Bayangkan dirimu duduk di sebuah kafe seorang diri sembari menyesap salted caramel hot chocolate. Di luar langit pekat, hujan deras. Yang kamu inginkan sekarang hanyalah menikmati waktu sendiri dengan secangkir cokelat dan buku bacaan yang hangat.
Begitulah yang saya rasakan ketika menelusuri kata demi kata novel berjudul All That is Lost Between Us yang ditulis oleh novelis Winna Efendi. Saya nggak terlalu suka novel romansa tetapi saya menikmati novel setebal 304 halaman ini. Novel sweet gloomy yang bisa dihabiskan dengan sekali duduk.
Alkisah, Brenda Markham atau Bee dan Sebastian Surya atas Bas pernah menjalin hubungan istimewa ketika mereka sama-sama masih menjadi mahasiwa kedokteran. Sebelas tahun lalu. Hingga sebuah kesalahan membuat Bee meminta Bas untuk pergi.
Bas, dokter ahli bedah pediatri, menghabiskan tahun demi tahun berpindah-pindah kota hingga akhirnya ia memutuskan kembali ke Melbourne, kota segala kisah hidupnya bermula. Ya, novel ini berlatar di Australia.
Bee, perempuan keras kepala, menenggelamkan dirinya dalam kesibukan seorang dokter Unit Gawat Darurat. Pada akhirnya, Bee dan Bas bertemu lagi setelah sebelas tahun, mereka kini bekerja pada rumah sakit yang sama di Melbourne.
Sebelas tahun tak mengubah perasaan yang ada pada mereka. Bee terus menyangkal, ia tak ingin terluka lagi. Bas berupaya meyakinkan Bee jika mereka bisa start over. Apakah pada akhirnya mereka akan kembali menjadi sepasang kekasih?
Penyesalan, masa lalu, kehilangan, dan harapan adalah nuansa kental novel berlabel Metropop ini. Latar rumah sakit, simbol dari kehilangan dan harapan, sebagai bagian dari kehidupan dan tokoh menambah bumbu berita. Winna Efendi layak diacungi jempol, risetnya tajam. Berbagai istilah medis memperkaya khazanah pembaca, dituturkan menyatu dengan cerita. Membaca buku ini membuat saya seperti menonton Grey’s Anatomy lagi.
Novel ini menggunakan dua sudut pandang tokoh pertama, Bee dan Bas, sehingga para pembaca dibawa untuk menyelami pergumulan batin keduanya. Penulisan dialog dan pengungkapan perasaan kedua tokoh mengalir dengan smooth dan manis.
Misalnya, ketika Bee terus menghindari Bas. Bas bertanya,
“Can we start over?”
“Kita tak bisa berpura-pura apa yang sudah berlalu tidak pernah terjadi.”
Tidak ada tombol reset. Tidak ada kesempatan kedua. Apparently, history is all that we have left.
Atau pengungkapan tentang penyesalan yang dituturkan oleh pernyataan ibunda Bee.
In the end we’re just scared of oyrselves, aren’t we? Takut mengambil langkah yang salah, takut pada keraguan yang kita ciptakan sendiri.
“If there’s one thing that I learn from regret, it’s that you have to build yourself to be stronger than it”
Novel All That is Lost Between Us ini ditulis dengan begitu mengalir dan rapi. Pembaca diajak menebak terlebih dahulu kesalahan yang membuat sepasang kekasih berpisah sebelum penulis memberikan potongan petunjuk. Alasan kesalahan tersebut dilakukan juga tak lepas dari masa lalu sang tokoh meski tetap saja, kesalahan adalah kesalahan.
Alur maju mundur yang digunakan dalam novel ini juga membuat pembaca semakin terhanyut oleh kisah dua sejoli. Manis tapi menggemaskan membayangkan Bee yag keras kepala terus menyangkal dan Bas yang menghilang terlalu lama. Sweet and savory, like salted caramel hot chocolate. Begitulah romansa di buku ini digambarkan. Jenis romansa yang nggak saya temuin di dunia nyata karena saya nggak bakal memendam perasaan terlalu lama *eh
I really enjoy the book. Meski saya akui saya agak gemas dengan novel yang tenang dan nyaris tanpa konflik berarti. Kisahnya cukup tertebak tetapi kepiawaian penulis menjalin kata membuat novel ini indah untuk dibaca.