Tarbiyah. Pertama kali saya mengetahui harakah ini pada saat
saya menjadi mahasiswa baru Diploma III STAN atau tahun 2007. Sebelumnya,
sependek pemahaman pada saat itu, tarbiyah merujuk pada kata dalam bahasa Arab
yang berarti ‘pendidikan’. Itu saja. Walaupun mengetahui tentang liqo’ pada
saat SMA, saya sama sekali asing dengan Tarbiyah pada saat itu. Hingga akhirnya
mengikuti Dinamika (Studi Perdana Memasuki Kampus) dan dibagi per kelompok,
laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Saya masih belum mafhum
ketika kakak mentor mengatakan “Nanti habis Dinamika kita kumpul-kumpul lagi
ya,” adalah awal dari sebuah kelompok mentoring/liqo’ secara tak sadar. Oya, ngomong-ngomong STAN merupakan kampus dengan basis Tarbiyah yang dapat dibilang kuat.
Bisa dibilang, pada saat Diploma III, saya termasuk orang
yang kadang-kadang ikut mentoring, masih tergantung ‘mood atau tidak mood
datang’ atau ada tidaknya kegiatan lain yang lebih menarik daripada mentoring.
Selama kurun waktu itu kalau tak salah ingat ada tiga murobbi. Murobbi pada
saat Dinamika kakak tingkat dua tahun di atas saya, lalu diganti dengan kakak
kelas setahun di atas saya ketika mentor/murabbi pertama lulus dan kemudian
seorang ummahat ketika murobbi kedua lulus.
yang kadang-kadang ikut mentoring, masih tergantung ‘mood atau tidak mood
datang’ atau ada tidaknya kegiatan lain yang lebih menarik daripada mentoring.
Selama kurun waktu itu kalau tak salah ingat ada tiga murobbi. Murobbi pada
saat Dinamika kakak tingkat dua tahun di atas saya, lalu diganti dengan kakak
kelas setahun di atas saya ketika mentor/murabbi pertama lulus dan kemudian
seorang ummahat ketika murobbi kedua lulus.
Jujur saja, saya bukanlah tipe orang yang mentoring-banget
dalam artian mengutamakan datang mentoring dalam keadaan apapun. Tidak boleh
datang kecuali udzur syar’i katanya. Namun definisi dari udzur syar’i bisa jadi
berbeda-beda setiap orang. Kalau masa ujian berlangsung dua minggu dan hari
Ahad ada mentoring, saya memilih tidak datang dan belajar. “Ujian kan udzur
syar’i”. Namun, seorang teman saya (yang menurut saya mentoring-banget) tetap
datang di tengah kondisi ujian.
dalam artian mengutamakan datang mentoring dalam keadaan apapun. Tidak boleh
datang kecuali udzur syar’i katanya. Namun definisi dari udzur syar’i bisa jadi
berbeda-beda setiap orang. Kalau masa ujian berlangsung dua minggu dan hari
Ahad ada mentoring, saya memilih tidak datang dan belajar. “Ujian kan udzur
syar’i”. Namun, seorang teman saya (yang menurut saya mentoring-banget) tetap
datang di tengah kondisi ujian.
Bagi saya, mentoring merupakan salah satu cara untuk
mendekatkan diri pada Allah dan belajar agama, sekaligus sarana saling mengingatkan
tetapi bukan satu-satunya jalan. Saya menghargai orang yang memilih ikut liqo’
pun orang yang tidak ikut liqo’, bisa jadi jalan menuju kebaikan yang
diambilnya berbeda. Yang saya suka dari mentoring adalah kajian dari Murobbi
serta kesempatan bertemu dengan teman-teman satu lingkaran. Namun, sekali lagi
saya bukan orang yang mentoring-banget. Hingga sekarang, saya masih ikut liqo’
di kampus (setelah lulus, penempatan di Jakarta pusat hingga kembali menjadi
mahasiswa Diploma IV) tetapi kalau ada kegiatan yang menurut saya lebih
penting/menarik bisa jadi saya tidak datang liqo’.
mendekatkan diri pada Allah dan belajar agama, sekaligus sarana saling mengingatkan
tetapi bukan satu-satunya jalan. Saya menghargai orang yang memilih ikut liqo’
pun orang yang tidak ikut liqo’, bisa jadi jalan menuju kebaikan yang
diambilnya berbeda. Yang saya suka dari mentoring adalah kajian dari Murobbi
serta kesempatan bertemu dengan teman-teman satu lingkaran. Namun, sekali lagi
saya bukan orang yang mentoring-banget. Hingga sekarang, saya masih ikut liqo’
di kampus (setelah lulus, penempatan di Jakarta pusat hingga kembali menjadi
mahasiswa Diploma IV) tetapi kalau ada kegiatan yang menurut saya lebih
penting/menarik bisa jadi saya tidak datang liqo’.
Perkenalan saya dengan harakah Tarbiyah selanjutnya adalah
pada saat saya mengikuti Ma’had Tarbiyah MBM (Masjid Baitul Ma’al) STAN kurun
waktu 2008-2009. Sederhana saja, niat saya pada saat itu adalah semata-mata
mendalami agama lebih dalam lagi. Saya sama sekali tak berpikir saya ikut suatu
harakah tertentu atau apa. Murni ingin belajar. Sebelum mendaftar saya malah
sempat berpikir, “Wah, ini ada baiat baiat nya nggak ya, kalau ada saya
langsung keluar deh”. Hehe. Ternyata tidak ada sama sekali, tidak ada hal-hal
‘seram’ perkataan orang : “Nanti kamu begini atau begitu kalau ikut gerakan
tertentu,”. Dua kali seminggu dari ba’da Maghrib hingga pukul sembilan malam,
kami belajar mengenai Fiqh, Ushul Fiqh, Siroh, Bahasa Arab dst. Tak ada
seram-seramnya sama sekali. Kami masuk ke kelas, menunggu dosen datang dan
belajar lalu pulang. Itu saja.
pada saat saya mengikuti Ma’had Tarbiyah MBM (Masjid Baitul Ma’al) STAN kurun
waktu 2008-2009. Sederhana saja, niat saya pada saat itu adalah semata-mata
mendalami agama lebih dalam lagi. Saya sama sekali tak berpikir saya ikut suatu
harakah tertentu atau apa. Murni ingin belajar. Sebelum mendaftar saya malah
sempat berpikir, “Wah, ini ada baiat baiat nya nggak ya, kalau ada saya
langsung keluar deh”. Hehe. Ternyata tidak ada sama sekali, tidak ada hal-hal
‘seram’ perkataan orang : “Nanti kamu begini atau begitu kalau ikut gerakan
tertentu,”. Dua kali seminggu dari ba’da Maghrib hingga pukul sembilan malam,
kami belajar mengenai Fiqh, Ushul Fiqh, Siroh, Bahasa Arab dst. Tak ada
seram-seramnya sama sekali. Kami masuk ke kelas, menunggu dosen datang dan
belajar lalu pulang. Itu saja.
Selanjutnya saya berkenalan dengan Al Manar ketika bekerja
atau pada tahun 2011. Awalnya saya hanya mengikuti kursus Bahasa Arab hingga
level akhir (walau masih cethek kemampuan saya) kemudian saya tertarik untuk
mengikuti STIDA (Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah) Al Manar yang berbasis Tarbiyah.
Sungguh, belum lah pantas diri ini dengan kata ‘dakwah’ ataupun berniat jadi
pendakwah dengan mengikuti STIDA. Niat saya ikut adalah semata-mata ingin
mendalami agama ini dan bisa mengaplikasikannya minimal untuk diri dan keluarga,
bagaimana lagi cara belajar agama dengan intensif jika tidak dengan bersekolah.
Pengajian, mentoring atau membaca buku agama sungguh tidaklah cukup. Belajar
harus dipaksakan dan dibiasakan. Singkat cerita, selama seminggu tiga kali dari
pukul lima sore hingga delapan malam (pasti terlambat karena dari kantor paling
cepat jam lima sore) saya mendalami ilmu-ilmu luar biasa : segala jenis Fiqh
(mulai Fiqh Thaharah hingga Fiqh Munakahat), Ushul Fiqh, Shiroh Nabawiyah,
Bahasa Arab, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, dsb. Meski karena kondisi sekarang
berpindah tempat tinggal dan musim hujan menjadi jarang datang, Al Manar begitu
membekas di hati.
atau pada tahun 2011. Awalnya saya hanya mengikuti kursus Bahasa Arab hingga
level akhir (walau masih cethek kemampuan saya) kemudian saya tertarik untuk
mengikuti STIDA (Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah) Al Manar yang berbasis Tarbiyah.
Sungguh, belum lah pantas diri ini dengan kata ‘dakwah’ ataupun berniat jadi
pendakwah dengan mengikuti STIDA. Niat saya ikut adalah semata-mata ingin
mendalami agama ini dan bisa mengaplikasikannya minimal untuk diri dan keluarga,
bagaimana lagi cara belajar agama dengan intensif jika tidak dengan bersekolah.
Pengajian, mentoring atau membaca buku agama sungguh tidaklah cukup. Belajar
harus dipaksakan dan dibiasakan. Singkat cerita, selama seminggu tiga kali dari
pukul lima sore hingga delapan malam (pasti terlambat karena dari kantor paling
cepat jam lima sore) saya mendalami ilmu-ilmu luar biasa : segala jenis Fiqh
(mulai Fiqh Thaharah hingga Fiqh Munakahat), Ushul Fiqh, Shiroh Nabawiyah,
Bahasa Arab, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, dsb. Meski karena kondisi sekarang
berpindah tempat tinggal dan musim hujan menjadi jarang datang, Al Manar begitu
membekas di hati.
Gerakan Tarbiyah bisa dibilang begitu mewarnai hidup saya.
Mulai dari saya yang berpakaian kaos panjang ketat, celana jeans dan kerudung
sebatas leher pada saat masuk kuliah dahulu menjadi berpakaian (yang
mudah-mudahan) sesuai dengan tuntunan agama. Saya yang dahulu ‘alergi’ dengan
jilbab panjang (pikir saya dulu, “Berjilbab kok lebay amat,”) pelan-pelan
memanjangkan kerudung hingga minimal menutup dada. Saya yang dulu berpikir
“Ujian kok datang mentoring sih,” sekarang “Datang saja mendengar kebaikan,
kalau cuma mengejar nilai sih pertolongan Allah mudah saja datang,”. Perubahan
perilaku hingga perubahan pola pikir. Saya harus berterima kasih dengan gerakan
ini.
Mulai dari saya yang berpakaian kaos panjang ketat, celana jeans dan kerudung
sebatas leher pada saat masuk kuliah dahulu menjadi berpakaian (yang
mudah-mudahan) sesuai dengan tuntunan agama. Saya yang dahulu ‘alergi’ dengan
jilbab panjang (pikir saya dulu, “Berjilbab kok lebay amat,”) pelan-pelan
memanjangkan kerudung hingga minimal menutup dada. Saya yang dulu berpikir
“Ujian kok datang mentoring sih,” sekarang “Datang saja mendengar kebaikan,
kalau cuma mengejar nilai sih pertolongan Allah mudah saja datang,”. Perubahan
perilaku hingga perubahan pola pikir. Saya harus berterima kasih dengan gerakan
ini.
Yang saya rasakan berikutnya adalah Tarbiyah membuat saya
(mudah-mudahan) mencintai ilmu dan ingin selalu belajar, semakin saya belajar
tentang Islam semakin saya tahu bahwa masih teramat sedikit ilmu agama yang
saya tahu. Ibarat setetes air di lautan ilmu-Nya. Namun, bukankah jika Allah
mengkehendaki kebaikan bagi hamba-Nya maka Ia akan memahamkan hamba-Nya
tersebut perihal agama? Kalau untuk ilmu duniawi yang berakhir ketika mata
terpejam saja bisa mati-matian belajar, mengapa untuk bekal abadi menuju
kampung akhirat tidak mau lebih keras berusaha. Tak ada sensasi yang lebih luar
biasa dibanding saat mendengarkan para asatidz Al Manar menyampaikan ilmunya
dan bergumam, “Aku baru tahu tentang itu,”. Tak ada lelah yang lebih terbayar
kecuali pada saat menempuh perjalanan dua setengah jam PP berkendara sepeda
motor menuju Al Manar untuk mendengarkan ilmu selama satu setengah jam dan
kadang-kadang sambil terkantuk-kantuk. Ah, saya rindu tempat itu. Mudah-mudahan
saya bisa datang lagi dan lagi.
(mudah-mudahan) mencintai ilmu dan ingin selalu belajar, semakin saya belajar
tentang Islam semakin saya tahu bahwa masih teramat sedikit ilmu agama yang
saya tahu. Ibarat setetes air di lautan ilmu-Nya. Namun, bukankah jika Allah
mengkehendaki kebaikan bagi hamba-Nya maka Ia akan memahamkan hamba-Nya
tersebut perihal agama? Kalau untuk ilmu duniawi yang berakhir ketika mata
terpejam saja bisa mati-matian belajar, mengapa untuk bekal abadi menuju
kampung akhirat tidak mau lebih keras berusaha. Tak ada sensasi yang lebih luar
biasa dibanding saat mendengarkan para asatidz Al Manar menyampaikan ilmunya
dan bergumam, “Aku baru tahu tentang itu,”. Tak ada lelah yang lebih terbayar
kecuali pada saat menempuh perjalanan dua setengah jam PP berkendara sepeda
motor menuju Al Manar untuk mendengarkan ilmu selama satu setengah jam dan
kadang-kadang sambil terkantuk-kantuk. Ah, saya rindu tempat itu. Mudah-mudahan
saya bisa datang lagi dan lagi.
Namun, jika ada yang
bertanya “Kamu ikut harokah apa?” saya belum bisa menjawab bahwa saya memilih
Tarbiyah. Bagi saya yang awam ini, setidak-tidaknya saya tahu dasar dari apa
yang saya lakukan, apakah ada dalil yang mengharuskan atau melarang suatu
tindakan atau jika tidak tahu pun, saya tahu kemana harus bertanya atau mencari
tahu. Rasa-rasanya masih teramat sedikit tentang Tarbiyah yang saya tahu, saya
mungkin hanya tahu kulitnya saja. Bahkan buku “Menuju Jama’atul Muslimin” yang
saya beli atas rekomendasi salah seorang senior pun saya anggap ‘terlalu berat’
untuk saya pahami. Hehe.
bertanya “Kamu ikut harokah apa?” saya belum bisa menjawab bahwa saya memilih
Tarbiyah. Bagi saya yang awam ini, setidak-tidaknya saya tahu dasar dari apa
yang saya lakukan, apakah ada dalil yang mengharuskan atau melarang suatu
tindakan atau jika tidak tahu pun, saya tahu kemana harus bertanya atau mencari
tahu. Rasa-rasanya masih teramat sedikit tentang Tarbiyah yang saya tahu, saya
mungkin hanya tahu kulitnya saja. Bahkan buku “Menuju Jama’atul Muslimin” yang
saya beli atas rekomendasi salah seorang senior pun saya anggap ‘terlalu berat’
untuk saya pahami. Hehe.
Yang saya tahu Al Islamu Ad Diin. Semoga Allah SWT
senantiasa memberikan petunjuk-Nya dan membolak-balikkan hati kita dalam
ketaatan. Dalam naungan Islam.
senantiasa memberikan petunjuk-Nya dan membolak-balikkan hati kita dalam
ketaatan. Dalam naungan Islam.
1 Comment. Leave new
a nice posting, Mon..
Tarbiyah bukan hanya berasal dari mentoring/ Liqa saja. Ilmu bisa diperoleh di mana saja.
Asal kita bisa menilai sesuatu secara objektif, tidak mengkhususkan diri mengikuti golongan tertentu 🙂