Gambar dicari melalui Google |
Menghalalkan
yang haram dan mengharamkan yang halal merupakan hal yang mendapatkan ancaman
serius dalam Islam karena perkara tersebut hanyalah milik Allah semata (bahkan
ada yang menyetarakannya dengan perbuatan syirik), oleh karenanya diperlukan
kecermatan dan kehati-hatian dalam menentukan halal atau haramnya suatu hal. Pun
dalam menentukan hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang
melainkan orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad sebagai salah
satu sumber hukum Islam. Syarat untuk dapat melakukan ijtihad disebutkan antara
lain mempunyai kemampuan menghafal AlQur’an, mengetahui asbabun nuzul ayat-ayat
AlQur’an, menguasai ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, menguasai ilmu Hadits serta sederet
penguasaan ilmu lain. Tak heran jika
disebutkan dalam suatu hadits bahwa jika seseorang berijtihad dan fatwanya
benar maka baginya dua pahala (pahala atas ijtihadnya dan pahala kebenaran)
serta apabila seseorang berijtihad dan menghasilkan fatwa yang salah, ia
mendapatkan satu pahala atas usaha yang telah dilakukannya.
yang haram dan mengharamkan yang halal merupakan hal yang mendapatkan ancaman
serius dalam Islam karena perkara tersebut hanyalah milik Allah semata (bahkan
ada yang menyetarakannya dengan perbuatan syirik), oleh karenanya diperlukan
kecermatan dan kehati-hatian dalam menentukan halal atau haramnya suatu hal. Pun
dalam menentukan hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang
melainkan orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad sebagai salah
satu sumber hukum Islam. Syarat untuk dapat melakukan ijtihad disebutkan antara
lain mempunyai kemampuan menghafal AlQur’an, mengetahui asbabun nuzul ayat-ayat
AlQur’an, menguasai ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, menguasai ilmu Hadits serta sederet
penguasaan ilmu lain. Tak heran jika
disebutkan dalam suatu hadits bahwa jika seseorang berijtihad dan fatwanya
benar maka baginya dua pahala (pahala atas ijtihadnya dan pahala kebenaran)
serta apabila seseorang berijtihad dan menghasilkan fatwa yang salah, ia
mendapatkan satu pahala atas usaha yang telah dilakukannya.
Yusuf
Qaradhawi, seorang ulama Mesir yang kini berusia 85 tahun, menghadirkan sebuah
kitab Fiqih yang mengupas perkara halal dan haram dalam kehidupan kaum Muslim.
Agaknya, beliau menggunakan pendekatan ‘pemahaman’ dalam meneropong
perkara-perkara yang hadir dalam keseharian umat Muslim. Membuka dengan Q.S Al
Maidah:6 yang terjemahannya berbunyi,”Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu besyukur,” ulama yang hafal Al Qur’an di usia sembilan tahun ini
seperti ingin menancapkan pemahaman umat bahwa ketetapan Allah atas suatu hal
entah haram atau halal bukanlah dimaksudkan untuk menyulitkan.
Qaradhawi, seorang ulama Mesir yang kini berusia 85 tahun, menghadirkan sebuah
kitab Fiqih yang mengupas perkara halal dan haram dalam kehidupan kaum Muslim.
Agaknya, beliau menggunakan pendekatan ‘pemahaman’ dalam meneropong
perkara-perkara yang hadir dalam keseharian umat Muslim. Membuka dengan Q.S Al
Maidah:6 yang terjemahannya berbunyi,”Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu besyukur,” ulama yang hafal Al Qur’an di usia sembilan tahun ini
seperti ingin menancapkan pemahaman umat bahwa ketetapan Allah atas suatu hal
entah haram atau halal bukanlah dimaksudkan untuk menyulitkan.
Pemahaman
yang hendak diberikan oleh beliau tak hanya berupa dalil-dalil yang melarang
atau membolehkan suatu hal tetapi juga diberikan pembahasan yang cukup komprehensif
mengenai hikmah yang tersembunyi dibalik pelarangan sesuatu sehingga membuka
pikiran orang awam yang membacanya. Pemilihan kata yang digunakan sederhana
tanpa mengurangi ketegasan akan suatu perkara, disebutkannnya dalil-dalil hingga
pandangan ulama empat madzhab beserta sebab turunnya suatu dalil. Yusuf
Qaradhawi, agaknya, menggunakan bahasa yang santun dengan menyebutkan pandangan
menggunakan kata “berdasarkan yang kami tahu,” “yang kiranya”,”yang lebih baik,”.
yang hendak diberikan oleh beliau tak hanya berupa dalil-dalil yang melarang
atau membolehkan suatu hal tetapi juga diberikan pembahasan yang cukup komprehensif
mengenai hikmah yang tersembunyi dibalik pelarangan sesuatu sehingga membuka
pikiran orang awam yang membacanya. Pemilihan kata yang digunakan sederhana
tanpa mengurangi ketegasan akan suatu perkara, disebutkannnya dalil-dalil hingga
pandangan ulama empat madzhab beserta sebab turunnya suatu dalil. Yusuf
Qaradhawi, agaknya, menggunakan bahasa yang santun dengan menyebutkan pandangan
menggunakan kata “berdasarkan yang kami tahu,” “yang kiranya”,”yang lebih baik,”.
Buku
ini tak semata-mata membahas mengenai halal atau haramnya makanan dan minuman yang
menghabiskan lebih dari seperempat bagian buku tetapi juga menyangkut aspek
halal dan haram suatu perbuatan kaum muslim ditinjau dari perspektif syari’at
seperti mengenai pakaian dan perhiasan, memelihara anjing, bekerja dan usaha,
halal dan haram dalam pernikahan dan kehidupan keluarga, serta perkara-perkara
muamalah lainnya.
ini tak semata-mata membahas mengenai halal atau haramnya makanan dan minuman yang
menghabiskan lebih dari seperempat bagian buku tetapi juga menyangkut aspek
halal dan haram suatu perbuatan kaum muslim ditinjau dari perspektif syari’at
seperti mengenai pakaian dan perhiasan, memelihara anjing, bekerja dan usaha,
halal dan haram dalam pernikahan dan kehidupan keluarga, serta perkara-perkara
muamalah lainnya.
Sebagai ulama yang hidup di zaman sekarang, beliau juga
memetakan perkara kekinian umat Islam (diistilahkan sebagai Fiqih Kontemporer) seperti
hukum asuransi hingga menonton bioskop menurut perspektif syari’at. Namun demikian,
pendapat-pendapat Yusuf Qaradhawi tak luput luput dari kontroversi. Menurut
pandangan saya, ambillah pendapat-pendapat beliau yang memiliki dasar hukum yang
kuat dan tentu saja dengan rujukan kitab Fiqih lain yang tak semata dari satu
sumber. Wallahu a’lam bisshowab.
memetakan perkara kekinian umat Islam (diistilahkan sebagai Fiqih Kontemporer) seperti
hukum asuransi hingga menonton bioskop menurut perspektif syari’at. Namun demikian,
pendapat-pendapat Yusuf Qaradhawi tak luput luput dari kontroversi. Menurut
pandangan saya, ambillah pendapat-pendapat beliau yang memiliki dasar hukum yang
kuat dan tentu saja dengan rujukan kitab Fiqih lain yang tak semata dari satu
sumber. Wallahu a’lam bisshowab.
Referensi :
1.
“Hai
orang-orang yang beriman: Janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik (dari) apa
yang Allah telah halalkan buat kamu, dan jangan kamu melewati batas, karena
sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang suka melewati batas. Dan
makanlah sebagian rezeki yang Allah berikan kepadamu dengan halal dan baik, dan
takutlah kamu kepada Allah zat yang kamu beriman dengannya.” (terjemahan Q.S.Al-Maidah:
87-88)
“Hai
orang-orang yang beriman: Janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik (dari) apa
yang Allah telah halalkan buat kamu, dan jangan kamu melewati batas, karena
sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang suka melewati batas. Dan
makanlah sebagian rezeki yang Allah berikan kepadamu dengan halal dan baik, dan
takutlah kamu kepada Allah zat yang kamu beriman dengannya.” (terjemahan Q.S.Al-Maidah:
87-88)
2.
“Aku ciptakan hamba-hambaKu ini
dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka.
Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas
mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya
mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan
padanya.” (HR Muslim)
“Aku ciptakan hamba-hambaKu ini
dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka.
Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas
mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya
mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan
padanya.” (HR Muslim)
3.
Hadis riwayat
Amru bin Ash ra.: Bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: Apabila seorang
hakim memutuskan perkara dengan berijtihad, kemudian ia benar, maka ia
mendapatkan dua pahala. Dan apabila ia memutuskan perkara dengan berijtihad,
lalu salah, maka ia memperoleh satu pahala. (Shahih Muslim)
Hadis riwayat
Amru bin Ash ra.: Bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: Apabila seorang
hakim memutuskan perkara dengan berijtihad, kemudian ia benar, maka ia
mendapatkan dua pahala. Dan apabila ia memutuskan perkara dengan berijtihad,
lalu salah, maka ia memperoleh satu pahala. (Shahih Muslim)
2 Comments. Leave new
bagus ya pingin tnelaah baca bukunya langsung nie… rasanya ijtihad itu sangat suakar ya meliat syarat di atas
wah bisa jadi referensi diri nih. . . . makasih tas infonya mbak . .. .
kunjungan malem ah. . . . . ada cemilan ndak nih. . .