Jika kamu tidak terlahir muslim, apakah kamu akan terus berada di jalan ini?
Tujuh tahun lalu, di sebuah masjid aku menyaksikan seorang teman kuliah mengucapkan dua kalimat syahadat. Bergetar dadaku demi memandang seorang perempuan yang dulunya aktivis agamanya telah menjadi seorang muslimah. Ada secuil rasa iri yang menyergap pikiranku kala itu.
“Enak ya dia… Masuk Islam dosanya terhapus semua,”
Namun, satu kalimat yang barangkali terucap serampangan bisa menimbulkan konsekuensi panjang…
***
Di kepalaku berputar-putar beraneka pertanyaan, “Mengapa kamu memilih Islam? Apa buktinya bahwa Allah itu Tuhan? Apa buktinya kalau Islam agama yang benar? Kalau ternyata salah, bagaimana?”
Di usia delapan belas tahun, pertanyaan demi pertanyaan itu menghujam kepalaku….
Aku menangis, tak punya jawaban atas pertanyaan itu. Pengetahuan agamaku kala itu amat minim. Yang aku tahu aku meyakini jalan ini tetapi aku tak bisa menjawab. Terlahir di keluarga Muslim membuatku tak pernah melakukan proses pencarian agama.
“Pokoknya aku beriman kepada Allah dan Islam yang benar,” kataku sambil mendekap erat mushaf Al Qur’an. Dadaku terasa panas.
Beberapa saat setelah ayat-ayat Al Qur’an ku lantunkan, sekujur tubuhku panas. Aku menangis semakin kencang. Pertanyaan demi pertanyaan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, menyeruak begitu saja. Kepalaku berat. Aku ingin segera mengakhiri ini semua.
“Ya Allah…..”
Bagaimana ini? Benarkah Islam jalan kebenaran itu?
***
Kebingungan yang luar biasa melilit pikiranku. Bagaimana ini? Apa jawaban atas pertanyaanku? Sungguh, aku tak tahu harus bertanya kepada siapa. Orang tuaku bisa dibilang memiliki pengetahuan agama yang kurang mendalam dan aku juga merasa malu jika bercerita tentang hal ini kepada orang lain. Takut dicap kurang beriman, takut dicap kurang ibadah.
I had no one to ask….
Kondisiku kacau, pikiranku terombang-ambing seperti orang yang bingung dan hilang arah. Tak tahu harus bagaimana, sementara pertanyaan-pertanyaan itu semakin menyiksa. Yang bisa ku lakukan hanyalah mengaji dan menangis.
Aku meyakini Islam tetapi aku bertekad harus bisa meyakini Islam dengan penuh kesadaran, bukan karena keturunan. Yang aku tahu beragama harus dengan ilmu agar tak ragu. Tak bisa ditawar lagi, aku harus bisa menjawab pertanyaan “Mengapa kamu memilih Islam?” dengan jawaban yang kuat dari dalam dada, jawaban yang ditopang dengan ilmu. Bukan karena “Saya terlahir sebagai seorang Muslim,”
***
Ingatanku melayang pada hari pertama aku mengenakan jilbab. Kelas 3 SMA, usia tujuh belas tahun, masa ketika pertanyaan tentang agama pertama kali muncul. Ya, kejadian yang ku ceritakan di awal tulisan bukanlah yang pertama kalinya. Ketika selembar kerudung dengan sempurna menutup kepalaku, hatiku seakan guncang dengan pertanyaan yang tiba-tiba menyeruak, “Yakin kamu mau berjilbab? Nanti kalau kamu pindah agama gimana?” Astaghfirullah, aku sungguh tak tahu bagaimana mungkin pertanyaan yang sama sekali tak pernah terpikirkan itu datang.
Tatkala itu, aku menepisnya jauh-jauh.
***
Afala tafakkarun?
Islam bukanlah agama doktrin yang mana umat yang meyakininya tidak boleh berpikir dan menelan bulat-bulat keimanan, melainkan agama yang mengajarkan bahwa orang yang berilmu ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT. Dalam banyak ayat, Allah berfirman, “Afala tafakkarun?” “Apakah kamu tidak berpikir?”. Ayat yang merupakan sebuah tantangan bagi para hamba-Nya.
Pertolongan itu datang apabila kita bergerak. Keyakinan itu yang ku genggam erat. Aku tak bisa berpangku tangan membiarkan pertanyaan demi pertanyaan menggerogoti pikiranku, aku harus bergerak.
Bagaimana?
***
Majelis demi majelis ilmu semakin ku akrabi. Pengajian ku ikuti demi mendapatkan jawaban dari pertanyaanku. Namun, rasa-rasanya itu tidak cukup. Pengajian membahas suatu hal saja dan tidak berkelanjutan. Aku butuh lebih. Hingga akhirnya jalan pertolongan Allah itu datang.
Aku diterima menjadi mahasiswi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Sembari menjadi mahasiswi jurusan akuntansi dari pagi hingga sore, aku juga menjadi siswi Ma’had Tarbiyah yang diadakan tak jauh dari kampus STAN seminggu tiga kali selama dua tahun. Di sana aku belajar berbagai cabang keilmuan dalam Islam.
Dua tahun pasca lulus dari STAN, aku mendaftar menjadi mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) Al Manar. Delapan semester, tiga pertemuan setiap pekan. Di sana dipelajari secara intensif mulai dari Fiqh, Ushul Fiqh, Bahasa Arab, Shiroh Nabawiyah, dan sebagainya. Pelajarannya hampir sama dengan yang aku terima di Ma’had Tarbiyah, hanya saja aku percaya bahwa tidak ada yang sempurna dalam belajar, pasti akan selalu ada ilmu baru.
Menjadi siswi Ma’had Tarbiyah dan mahasiswi STIDA selama lima semester (aku tak menyelesaikannya karena satu dan lain hal) adalah salah saat terbaik dalam hidupku. Ilmu agama yang kuperoleh mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membuat kepalaku berat dan dadaku sesak. Dahagaku akan ilmu agama terpuaskan. Selain itu, dengan mantap aku bisa menjawab, “Ya, Allah adalah Tuhanku dan Islam adalah satu-satunya agama yang benar,”. Mungkin, ini adalah keberkahan dari majelis ilmu sebagai taman surga yang didoakan oleh para malaikat setelah tiga tahun aku bergumul dengan kegamanganku sendiri. Pertanyaan yang menyerangku tanpa ampun. Kerap kali aku menangis, mengiba Allah agar jangan sekali-kali mencabut iman Islam.
Ya Allah….
Betapa nikmat ketika perlahan-lahan berbagai pemikiran yang berkecamuk itu hilang satu per satu. Aku menatap kehidupan dengan lebih mantap. Pikiranku berhasil ku kendalikan dan hatiku tak lagi gamang.
Betapa nikmatnya menjadi seseorang yang yakin….
Betapa mahal iman di dalam dada….
***
Setan selalu bisa untuk membisikkan keraguan ke dalam diri manusia, misalnya melalui pertanyaan demi pertanyaan yang tak semestinya. Bukankah itu salah satu tugasnya? Namun, adalah kita sebagai makhluk berakal selalu memiliki pilihan. Pilihan untuk mengikuti atau pilihan untuk meneguhkan diri di jalan ketaatan.
***
Hingga saat ini, pengalaman itu merupakan salah satu hal tak terlupakan yang memberikan pelajaran yang amat berharga bagiku. Betapa nikmat iman Islam yang tertancap di dalam dada merupakan anugerah terbesar dari Allah yang sudah seyogianya amat disyukuri. Tidak semua orang meraih hidayah tersebut. Mensyukurinya adalah dengan cara menggenggam erat iman di dalam dada. Teramat mahal harga yang harus dibayar jika iman tersebut lepas.
Menggenggam hidayah adalah melalui menjaga diri agar senantiasa berada di dalam jalan yang lurus. Jalan Islam yang diridai Allah. Seorang Muslim harus mengupayakan untuk selalu belajar ilmu agama dan berada dalam lingkaran orang saleh. Dan satu hal yang tak boleh terlupa adalah memohon kepada Allah SWT agar hati senantiasa ditetapkan dalam Islam dan ketaatan. Hingga Malaikat Izrail menjemput.
“Ya muqollibal qulub, tsabit qolbi ‘ala diinika, wa ala tho’atika,”
Mengutip doa nabi Yusuf as dalam surat Yusuf:101 “Tawaffani musliman wa alhiqni bissholihin…”
Wafatkanlah aku dalam keadaan Muslim dan gabungkanlah aku dengan orang yang saleh…
Aamiin
2 Comments. Leave new
Huhuhu, pengen mewek baca tulisan ini mbaa. Semoga Allah senantiasa menjaga kita dalam iman islam hingga akhir hayat yaa mbak :')
Aamiin ya Rabb :')