Pembeli : Berapa harga kepala kambing ini?Penjual : Lima puluh afghaniPembeli : Lima puluh! Terlalu mahal! Dua puluh saja.Penjual : Apa? Dua puluh afghani? Kamu gila? Kamu kira ini
kepala manusia?–
Lelucon Kandahar (Selimut
Debu, hal. 123)

Afghanistan? Taliban, perang, darah, bom atau kesengsaraan? Tak sekadar menatap
negeri itu dari internet atau televisi, Agustinus Wibowo menjelajah secara
langsung negeri yang luluh lantak oleh perang. Sendirian, ia menghabiskan
waktunya menyusuri sudut demi sudut negeri yang merupakan Tanah Bangsa Afghan
ini (-istan sendiri berarti tanah). Dua tahun ia tinggal di Kabul
sebagai fotografer jurnalis. Benarkah tak ada yang tersisa selain penderitaan
dan kepiluan? Lalu apa yang membuatnya berada di sana?
“Ini adalah perjalanan yang dimulai dari sebuah mimpi.
Mimpi untuk menyingkap rahasia negeri Afghan. Mimpi yang membawa saya berjalan
ribuan kilometer untuk menemukan rohnya, menikmati kecantikannya, merasakan air
mata yang membasahi pipinya…” (catatan Agustinus Wibowo dari Beijing ke
Afghanistan)
Mimpi untuk menyingkap rahasia negeri Afghan. Mimpi yang membawa saya berjalan
ribuan kilometer untuk menemukan rohnya, menikmati kecantikannya, merasakan air
mata yang membasahi pipinya…” (catatan Agustinus Wibowo dari Beijing ke
Afghanistan)
Siapa nyana di sebuah dusun di Afghanistan bernama Bamiyan
terdapat patung Buddha raksasa yang walau pada akhirnya dihancurkan oleh
pasukan Taliban hingga tinggal tersisa reruntuhan merupakan bukti bahwa jauh
sebelum masukya Islam agama Buddha pernah berkembang pesat di sana, bahkan
Afghanistan disebut-sebut pernah menjadi negeri suci umat Buddha sedunia. Siapa
sangka di negeri nun jauh di mata itu penulis beberapa kali menemukan penduduknya
pernah tinggal di Indonesia. Bangsa ini adalah bangsa yang bertahan atas
kecamuk perang, kesulitan hidup hingga keterbelakangan dibandingkan negara
tetangga seperti Pakistan atau Iran. Menjadi “Afghan” berarti menjadi berani,
tahan banting dan pantang mundur, seperti kata penulis pada halaman 330.
terdapat patung Buddha raksasa yang walau pada akhirnya dihancurkan oleh
pasukan Taliban hingga tinggal tersisa reruntuhan merupakan bukti bahwa jauh
sebelum masukya Islam agama Buddha pernah berkembang pesat di sana, bahkan
Afghanistan disebut-sebut pernah menjadi negeri suci umat Buddha sedunia. Siapa
sangka di negeri nun jauh di mata itu penulis beberapa kali menemukan penduduknya
pernah tinggal di Indonesia. Bangsa ini adalah bangsa yang bertahan atas
kecamuk perang, kesulitan hidup hingga keterbelakangan dibandingkan negara
tetangga seperti Pakistan atau Iran. Menjadi “Afghan” berarti menjadi berani,
tahan banting dan pantang mundur, seperti kata penulis pada halaman 330.
Buku ini tak sekadar catatan perjalanan biasa. Sang penulis
pastilah menulis dengan segenap jiwa sehingga ruh dari perjalanan mampu sampai
kepada pembaca. Beberapa kali saya menahan nafas mengikuti perjalanannya, mulai
dari menuju daerah paling pelosok di Afghanistan, terguncang-guncang di Kamaz
(sebutan untuk salah satu truk buatan Toyota Jepang), berselimut debu
padang pasir, terdiam di kesunyian pegunungan Ghor hingga nyaris kehilangan harddisk
berisi foto-foto selama perjalanan. Di buku setebal 461 halaman ini pembaca
akan mendapatkan sejarah negara tersebut tanpa merasa bosan, foto-foto indah
nan artistik hasil bidikan penulis, pemahaman akan budaya hingga semangat juang
bangsa Afgan. Yang saya kagumi dari penulis adalah kepiawaiannya memainkan kata
serta pendeskripsiannya yang amat jelas sehingga seolah-olah saya ikut larut di
dalam perjalanannya. Deskripsi yang tak semata apa yang dilihat oleh mata
tetapi juga akan cerita-cerita di baliknya.
pastilah menulis dengan segenap jiwa sehingga ruh dari perjalanan mampu sampai
kepada pembaca. Beberapa kali saya menahan nafas mengikuti perjalanannya, mulai
dari menuju daerah paling pelosok di Afghanistan, terguncang-guncang di Kamaz
(sebutan untuk salah satu truk buatan Toyota Jepang), berselimut debu
padang pasir, terdiam di kesunyian pegunungan Ghor hingga nyaris kehilangan harddisk
berisi foto-foto selama perjalanan. Di buku setebal 461 halaman ini pembaca
akan mendapatkan sejarah negara tersebut tanpa merasa bosan, foto-foto indah
nan artistik hasil bidikan penulis, pemahaman akan budaya hingga semangat juang
bangsa Afgan. Yang saya kagumi dari penulis adalah kepiawaiannya memainkan kata
serta pendeskripsiannya yang amat jelas sehingga seolah-olah saya ikut larut di
dalam perjalanannya. Deskripsi yang tak semata apa yang dilihat oleh mata
tetapi juga akan cerita-cerita di baliknya.
Pada akhirnya, Afghanistan bukanlah sekadar negeri yang
hancur lantaran kecamuk perang. Bukan pula semata-mata negeri yang tak ada
apa-apa melainkan debu dan debu. Ia adalah negeri yang sarat akan keindahan
peradaban masa lalu, ia adalah negeri yang elok akan lukisan alam, ia adalah
negeri dimana penduduknya disebut-sebut sebagai penduduk yang paling ramah
sedunia. Buku ini amat layak untuk Anda nikmati dan ya saya merasa terlambat
baru membacanya sekarang 🙂
hancur lantaran kecamuk perang. Bukan pula semata-mata negeri yang tak ada
apa-apa melainkan debu dan debu. Ia adalah negeri yang sarat akan keindahan
peradaban masa lalu, ia adalah negeri yang elok akan lukisan alam, ia adalah
negeri dimana penduduknya disebut-sebut sebagai penduduk yang paling ramah
sedunia. Buku ini amat layak untuk Anda nikmati dan ya saya merasa terlambat
baru membacanya sekarang 🙂
Ohya situs pribadi penulis avgustin.net juga amat menarik
untuk dikunjungi lho!
untuk dikunjungi lho!
Judul : Selimut Debu
Penulis : Agustinus Wibowo
Jumlah halaman : xiv, 461
Terbit pertama pada Januari 2010
Rating : 5/5
6 Comments. Leave new
Dulu yang memberi saya buku Garis Batas, kalau nggak salah Mbak Monika. Itu perkenalan pertama saya dengan karya Agustinus Wibowo, baru kemudian selimut debu. Kebalik ya, haha…
Apik ulasannya Mbak.
hihi iya mas, saya juga baca Garis Batas dulu br Selimut Debu. Toss 😀
Karya2 Agustinus Wibowo apik apik *_*
Reviewnya keren, bukunya pasti keren. 🙂
keren bukunya mas 😀
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
afganistan gambaran negeri arab jaman dulu, negeri tanpa teknologi maju