“Kamu harusnya begitu lho,”
Alkisah. Dulu saya pernah mengalami masa pendekatan dengan seorang lelaki. Ketika itu, dia amat suka menasihati (mengatur)”Kamu harusnya begini lho,” Beberapa kali ia mengatakannya. Waktu itu saya merasa kurang nyaman,”Siapa sih orang ini nyuruh-nyuruh,” Waktu itu saya tak ada perasaan apa-apa ke dia. Lambat laun, baru saya tahu dari teman akrabnya kalau dia waktu itu sedang ‘menilai’ saya dan kemudian tak berlanjut karena saya “tidak merespon nasihatnya” atau menurut dia “susah diatur”.
Syahdan. Saya punya teman. Kami berada dalam satu grup yang sama. Semua orang di grup mengeluhkan sikapnya yang sering membatalkan janji secara tiba-tiba. Kami menyampaikannya secara baik-baik tapi dia tidak terima. Akhirnya kami memilih ‘pergi’, tidak menanggapinya lagi, tidak mengajak dia lagi.
Apa yang lebih menyebalkan dari dimarahi seseorang? Apa yang lebih menyiksa?
Didiamkan. Saya bisa tahan dengan marahnya orang ke saya, tapi saya tak akan lupa diamnya seseorang. Diam berarti ia tak peduli. Kalau ada orang yang menasihati, maka itu menunjukkan bahwa ia peduli. Ia masih memikirkan. Ia masih memperhatikan.
Kemarin lusa saya dapat nasihat lagi dari seorang teman. Sesuatu yang tidak saya sadari. “Oh begitu ya,” Saya manggut-manggut. Walau terkadang beberapa nasihat tidak enak didengarkan, itu menunjukkan si pemberi nasihat masih memberi perhatian. Karena ia memilih menyampaikan. Ia ingin agar yang diberi nasihat menjadi lebih baik lagi.
Ya, tentu saja. Lepas dari apakah nasihat itu akan kita tindaklanjuti nanti. Terima kasih kepada siapa saja yang telah berkenan menasihati saya. You made my day. I really appreciate it.
2 Comments. Leave new
Ahh, iya mbak. Saya paling tersiksa kalo seseorang yg biasanya peduli tiba2 mendiamkan.
true storyyyy 🙁