertemu jodoh. Eyangti sempat melihatku lamaran dan menghadiri pernikahanku, bahkan hingga menimang cicit ketiganya, anakku. Beliau selalu nampak gemas dengan jenggot panjang suami, “Nanti aku kucir jenggotnya ya, Mas,” dan kami pun akan terbahak bersama.
Eyangti adalah sosok yang istimewa dalam hidupku. Ketika SD, aku tinggal di rumah Eyang pada hari kerja dan baru pulang ke rumah orang tua di hari libur. Siang hari selepas pulang sekolah, aku menemani Eyang menonton film India.
Malam-malam kami adalah malam-malam yang menyenangkan. Kami akan mendengarkan lagu campursari dari stasiun radio kesayangan. Lalu, Eyangti akan mendongeng tentang banyak hal dan aku adalah gadis kecil yang mendengarkan semua kisahnya. Entah fiksi atau nyata, aku tak tahu dan aku pun tak peduli….
Ceritanya berulang-ulang tetapi aku tak pernah merasa bosan. Aku menyukai ekspresinya ketika bercerita. Aku menyukai kedekatan kami, kehangatan ketika berada bersisian di ranjang dengannya.
Kisah tentang bagaimana Eyangkung dan Eyangti bertemu adalah kisah favoritnya. Eyangti akan bercerita tentang keberaniannya untuk kawin lari di usia enam belas, tak menamatkan pendidikan sekolah menengah atas. Dilanjutkan dengan cerita tentang fragmen kehidupannya : masa kecilnya yang susah, ayahnya yang turut gugur memperjuangkan kemerdekaan, hingga seorang serdadu Belanda yang menyatakan cinta kepadanya.
Dan favoritku, kisah tentang hantu….
Lalu, tangan kecilku akan memijat kedua kakinya. Hingga aku lelah dan mengantuk. Begitu setiap harinya.
Aku masih teringat rasa waffle yang pernah ia buat. Eyangtiku adalah perempuan dengan banyak bakat. Ia pandai memasak beraneka masakan dan kue nan lezat. Ia pernah membuat kue-kue untuk teman sekelasku tatkala aku berulang tahun ketujuh.
Tak terhitung pula berapa banyak baju cantik yang dijahitkannya untuk kami cucu perempuannya, aku dan adikku seringkali mengenakan pakaian bermotif sama. Seumur hidupnya, beliau adalah ibu rumah tangga sejati yang mengurus keluarganya dengan penuh suka cita.
Seperti lazimnya perempuan Jawa di zamannya, hidupnya semata-mata untuk keluarga…
Sesungguhnya, aku belum pernah merasakan kehilangan keluarga. Eyangkung meninggalkan kami ketika usiaku masih delapan, pun hubungan kami tidak dekat. Ternyata, begini rasanya kehilangan. Ada kepingan jiwamu yang ikut terambil. Ada kenangan-kenangan yang datang berkelebat dengan kurang ajar. Menyesapkan rindu lebih pekat.
Kematian adalah sebuah keniscayaan. Namun, kenangan bersama orang-orang yang kita cintai abadi. Maka, hiduplah dengan membuat kenangan demi kenangan yang akan membuat hidup ini semakin bermakna.
Semoga Allah SWT mempertemukan kami di surga-Nya. Kelak.
***
Eyangti (Eyang Putri) dan Eyangkung (Eyang Kakung/Laki-laki) : panggilan untuk Kakek dan Nenek bagi orang Jawa.