Dulu saya bertanya-tanya bakal punya mertua seperti apa. Di beberapa grup Facebook yang saya ikuti, mertua sering dikisahkan sebagai sosok durjana. Entah suka merecoki kehidupan rumah tangga sang anak, memarahi menantu, hingga membuat menantu menderita.
Pendek kata, saya lebih sering membaca dan mendengar keluhan tentang mertua daripada pujian untuknya.
Oleh karena itu, pertanyaan tentang keluarga yang saya lontarkan ketika ta’aruf adalah “Kira-kira apakah orang tua mau menerima menantu dengan profil seperti saya dan juga latar belakang seperti keluarga saya?”
Saya juga menegaskan, “Apakah orang tua tidak berkeberatan memiliki menantu yang berbeda suku?”
Suami mengangguk mantap. Katanya sang ibu tidak berkeberatan memiliki menantu dari suku mana saja. Yang penting baik, katanya.
Penegasan tentang penerimaan keluarga pasangan adalah hal yang sangat penting sebelum melangkah ke jenjang selanjutnya. Karena menikah dengan seseorang juga ‘menikah’ dengan keluarganya. Keluarganya akan menjadi keluargamu.
Saya percaya, hubungan yang baik dengan keluarga suami juga akan memengaruhi kualitas hubungan dengan suami.
Namun, ketika perjalanan kami berlanjut, saya jadi minder. Orang Minang terkenal pandai memasak sementara kemampuan memasak saya pas-pasan. Untung mertua tidak ada tes untuk calon menantu. Kalau tidak, bisa-bisa saya tereliminasi.
Pertama kali bertemu dengan mama mertua ketika lamaran, saya langsung merasa ‘tenang’. Beliau adalah sosok yang teduh, maklum profesinya sebagai guru kelas 2 SD membuatnya terbiasa berinteraksi dengan anak-anak.
Lalu setelah lamaran hingga ke pernikahan, saya mulai pendekatan ke mama mertua via telpon mengingat beliau tinggal di Solok sementara saya di Jakarta. Kami membicarakan hal yang ringan-ringan saja.
Setelah menikah, saya baru menyadari betapa baiknya mama mertua.
Misalnya, suami bercerita kalau sebenarnya suami mau mengisi barang elektronik di rumah kontrakan secara minimalis dulu ketika menikah. Namun, ibunya yang meminta agar suami membeli berbagai peralatan, katanya agar menantunya nanti nyaman. Alhasil, ketika menikah dulu, peralatan kami sudah cukup lengkap seperti sudah ada mesin cuci, kulkas, AC, televisi, dan sebagainya.
Sifat penyayang suami agaknya juga menurun dari mertua. Ketika kami pulang kampung ke rumah mertua, mertua melarang saya melakukan pekerjaan rumah tangga. Ketika saya hamil, suami memasakkan saya makanan bergizi setiap hari (ya, beliau memang jago memasak) dan melarang saya melakukan pekerjaan rumah tangga. Pokoknya, saya nggak boleh capek.
Yang paling membuat saya bahagia adalah mertua tidak pernah mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Ketika memerlukan bantuan finansial suami pun, mertua menanyakan dulu tentang keperluan keluarga kecil kami.
Betul kata orang, rezeki itu tak hanya tentang materi. Rezeki dari Allah SWT itu sangat luas, salah satunya memiliki mertua yang baik hati.
Dulu, sebelum menikah, saya berdoa agar memiliki keluarga pasangan yang baik, tak hanya pasangannya saja yang baik. Alhamdulillah, doa itu dikabulkan Allah SWT.
Tentu, kebaikan mertua yang utama adalah mendidik anak lelakinya dengan baik. Suami cerita kalau seumur hidupnya hanya pernah kena marah sekali. Mertua selalu mengajarkan dan mencontohkan tentang bersikap lemah lembut.
Pengasuhan mertua yang menonjol lainnya adalah sikap terbuka beliau kepada anak-anaknya. Beliau akan bercerita tentang apa saja kepada anak, misalnya tentang kondisi orang tua. Selain itu, beliau juga suka mendorong anak untuk bercerita apa saja secara terbuka. Keterbukaan orang tua membuat anak merasa nyaman dan dekat.
Semoga mertua panjang umur dan selalu sehat!
2 Comments. Leave new
Yaampun mbak, rezekimu luar biasa besarnya dapat mertua yang spt itu. Aku pun iri dibuatnya. Walau mertuaku tak baik akhlak dan perkataannya, tapi ku berjanji kepada diri sendiri, suatu hari akan jadi mertua spt mertuamu.
Alhamdulillah moga2 mertua selalu baik terus ke depannya… Sama2 kita berdoa.. hehe