Hampir empat belas abad yang lalu, pada
bulan suci Ramadhan, Rasulullah SAW beserta sekitar 10.000 pasukan Muslim
menguasai kota Mekah. Peristiwa bersejarah tersebut terekam sebagai Fathu
Makkah atau Pembebasan Kota Mekah. Syaikh Ramadhan Al Buthi mengisahkan dalam
kitab Fiqhus Sirah bahwa Sa’ad bin Ubadah berkata kepada Abu Sofyan, “Hari ini hari berkecamuknya perang, hari ini
dihalalkan hal yang disucikan, hari ini Allah akan menghinakan Quraisy!”
Di hari ini, Allah mengagungkan Ka’bah,”1
dalam kitab Ar-Rahiq Al Makhtum
menarasikan bahwa Rasulullah SAW menjawab, “Barangsiapa masuk ke rumah Abu Sufyan (pemuka
kaum Quraisy) maka ia selamat ”2
Quraisy yang memerangi Rasulullah. Andai saja Islam tidak menjunjung tinggi
kasih sayang antar sesama umat manusia, niscaya kala itu tertumpah darah kaum
Quraisy. Namun, dengan kasih sayang dan sifat memaafkan dari Rasulullah,
penduduk Mekah berbondong-bondong masuk Islam tanpa paksaan.
Perdamaian Diperintahkan
merupakan suatu hal yang menjadi ketetapan Allah. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal…” (terjemahan Q.S. Al Hujurat:13).
ajaran Islam yang menyatakan bahwa bumi hanya dihuni oleh umat Islam saja. Hal
tersebut menimbulkan suatu konsekuensi logis bahwa Islam memerintahkan
pemeluknya untuk berbuat baik kepada semua makhluk, tanpa terkecuali. “Allah akan menunjukkan belas kasih-Nya kepada
mereka yang bermurah hati. Bermurah hatilah kepada penduduk bumi, maka penguasa
surga akan bermurah hati kepadamu” (H.R. al-Turmudzi)
menunjukkan bahwa perintah untuk bermurah hati diberikan tanpa membedakan apa dan bagaimana penduduk bumi. Bahkan,
selaras dengan perintah bermurah hati, perintah untuk berlaku adil diiringi
larangan untuk memperturutkan kebencian, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu
jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (terjemahan Q.S. Al
Ma’idah:8)
memandang atribut yang melekat pada seseorang. Rasulullah SAW bersabda, “Jibril senantiasa mewasiatkan aku untuk berbuat baik kepada
tetangga sampai-sampai aku mengira ia akan mendapatkan warisan dariku”
(Muttafaqun ‘alaihi). Kata ‘tetangga’
yang dirujuk secara umum merupakan sebuah indikasi yang kuat akan perintah
Islam untuk menebar kasih sayang tanpa terkecuali.
Berbuat Adil : Satu Langkah Lebih Dekat dengan Perdamaian
Jika
keadilan merupakan sebuah prasyarat bagi terciptanya perdamaian, Islam telah
mengaturnya secara tegas. Secara eksplisit, dikatakan bahwa Allah SWT
menyukai orang-orang yang berlaku adil, “Allah tidak melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil,”(terjemahan Q.S. Al Mumtahanah:8)
Jika
harta merupakan salah satu pemicu mengenai persengkataan yang dapat mengusik
perdamaian dalam keluarga, Islam telah mengatur tentang hukum Faraid (hukum
waris). Pembagian harta dibuat dengan suatu ketentuan yang diharapkan mampu
memberikan rasa keadilan.
Jika
keadilan hanya diperuntukkan bagi satu golongan tertentu, maka hal tersebut
amat layak untuk dipertentangkan. Sebuah riwayat termahsyur dari Imam Al Hakim menyatakan
bahwa Ali bin Abu Thalib, khalifah keempat sekaligus menantu Rasulullah SAW,
kehilangan baju besinya pada saat terjadi perang. Kemudian, ia mendapati bahwa
baju besinya ada di tangan seorang Yahudi. Singkat cerita Ali ra. berperkara di
depan hakim dengan orang Yahudi tersebut. Lantaran Ali ra. tak mampu mengajukan
dua orang saksi yang independen (ia memiliki dua orang saksi dan salah satunya
adalah Hasan sang anak), maka hakim memutuskan menolak kesaksian Hasan dan
memenangkan orang Yahudi dimaksud. Ali ra. dengan kelegawaannya menerima
keputusan tersebut dan justru hal itulah yang membuat hati sang lawan tersentuh
dan kemudian memeluk Islam. Keadilan harus ditegakkan, meski pemimpin yang
berdiri di hadapan.
Tidak Ada
Paksaan dalam Agama : Bagaimana Islam Mendorong Perdamaian
berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453. Tatkala penduduk
Konstantinopel memadati Gereja Hagia Sophia dengan ketakutan, Sultan Mehmed
memberikan jaminan keamanan kepada para penduduk. Selain itu ia juga
memerintahkan para pengawalnya untuk menjaga gereja, rumah dan tempat publik
sipil. Tidak ada paksaan bagi penduduk kota taklukannya untuk memeluk Islam,
seperti diterangkan pada ayat, “Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam),” (terjemahan Q.S. Al Baqarah:256)
Islam
bukan hanya sekadar berbicara tentang ayat transendental. Ia lah Islam yang
mengatur bagaimana urusan sebesar tata negara dan roda pemerintahan harus
dijalankan. Pun, ia mengatur bagaimana unit terkecil seperti hubungan antara dua manusia
seyogianya dibangun. Islam bukan hanya sekadar ritual penyembahan Tuhan sebagai
implementasi dari konsep Hablu Minallah (hubungan makhluk dengan Allah),
melainkan juga bagaimana membina hubungan antar manusia. Kalimat nan kuat
secara maknawi seperti “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir”
diikuti dengan perintah untuk memuliakan tetangga dan tamu. Barangsiapa
beriman kepada Allah & hari akhir, maka hendaklah dia mengucapkan perkataan
yg baik atau diam. Dan barangsiapa yg
beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tetangganya.
Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan
hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya,”(H.R. Muslim)
Maka,
berbicara perdamaian adalah berbicara tentang Islam. Islam adalah sebuah integrasi holistik mengenai ketuhanan sekaligus kemanusiaan. Islam rahmatan lil ‘alamin
(rahmat bagi semesta alam) adalah tentang bagaimana universalitas dari
nilai-nilai Islam mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari. Islam adalah
tentang menebar kebaikan, berbuat baik
kepada semua makhluk, berperilaku adil, menciptakan rasa aman dan damai
serta memberikan manfaat bagi semua. Tak diragukan, semakin religius seseorang maka semakin
ia mencintai perdamaian, sebagaimana ia mencintai bagaimana Islam ada dalam dadanya.
Semakin religius seseorang maka ia akan terdorong untuk semakin meneladani sang Nabi, Rasulullah SAW, yang menjunjung tinggi perdamaian di muka bumi. Semakin religius seseorang akan semakin terhentak lakunya untuk selaras dengan ajaran Islam, menjadikan Islam
sebenar-benar rahmat untuk semesta.
kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam,” (terjemahan Q.S. Al-Anbiya: 107)
12 Comments. Leave new
Mantep mak Monika tulisannya 🙂 suka deh
makasi mak 😉
memang benar mbak Islam adalah agama paling menghormati keberagaman dan paling menjunjung tinggi perdamaian .,
🙂
aku tiap baca sirah kenapa ngantuk ya mbak *malah curhat* 😀
bacanya dikit2 aja mba hihi
sebenarnya kalau umat muslim paham dengan ajarannya sendiri pasti ga ada yang namanya intoleransi meskipun Indonesia 85%nya muslim. Harusnya non-muslim pasti akan merasa nyaman, malah karena kenyamanan itu sendiri membuat mereka memasuki islam dengan suka rela seperti kejadian pembebasan Mekah
Yup.. Islam telah jelas2 mengatur tentang toleransi 🙂
yap mons udah gini aja deh contoh yang paling simple
kalau pimpinan perusahaan non muslim lebih banyak yang SARA daripada yang enggak. larangan pake jilbab!!
terus kalau pimpinannya muslim nih ya… berapa sih yang ngelarang staffnya pake salib atau lambang agamanya yang lain selama masih sesuai pedoman negara kita?
Klo salib ma jilbab sebenernya contoh yg agak beda sih.. Sama2 simbol agama tp satunya wajib satunya enggak hehe.. Anyway semoga damai2 aja negara kt 🙂
Manteb artikelnya kak
kakak syabab ht yaa
salam kenal kak
Bagus mbak artikelnya, benar-benar menunjukkan bahwa Islam itu damai 🙂