Resensi Novel Ayahku Bukan Pembohong – Kapan terakhir kali kita memeluk ayah kita? Menatap wajahnya, lantas bilang kita sungguh sayang padanya? Kapan terakhir kali kita bercakap ringan, tertawa gelak, bercengkerama, lantas menyentuh lembut tangannya, bilang kita sungguh bangga padanya?
Dam, laki-laki berusia empat puluh tahun dibesarkan dengan kebijaksanaan hidup yang ia dapatkan dari cerita-cerita sang ayah, seorang pegawai negeri yang dikenal seantero kota lantaran kejujuran dan kesederhanaannya. Namun Dam, sang anak kandung, justru membenci ayahnya lantaran ia tak pernah menemukan fakta bahwa cerita-cerita sang ayah adalah cerita yang dapat dibuktikan kebenarannya, ia menganggap bahwa cerita-cerita ayahnya tak lebih dari sekadar dongeng dan berhenti mempercayai cerita-cerita itu semenjak ia berusia dua puluh tahun.
Dituturkan oleh Tere-Liye dengan indah, novel “Ayahku Bukan Pembohong” ini memiliki kekuatan cerita lewat pemilihan kata-kata yang sederhana tetapi mengena, misalnya tatkala Dam dimarahi sang ayah lantaran ayahnya keberatan mengirimkan surat Dam kepada pemain bola idola Dam, Dam pun menulis surat untuk ayahnya,
“… Ayah dulu pernah bilang padaku, “Jangan-jangan kau akan menjadi orang paling sedih sedunia jika malam ini tim sang Kapten kalah.” Ayah keliru. Malam ini, saat sendirian di kamar, saat menyadari bahwa Ayah telah kurepotkan sebulan terakhir dengan permintaan itu, Ayah bahkan berteriak marah untuk pertama kalinya di rumah kita, aku jauh lebih sedih dibandingkan melihat tim sang Kapten kalah. Boleh jadi aku menjadi anak yang paling tidak berterima kasih sedunia.”
Masalah muncul ketika sang ayah bersedia menerima permintaan istri Dam untuk tinggal di rumah mereka, Dam merasa terusik oleh ayahnya yang bercerita kepada Zas dan Qon, anak-anak Dam, tentang cerita-cerita yang sama persis seperti yang diceritakan sang ayah padanya saat ia masih kecil. Bagi Dam, cerita-cerita itu tak lebih dari sekadar cerita bohong dan ia ingin mendidik anak-anaknya dengan kerja keras dan kedisiplinan.
Novel ini memiliki pola yang hampir serupa dengan novel Tere-Liye berjudul “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”, menggunakan alur maju-mundur dengan memberikan satu pertanyaan besar yang membuat pembaca mencari dan terus mencari jawaban untuk menuntaskan rasa penasaran. Dam seumur hidupnya mencari apakah cerita-cerita sang ayah merupakan cerita yang nyata ataukah dongeng belaka. (dan tentu saja saya juga penasaran dan mencarinya hingga ending novel)
Kelebihan novel setebal 299 halaman ini terletak pada kekuatan ceritanya (khas novel Tere-Liye yang sebagian besar bertemakan keluarga) dan juga kebijaksanaan yang bisa kita dapatkan dari cerita-cerita sang ayah. Pada akhirnya Tere-Liye menutup novel ini dengan sebuah pesan yang menggugah :“Berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya,”
Recommended!
***
Resensi novel Tere Liye lainnya berjudul Eliana.
1 Comment. Leave new
hmm, trims infonya mbak, karya tereliye selalu sarat makna. yang pernah saya baca, pukat dan burlian :D. cara keluarga mendidik anak yang TOP