Pernahkah teman-teman mengalami ‘Selesai menulis tetapi bimbang mau dipublikasikan atau tidak’?
I feel it for now. Entah kenapa. Ada beberapa tulisan jadi yang ‘enaknya dipublikasikan tidak ya’. Ada rasa takut bahwa saya salah menulis, ada rasa takut tentang pandangan orang akan tulisan tersebut. Setelah beberapa waktu menulis, inilah yang saya rasakan. Sekarang. Biasanya saya menulis-menulis saja, pokoknya saya merasa niat saya atas tulisan tersebut baik dan menyampaikan tulisan itu secara baik (dengan sebisa mungkin menghindari bersikap frontal atau menyinggung pihak tertentu).
Waktu kelas tiga SD, ketika itu saya baru saja sembuh dari sakit cacar dan masih ada bekas luka mengering di pipi sebelah kiri. Belum mengelupas. Salah seorang teman laki-laki berkata kepada saya,
“Mon, kamu ada bekas lukanya. Jadi jelek sekarang,”
Lantaran terus memikirkan perkataannya sepanjang hari itulah, sepulang sekolah saya mengelupas secara paksa luka mengering itu di kamar mandi rumah Eyang (dulu saya tinggal bersama Eyang lima hari dalam seminggu). Akibatnya jangan ditanya, pipi sebelah kiri menanggung bekas luka dikelupas paksa, pipi saya dekok kata orang jawa. Saya menangis sejadi-jadinya di kamar mandi, demi melihat pipi yang tak mulus lagi. Apalah daya, seumur hidup saya harus menanggungnya. Hal yang saya lakukan lantaran terlampau mendengarkan apa-kata-orang. Yang tak akan ada habisnya (kata orang Arab, kalamunnas laa yantahi), ceritanya bisa dibaca di sini ‘Kalau Kata Orang Tak Habis-habis’.
Akan selalu ada ketakutan dalam memulai sesuatu ataupun dalam bergerak. Takut begini, takut begitu. Yang perlu dilakukan mungkin hanyalah menarik nafas sejenak, mengkaji ulang niat, mengucap basmalah dan mulai, bergerak saja. Harusnya sesederhana itu. Kata orang, dari seratus ketakutan kita hanyalah sepuluh yang benar-benar terjadi. Manusia terperangkap dalam ketakutan yang diciptakannya sendiri. Terkadang ia lupa bahwa memang ia diciptakan lemah dan untuk itu memang seharusnya ia takut tetapi bukan itu alasan untuk berdiam diri atapun berhenti.
Seorang pemberani bukanlah ia yang tak memiliki rasa takut tetapi ia yang berani melawan ketakutannya
Menulislah. Menulis saja.
***
Ceracau malam ini. Nasihat untuk diri.
5 Comments. Leave new
Belum pernah ngalamin, untungnya…
ngeri bayangin ngelupas paksa luka! hii
salam kenal
memang kata orang itu tak akan ada habisnya. mereka ada dan mau menjadi moderator dihidup kita, mereka juga tak pernah peduli dengan kritik mereka baik atau tidak masuk kehati kita. dan semuanya kembali lagi pada kita sendiri sejauh mana menanggapi tanggapan mereka 🙂
sama,, saya juga merasakan hal tersebut.. apalagi dapat kritikan pedas..hihihi..tapi seorang penulis harus berani menerima kritikan 😛 semangat menuliss….!!!!!
@Keven : baguslah hihihi
@Jasmine : hihi, lukanya lebih ke hati 🙁 .. salam kenal 🙂
@Sarnisa : ehehehe, that's life 🙂
@Ammie : bener, seorang penulis bertanggung jawab terhadap tulisannya termasuk kudu siap menerima kritik 🙂